Search
Close this search box.

SKETSA | BHARADA E

Bagikan :

Oleh Syakieb Sungkar

SETELAH lebih dari 3 minggu Brigadir J atau Nopryansah Yosua Hutabarat mati ditembak, masih belum ada tersangka pembunuhnya. Bagaimana tidak, Brigadir Yosua ditembak oleh pistol Glock 17, di mana pistol jenis Glock itu menurut Bambang Rukminto, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang kepolisian, adalah senjata standar milik para Jendral. Sehingga seorang Bharada bisa menggunakan senjata Glock untuk membunuh orang adalah suatu kejanggalan. Pangkat Bharada atau Bhayangkara Dua merupakan sebuah pangkat yang terendah pada golongan pertama (I) atau golongan Tamtama yang terlihat dari garis miring yang berwarna merah pada seragamnya. Senjata standar seorang Tamtama adalah senjata laras panjang ditambah sangkur, bukan Glock.

Pistol Glock 17 (sumber: Armlist).

Harusnya yang diperiksa oleh Kapolres Jakarta Selatan yang ketika itu dijabat oleh Kombes Budhi Herdi adalah identitas kepemilikan dari pistol tersebut. Kalau ternyata kemudian mengarah ke Kadiv Propam, Irjen Ferdy Sambo, sebagai tuan rumah TKP, akan repot. Karena secara kepangkatan Irjen Ferdy Sambo jauh lebih tinggi dari Kapolres Jakarta Selatan. Demikian pula secara struktur jabatan, Kadiv Propam itu adanya di Mabes Polri, Pusat, sementara Polres itu levelnya kotamadya, ada gap beberapa level antara Kapolres dengan Kadiv. Karenanya, Kapolres Jakarta Selatan ketika itu kemudian menelan mentah-mentah penjelasan Ferdy Sambo bahwa yang membunuh Yosua adalah Bharada E.

Hal lain yang ditelan oleh Kapolres adalah alasan Yosua ditembak karena ia melecehkan Putri Candrawathi, istri dari Ferdy Sambo. Kalau Putri memang dilecehkan harusnya ia diperiksa pada bagian mana anggota tubuhnya yang dilecehkan itu. Pakaian dalamnya juga diambil sebagai barang bukti, demikian pula pakaian dalam dari Yosua, termasuk ceceran sperma yang bisa diambil sebagai sampel. Karena urusan pelecehan itu bukan sekedar kata-kata, tetapi harus ada buktinya. Pelecehan itu ada hubungannya dengan relasi kuasa, artinya orang yang statusnya atau pangkatnya lebih tinggi yang biasanya melakukan pelecehan pada orang yang kekuasannya lebih rendah. Sementara Yosua hanyalah seorang bawahan yang sudah memiliki kekasih pujaan hati, untuk apa ia melecehkan seorang ibu yang telah melahirkan 4 orang anak? Kalau seseorang mengatakan “saya telah dilecehkan” tetapi hanya kata-kata saja tanpa bukti, itu adalah fitnah.

Baca Juga :  Pilih Sepatu Lari Sesuai Jenis Kaki, Jangan Cuma Lihat Model

Belum lagi pada jenasah Brigadir J ditemukan luka robek di bagian kepala dan di bagian bibir juga di hidung sudah dalam kondisi terjahit pada jenazah. Kamaruddin Simanjuntak, pengacara dari keluarga Brigadir J mengungkapkan lagi adanya luka robek di bagian bawah mata dan luka robek pada bagian perut. Kondisi jenazah Brigadir J juga mengalami luka-luka robek di bagian kaki. Kondisi jari-jari tangannya hancur, kukunya tercabut. Kondisi jenazah tersebut, dikatakan Kamaruddin, mengindikasikan kematian Brigadir J didahului adanya dugaan penyiksaan. Dengan diungkapkannya kondisi jenasah Brigadir J, cerita tentang adanya tembak-menembak menjadi suatu karya fiksi. Dari 5 tembakan yang dilakukan Bharada E itu tepat mengenai sasaran, termasuk tembakan jarak dekat dari belakang kepala, sementara 7 tembakan dari Brigadir J luput semua, apakah itu mungkin?

Kalau otopsi dilakukan dengan benar, setelah penembakan, jejak sisa tembakan di tangan Brigadir J akan menjadi bukti yang sangat penting. Demikian pula pada Bharada E, sejumlah kecil antimon elemen langka ditemukan di sebagian besar amunisi. Saat pistol meledak, awan partikel halus akan menutupi tangan si penembak – meninggalkan sedikit logam penanda. Dimanakah biasanya ditemukan sisa-sisa tembakan? Residu biasanya ditemukan pada kulit dan pakaian orang yang menembakkan pistol. Itu juga dapat ditemukan di luka masuk korban. Hal ini tergantung pada seberapa dekat korban dengan pistol ketika ditembakkan. Hal itu tidak terlihat dalam hasil otopsi, malahan – menurut Kamaruddin – laporan otopsi melakukan 3 kali kesalahan identitas dari segi umur. Seyogyanya, dokter yang melakukan otopsi juga harus diperiksa.

Ada hal lain yang mengganggu, handphone dari keluarga Brigadir J disadap, katanya demi menghindari kegaduhan. Bukankah keluarga Yosua adalah warga sipil yang sedang mencari keadilan, mengapa harus disadap? Fasilitas IT dari Polri yang dibelikan negara seharga triliunan rupiah itu kemudian dipakai untuk menyadap rakyat yang tidak bersalah, itu betul-betul suatu penyalahgunaan kekuasaan. Karenanya, wahai Pak Polisi yang kami harapkan sebagai tumpuan keadilan rakyat, bekerjalah dengan sebaik-baiknya dan seksama, ungkap segera kebohongan para oknum Polisi ini, agar rakyat dapat tenang.***

Baca Berita Menarik Lainnya :