Oleh Syakieb Sungkar
AYAH saya itu tidak begitu peduli dengan anaknya. Menurutnya anak-anak sudah pandai dan akan bisa hidup mandiri. Ia akan mengeluarkan sedikit effort agar anaknya maju. Karena semua anak akan seperti dirinya, berjalan dengan takdirnya, ada nasibnya sendiri-sendiri. Ketika saya lulus SMA, di zaman itu perguruan tinggi swasta yang terbaik adalah Universitas Trisakti. Kalau di zaman sekarang, Trisakti itu setaraf dengan Universitas Pelita Harapan atau Binus. Tetapi sekarang Trisakti sudah hancur, sulit mendapatkan mutu pendidikan yang baik dari universitas itu.
Seperti di zaman sekarang, hasil test universtas swasta biasanya akan lebih cepat dari pengumuman test masuk perguruan tinggi negeri. Akibatnya posisi calon mahasiswa menjadi dilematis. Kalau tidak diambil dan tidak diterima di perguruan tinggi negeri, maka kesempatan menjadi hilang. Tetapi kalau diambil lalu diterima di perguruan tinggi negeri, maka kita akan membayar uang pangkal ganda. Jadinya serba salah. Kalau Trisakti itu nilai kelulusan test masuk dibagi atas 3 kategori: I, II dan III. Kategori I artinya hasil test masuk kelompok tertinggi, sehingga bayar uang pangkalnya paling murah. Sementara kategori II adalah yang hasil testnya sedang, sehingga bayar uang pangkalnya dua kali lipat dari kategori I. Yang terakhir adalah kategori III, bayarnya tiga kali lipat dari kategori I. Alangkah sadisnya.
Akhirnya saya masuk kategori I dan nilai testnya paling tinggi atau ranking pertama, jadinya saya paling pinter di antara semua orang yang ikut test. Dengan gembira saya mengabarkan berita baik itu beserta uang pangkal yang harus dibayar. Tetapi ayah saya menjawab dengan datar, “tunggu saja hasil pengumuman sekolah negeri”. Saya bilang, nanti bagaimana kalau tidak diterima – ia menjawab, “ya sudah, tidak usah sekolah.” Selama menunggu dua bulan, pikiran saya rungsing, tidak enak makan, dan tidak bergembira kalau sedang berkumpul dengan teman-teman. Biasanya kalau sedang suntuk saya pergi ke toko buku atau nonton bioskop, tetapi itu tidak menolong, pikiran saya tetap melamun khawatir tidak bisa kuliah. Saya banyak jalan-jalan di sekitar Menteng, untuk sekedar refreshing, karena dekat rumah, pohonnya rindang, dan rumah-rumahnya peninggalan Belanda bergaya art deco, sehingga enak dipandang mata.
Bagian distrik Menteng yang paling ujung adalah Jl. Latuharhary, di mana paralel dengan jalan itu adalah rel kereta api menuju stasiun Manggarai. Waktu itu di sekitar pinggir jalan kereta api masih belum ditata, sehingga banyak terdapat gubug-gubug tempat tinggal orang yang tidak punya rumah, jadi sekitar Latuharhary itu agak kumuh. Belum lagi paralel dengan jalan kereta api adalah sungai Ciliwung, di mana di pinggir kali juga banyak rumah liar. Gubug di pinggir jalan kereta dan rumah pinggir kali, sebenarnya saling berhubungan, menjadi suatu komunitas. Masalahnya area itu menjadi kacau karena menjadi tempat orang duduk dan tiduran di emperan antara jalan kereta api dan sungai. Mereka ada juga yang terlihat sedang minum miras, ditambah ada pelacur jalanan. Belum lagi beberapa langkah di ujung jalan Latuharhary adalah Pasar Rumput, di mana pusat barang bekas terletak di situ. Kita tahu bahwa barang bekas itu banyak yang berasal dari hasil curian. Di zaman itu, kalau kita kecurian, maka besoknya barang kita yang hilang akan ditemukan di Pasar Rumput. Di ujung yang lain dari Latuharhary adalah Taman Lawang. Itu juga daerah cuci mata untuk malam hari, karena banyak bencong atau waria berkeliaran menawarkan “dagangan”. Pinggiran Latuharhary – jalan kereta api – sungai Ciliwung – Pasar Rumput – Taman Lawang dahulu menjadi area yang rawan.
Walaupun sudah mengetahui kondisi itu, saya tetap saja berjalan di pinggir Latuharhary. Dan benar saja di siang itu saya dicegat seorang yang menawarkan jasa seks. Namun yang menawarkan adalah waria, padahal waria biasanya beroperasi di malam hari. Saya bilang tidak tertarik kepada waria itu. Tetapi dia bilang, “kalau ga punya uang bisa gratis kok”. Saya menggeleng, tetap saja waria itu membuka baju atasnya dan memperlihatkan payudaranya yang toples. Suatu peristiwa yang absurd di siang hari, seorang waria membuka dadanya. Ketika saya berlalu, ia berteriak dari balik pohon pangkas yang tidak tinggi itu. Saya ngeloyor tidak mengacuhkannya.
