SKETSA | Benturan Peradaban (VII)

Silahkan bagikan

Oleh Syakieb Sungkar

 

EDWARD Said mengatakan, personifikasi entitas besar yang disebut “Barat” dan “Islam” oleh Huntington ditegaskan secara sembrono. Hal-hal yang sangat rumit seperti identitas dan budaya dibuat seperti kartun di mana Popeye dan Bluto saling memukul tanpa ampun, di mana Popeye adalah petinju yang selalu lebih berbudi luhur, terus mendapatkan keunggulan atas musuhnya. Huntington tidak menelaah dengan seksama adanya dinamika internal dan distorsi dari setiap peradaban. Terlihat adanya ketidaktahuan dan demagogi Huntington yang menyangkut definisi atau interpretasi setiap budaya, namun ia dengan berani berbicara mewakili seluruh agama atau peradaban. Ia tidak tahu apa itu Barat dan apa itu Islam.

Baca juga

SKETSA | Benturan Peradaban (VI)
SKETSA | Benturan Peradaban (V)
SKETSA | Benturan Peradaban (IV)
SKETSA | Benturan Peradaban (III)
SKETSA | Benturan Peradaban (II)
SKETSA | Benturan Peradaban (I)
SKETSA | Blois
SKETSA | Ukraina
SKETSA | WAG
SKETSA | Facebook

Tantangan bagi pembuat kebijakan Barat, kata Huntington, adalah untuk memastikan bahwa Barat menjadi lebih kuat dan menangkis semua yang lain, khususnya Islam. Yang lebih meresahkan adalah asumsi Huntington dengan perspektifnya, yaitu mengamati seluruh dunia dari tempat yang jauh di luar sana, tanpa adanya keterlibatan dan keterikatan, namun ia menganggap apa yang dilihatnya benar, dan orang percaya bahwa ia telah menemukan jawaban atas konflik Barat – Islam. Faktanya, Huntington adalah seorang ideolog, seseorang yang ingin membuat “peradaban” dan “identitas” sebagai suatu entitas yang tertutup. Suatu entitas yang seolah-olah bersih dari segudang arus balik yang menjiwai sejarah manusia, yang selama berabad-abad telah menunjukkan bahwa sejarah itu tidak hanya berisi perang agama dan penaklukan kekaisaran, tetapi juga menjadi ajang pertukaran, persilang budaya, dan berbagi.

Huntington kurang melihat sejarah secara seksama, atau mengabaikannya, sehingga dengan terburu-buru ia menyoroti peperangan itu dengan mereduksinya secara menggelikan sebagai “benturan peradaban”. Ketika dia menerbitkan bukunya dengan judul yang sama pada tahun 1996, Huntington mencoba memberikan argumennya sedikit lebih halus, dengan lebih banyak catatan kaki; semua yang dia lakukan, bagaimanapun, adalah membingungkan dirinya sendiri dan menunjukkan betapa dia adalah seorang penulis yang kikuk dan pemikir yang tidak elegan, demikian pandangan Edward Said terhadap Huntington.

Huntington telah memilih paradigma dasar Barat versus “yang lain”, yang merupakan perumusan ulang oposisi Perang Dingin, yang telah bertahan secara diam-diam dan implisit dalam diskusi-diskusi sejak peristiwa mengerikan 11 September. Serangan bunuh diri dan pembantaian massal yang direncanakan dengan hati-hati dan menghebohkan, bermotivasi patologis oleh sekelompok kecil militan gila, telah diubah menjadi bukti tesis Huntington. Alih-alih melihatnya apa adanya, para tokoh internasional dari mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto hingga Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi, telah mengekspresikan masalah – masalah Islam dengan menggunakan ide-ide Huntington, untuk mengoceh tentang superioritas Barat. Berlusconi menyombongkan bagaimana “kita” (Barat) memiliki Mozart dan Michelangelo sedangkan “mereka” (Islam) tidak. Walau Berlusconi kemudian dengan setengah hati meminta maaf atas penghinaannya terhadap “Islam”.