Ayah ternyata benar, saya diterima di perguruan tinggi negeri. Itu pun sampai dua kali: UI dan ITB. Ia kurang senang kalau saya masuk ITB karena saya menjadi di luar radar kontrolnya. Jadi ia memberi saya uang saku yang pas-pasan selama di Bandung. Pada awalnya, saya pun tidak diberi motor untuk mondar-mandir belajar ke rumah teman, cari makan, dan ke kampus. Hidup menjadi susah atau dibuat susah oleh ayah saya. Saya masih ingat ketika masih tingkat satu atau TPB, saya mengambil olahraga Taekwondo sebagai kegiatan ekstra kulikuler. Masalahnya latihan Taekwondo itu berlangsung di malam hari, dan sering berakhir jam 11, sehingga oplet dago sudah tidak beroperasi lagi. Akibatnya saya jalan kaki untuk pulang. Dan melewati Jalan Tamblong yang waktu itu banyak pelacur dan bencong di pinggir jalan. Bedanya saya menghadapi waria di Latuharhary dengan di Bandung adalah saya lebih relaks, tidak menghindar seperti dulu. Ketika waria “minta api” dari rokok saya, maka saya akan berhenti, senderan di tembok, dan mengobrol dengan mereka. Tidak takut diganggu. Hitung-hitung saya mengambil istirahat di tengah perjalanan dari Jalan Ganesha. Kadang-kadang saya juga iseng bertanya, “ada tititnya ga?” Dan waria itu dengan kalem membuka celananya.
Sekarang, Bandung dan Jakarta sudah demikian tertib, kita tidak melihat lagi ada gubug di pinggir rel Latuharhary, tidak ada rumah kumuh di pinggir kali Ciliwung, tidak ada bencong di Taman Lawang, tidak ada penjaja seks di Jalan Tamblong. Semuanya rapi, bersih, tertib. Tetapi tetap saja ada pertanyaan di hati saya, kemana para waria itu? Ditertibkan bukan berarti hilang, hanya berpindah tempat saja, cuma kemana? Kita tahu bahwa menurut situs The Burning Platform, dalam artikelnya “All 112 genders, PLUS the 71 suffixes”, bahwa gender manusia itu tidak terbatas pada pria dan wanita saja, saat ini sudah teridentifikasi 112 macam gender. Dan waria masuk ke salah satu dari yang 112 itu. Artinya waria itu tidak bisa hilang dan tidak akan musnah dari muka bumi, karena itu sudah nature-nya manusia. Belakangan saya tahu bahwa sejak 4 tahun terakhir ada aplikasi Michat di mana banyak penggunanya adalah kaum waria. Jadi mereka berpindah dari off-line di pinggir jalan menjadi online melalui smartphone.
Ada kecurigaan saya bahwa hilangnya waria dari pandangan mata di jalan-jalan karena adanya puritanisme dalam beragama, hal itu mulai terjadi sejak zaman Reformasi, di mana kaum Wahabi Indonesia demikian keras terhadap transgender. Sepertinya transgender itu bukankah makhluk Tuhan. Hanya dua jenis manusia yang diakuinya, yaitu laki-laki dan perempuan, sementara urusan 112 gender itu seperti tidak ada. Yang di luar pria dan wanita adalah liyan, yang lain, yang berbeda dengan kita, the Other, tidak dianggap dan kalau perlu dimusnahkan. Itu mirip dengan orang Yahudi di Jerman ketika Hitler berkuasa, orang Yahudi dianggap bukan kaumnya, tidak diakui sebagai warga negara Jerman, dikucilkan, disingkirkan, dan pada akhirnya dimasukkan ke kamar gas di kamp Auschwitz.
Padahal Presiden kita yang ke empat, Gus Dur, sangat memperhatikan dan peduli dengan masalah the Other ini. Sehingga ia kemudian menertibkan dan meluruskan nasib kewarganegaraan orang-orang Tionghoa serta para eks Tapol PKI dan keluarganya yang selama ini teraniaya rezim Orde Baru. Demikian pula dengan urusan waria ini, ia demikian toleran, sehingga ada pesantren yang menerima para waria menjadi santrinya. Memang masalah transgender jauh dari selesai. Sampai saat ini kaum LGBT hidup dengan sembunyi-sembunyi, tidak mau membuka identitasnya. Saya pernah diajak menonton festival film Queer di suatu tempat di Jakarta, sudah pasti undangannya sangat privat. Mereka nampak senang dengan film nobar di antara kaum sejenis.
Berdasarkan pemikiran itu saya membuat sebuah lukisan yang diberi judul “The Other”. Lukisan itu didasarkan pada ingatan-ingatan saya ketika berkomunikasi dengan para bencong. Situasinya tampak absurd, dengan waria telanjang di siang hari, berdiri dipagari rerumputan atau semak yang tidak tinggi. Ia nampak provokatif di depan tembok yang penuh dengan grafiti, corat-coret ala street art, di mana ada gambar Gus Dur yang dicat pilox pada tembok, disertai ucapannya yang terkenal, “Gitu Aja Kok Repot”. Terasa ada juxtaposisi di situ, antara bencong dengan Gus Dur. Namun mengingat bangsa kita begitu bermoral, maka dilakukan self-censored terhadap karya saya itu, agar bisa ditayangkan pada media ini. Selamat menikmati.***