Baca Juga :  Wabup Sahrul Minta BNN Dibentuk di Kabupaten Bandung

Penutup

Tetapi mengapa orang-orang itu tidak melihat kesejajaran antara 9/11 dengan kehancuran yang ditimbulkan oleh murid-murid Pendeta Jim Jones di Guyana atau Aum Shinrikyo di Jepang? Bahkan mingguan Inggris yang biasanya tertib seperti The Economist, dalam terbitan 22-28 September, tidak dapat menahan diri untuk mencapai generalisasi yang sama, memuji Huntington dengan luar biasa untuk pengamatannya yang “kejam dan menyapu, tapi tetap akut” tentang Islam. “Hari ini,” kata jurnal itu, Huntington menulis bahwa “miliaran orang Muslim di dunia yakin akan superioritas budaya mereka, dan terobsesi dengan inferioritas kekuatan mereka.” Apakah Huntington telah meneliti orang Indonesia, Maroko, Mesir dan orang Bosnia? Inilah masalah dengan label-label yang tidak membangun seperti Islam dan Barat. Mereka menyesatkan dan membingungkan pikiran, yang mencoba memahami realitas yang tidak teratur. Sehingga ada orang menarik garis antara teknologi “Barat” seperti yang dinyatakan Berlusconi, dengan “ketidakmampuan” Islam untuk menjadi bagian dari modernitas.

Namun ada alasan lain di balik kebencian itu, yaitu meningkatnya kehadiran Muslim di seluruh Eropa dan Amerika Serikat. Membayangkan populasi orang Muslim hari ini di Perancis, Italia, Jerman, Spanyol, Inggris, Amerika, bahkan Swedia, kita harus mengakui bahwa Islam tidak lagi berada di pinggiran Barat tetapi ada di pusatnya. Hal apa yang begitu mengancam tentang kehadiran itu? Adalah kenangan penaklukan Arab-Islam besar pertama, yang dimulai pada abad ketujuh, seperti yang ditulis sejarawan Belgia terkenal Henri Pirenne dalam bukunya yang bersejarah, “Mohammed and Charlemagne” (1939). Kehancuran Kristen-Romawi memunculkan peradaban baru yang didominasi oleh kekuatan Utara (Jerman dan Prancis Carolingian) yang misinya, seperti yang dia katakan, adalah untuk melanjutkan pertahanan “Barat”. Pada penciptaan garis pertahanan baru ini, Barat menggunakan humanisme, sains, filsafat, sosiologi, dan historiografi Islam telah menempatkan dirinya di antara dunia Charlemagne dan zaman klasik. Islam ada di dalamnya sejak awal, bahkan Dante, musuh besar Muhammad, harus mengakuinya. Begitu tragisnya situasi tersebut, mereka tidak dapat didamaikan. Maka, tidak mengherankan, umat Islam dan Kristen dengan mudah berbicara tentang Perang Salib dan Jihad.

Baca Juga :  Seorang Pemudik Pangandaran Dinyatakan Positif Corona di Malam Takbiran

Betapa tidak memadainya label, generalisasi, dan pernyataan budaya pada akhirnya, karena konsep identitas dan kebangsaan penuh dengan ketidaksepakatan dan tidak akan ada habisnya untuk diperdebatkan. Keputusan sepihak yang dibuat seperti menarik garis di pasir: untuk melakukan perang salib, untuk melawan kejahatan, untuk membasmi terorisme – seperti dalam kosakata nihilistik Paul Wolfowitz. Bagi Edward Said, tesis “The Clash of Civilizations” adalah gimmick seperti “The War of the Worlds,” agar bisa lebih baik dalam memperkuat harga diri secara defensif daripada melakukan pemahaman kritis tentang saling ketergantungan peradaban yang cukup membingungkan di zaman kita. Kiranya hal-hal seperti inilah yang perlu dicermati di balik pemaparan Huntington yang sangat panjang dan kaya dengan detail itu.***

Referensi

[1] Fanani, Ahmad Fuad Fanani (Desember 2011). The Global War on Terror, American Foreign Policy, an Its Impact on Islam and Muslim Societies. IJIMS, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies. Volume 1, No 2

[2] Gelb, Leslie dan Betts, Richard Betts (1979). The Irony of Vietnam: The System Worked. Indiana University: Brookings Institution Press.

[3] Huntington, Samuel P. (2000). Benturan Antar Peradaban. terj. Ismail, M. Sadat. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

[4] Hyndman-Rizk, Nelia (2012). Pilgrimage in the Age of Globalization: Constructions of the Sacred and Secular in Late Modernity. Cambridge Scholars Publishing.

[5] Lock, Peter (2006). Routledge Companion to the Crusades. Routledge.

[6] M. Magstadt, Thomas (2010). Eastern Europe, Nations and Government: Comparative Politics in Regional Perspective (edisi 6). Boston: Cengange Learning.

[7] Madden, Thomas F. (2005). The New Concise History of the Crusades. Lanham: Rowman & Littlefield.

[8] Mamdud, Rijal (Juni 2018). Genealogi Gerakan Ikhwan Al Muslimin dan Al Qaeda di Timur Tengah. Jurnal ICMES. Volume 2, No. 1.

[9] Mardenis (2011). Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

[10] Mills, Charles (1821). History of the Crusades for the Recovery and Possesion of the Holly Land. London: Longman.
[11] Polychroniou, C.J. (24 September 2021). Noam Chomsky: The US-Led “War on Terror” Has Devastated Much of the World. Global Policy Journal. Durham University.
[12] Ruslin, Ismah Tita (2013). Memetakan Konflik di Timur Tengah (Tinjauan Geografi Politik). Jurnal Politik Profetik, Volume 1 Nomor 1.
[13] Ryan Burke dan Jahara Matisek (2020). The Illogical Logic of American Entanglement in the Middle East. Journal of Strategic Security , Vol. 13, No. 1, University of South Florida Board of Trustee.
[14] Said, Edward W (22 Oktober 2001). The Clash of Ignorance. The Nation.
[15] Sicker, Martin (2001). The Islamic World in Decline. Praeger Publishers.
[16] Stoddard, Lothrop (1921). The New World of Islam. London: chapman and Hall, Ltd.

[17] Wardana, Adhi (Oktober 2017). Upaya Pemerintah Turki Untuk Bergabung Dengan Uni Eropa. Global Political Studies Jurnal, vol. 1, No. 2

[18] Yasmine, Shafira Elnanda (2015). Arab Spring: Islam dalam gerakan sosial dan demokrasi Timur Tengah. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 28, No. 2.
[19] Yusof, Sofia Hayati (Maret 2013). The Framing of International Media On Islam and Terorism. European Scientific Journal. vol.9, No.8.

[20] Zurcher, Erik J. (2003). Sejarah Modern Turki. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


  • Penulis adalah seorang pengamat seni, dan pernah menjadi executive di beberapa perusahaan telekomunikasi. Ia pernah kuliah di FMIPA – Universitas Indonesia (1981), lulus dari Elektro Telekomunikasi – Institut Teknologi Bandung (1986), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2020). Dan pernah membuat buku “Melacak Lukisan Palsu” (2018) dan “Seni Sebagai Pembebasan” (2022). Pernah berpameran tunggal lukisan di galeri Titik Dua, Ubud (2021), berpameran bersama di galeri Salihara bersama Goenawan Mohamad (2020). Saat ini ia menjadi Editor in Chief di Jurnal Filsafat Dekonstruksi – jurnaldekonstruksi.id

M Purnama Alam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Komitmen TelkomGroup Hadirkan Layanan Digital Kelas Dunia di IKN Nusantara

Sen Mar 7 , 2022
Silahkan bagikanVISI.NEWS | JAKARTA – Sebagai BUMN dan perusahaan telekomunikasi digital terdepan, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) secara konsisten terus berupaya mewujudkan kedaulatan digital Indonesia, mulai dari kota besar hingga pelosok wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Kali ini, Telkom siap mendukung penuh penyediaan infrastruktur dan layanan digital di […]