Oleh Syakieb Sungkar
JUMAT pagi 27 Mei 2022 adalah hari yang sedih bagi bangsa Indonesia. Buya Ahmad Syafii Ma’arif meninggal dunia pada pukul 10.15 WIB, dalam usia 87 tahun. Sebelumnya, Buya masuk ke rumah sakit itu sejak Sabtu (14 Mei) karena mengeluh sesak napas akibat jantung. Bahkan, pada awal Maret lalu, Buya Syafii juga sempat menjalani perawatan medis di RS PKU Gamping. Buya hampir dua pekan menjalani perawatan sampai kondisinya membaik dan diperkenankan untuk pulang. Buya Syafii dimakamkan di Taman Makam Husnul Khotimah Muhammadiyah di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kesedihan dan kehilangan mendalam dirasakan oleh banyak pihak. Ia adalah tokoh penebar toleransi beragama, darinya kita mendengar suara yang sejuk. Buya itu hatinya damai dan teduh. Kata-katanya itu sungguh membuat kita tenteram dan teguh dalam mengupayakan hidup bersama yang rukun, kata seorang pastor. Buya Syafii adalah sosok yang telah meraih keluhuran spiritual. Hal ini nampak misalnya saat Gereja Santa Lidwina Stasi Bedog diserang teroris pada tahun 2018, Buya Syafii adalah tokoh pertama yang hadir di lokasi untuk menenangkan umat Katolik. Ia datang dengan mengayuh sepeda dan langsung memberi konferensi pers. Dengan tegas Buya mengatakan bahwa serangan itu adalah perbuatan teroris, kita jangan mau dipecah belah. Dan ia juga menekankan bahwa umat beragama Islam dan non Muslim harus berkomunikasi satu sama lain.
Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii adalah seorang ulama dan cendekiawan Indonesia. Ia pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, President World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute. Buya Syafii Maarif adalah seorang tokoh yang tidak pernah mengenal istilah lelah untuk berfikir dan berbuat bagi umat dan bangsa, sehingga banyak orang yang memberinya gelar Bapak Bangsa. Ia lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935. Sebuah desa yang baru memperoleh aliran listrik PLN pada tahun 2000an. Ayahnya adalah saudagar gambir, yang belakangan diangkat sebagai kepala suku di kaumnya. Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di Sumpur Kudus. Tiap hari ia berjalan kaki berkilo meter untuk belajar di SD Muhammadiyah itu.
Sepulang sekolah, Pi’i, panggilan akrabnya semasa kecil, belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu. Pendidikannya di SR yang harus ditempuh selama enam tahun, dapat diselesaikan selama lima tahun. Ia tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi revolusi kemerdekaan. Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat melanjutkan sekolahnya selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas tiga.
Pada tahun 1953, dalam usia 18 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jawa. Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk mengikuti sekolah ke Madrasah Muallimin di kota itu tidak terwujud. Karena pihak sekolah menolaknya di kelas empat dengan alasan kelas sudah penuh. Tidak lama setelah itu, ia justru diangkat menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut tetapi tidak lama. Pada saat bersamaan, ia mengikuti sekolah montir sampai akhirnya lulus setelah beberapa bulan belajar. Setelah itu, ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya diterima, tetapi ia harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga. Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar (kini dibawahi oleh Lembaga Pers Mu’allimin), sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta.
Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, dan memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya. Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok untuk memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru. Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru. Setelah setahun mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya. Kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta. Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964.
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat sarjana penuh (doktorandus) pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968. Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada tahun 1958. Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka usaha dagang kecil-kecilan bersama teman-temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo. Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi: “Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.” Selama di Chicago, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya. Ketika Fazlur Rahman ke Jakarta pada 1985, ia mengatakan punya dua murid kesayangan di sini. “Nurcholish Madjid adalah mujaddid (pembaru), dan Syafii Maarif adalah mujahid (pejuang),” kata profesor Islamic Studies itu.
Setelah meninggalkan posisinya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kemudian ia aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, selain menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan pada sejumlah media cetak. Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain berjudul: “Dinamika Islam” dan “Islam, Mengapa Tidak?”, kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian “Islam dan Masalah Kenegaraan”, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.
Cendekiawan muslim Adian Husaini mengkategorikan Ahmad Syafii Maarif sebagai tokoh Muhammadiyah pendukung gagasan Islam Liberal (neomodernisme) yang diusung oleh Fazlur Rahman. Adian mencatat bahwa Syafii memuji setinggi-tingginya Fazlur Rahman yang merupakan dosennya. Ia juga mencatat penyataan Syafii pada 2001 yang menolak kembalinya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi. Zuly Qadir mencatat Syafii dan Hasyim Muzadi menolak pemberlakuan syariat Islam secara formal di Indonesia. Syafii ditulis oleh Budi Handrianto sebagai kelompok senior dalam buku berjudul “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekulerisasi, Pluralisme, dan Liberalisasi Agama.” Budi Munawar Rachman mengelompokkan Syafii termasuk ke dalam golongan neo-modernis Islam bersama Nurcholish Madjid dan tokoh-tokoh lainya.
Muhamad Afif Bahaf menuliskan bahwa gerakan Islam Liberal tumbuh subur di Muhammadiyah semasa dipimpin Syafii. Hal ini ditandai dengan berdirinya tiga komunitas intelektual yaitu Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Maarif Institute, dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Pada November 2016, ia membela Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan mengatakan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama. Pandangannya ini melawan pendapat mayoritas tokoh Islam lainnya termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah memfatwakan bahwa Ahok melakukan penistaan agama islam dan para ulama.
Maarif Institute yang didirikan (2002) ketika ia menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005) itu, kegiatan utamanya adalah menjelajahi pemikiran keislaman yang toleran, kultural, ilmiah dan berwawasan ke depan, sejalan dengan corak pemikiran Buya Syafii Maarif. Ketika banyak orang menyumbang Institute, sumbangan itu ia alirkan ke organ-organ afiliasi Muhammadiyah dengan alasan ia menganggap orang-orang itu menyumbang karena ia Ketua Muhammadiyah, bukan karena ia Ketua Yayasan Maarif. Buya tidak mau terjadi conflict of interest. Ketika ia tidak lagi menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sumbangan dilaporkan penggunaannya lengkap dengan bukti pengiriman uang atau tanda terima dari orang-orang yang dibantunya untuk segala keperluan seperti — penulisan disertasi, bantuan untuk biaya sekolah anak, perbaikan bangunan milik Muhammadiyah. Ia tak memetik sepeser pun dari sumbangan-sumbangan itu. Buya Syafii menerapkan doktrin Kiai Ahmad Dahlan: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah.”
Keluhuran semacam itu terjadi pada sosok Ketua PP Muhammadiyah sebelumnya, Abdul Razak Fachruddin (1968-1990). A.R. Fachruddin mendapatkan nafkah dari berjualan bensin eceran di depan rumahnya di Jalan Cik Di Tiro, ditambah menyewakan empat kamar kos di bagian belakang rumahnya. Puritanisme seperti itu hanya terjadi pada orang-orang jujur di masa lampau, saat ini sulit sekali mencari orang seperti Buya itu. Padahal, sebagai pemimpin tertinggi organisasi yang memiliki aset dalam bilangan triliun, kesempatan untuk mengambil sebagian untuk dirinya, sangat terbuka lebar. Namun hal seperti itu tidak dilakukannya.
Ahmad Syafii Maarif pulang ke Jogja dari Chicago di akhir 1983. Menurutnya, “umat Islam seribu tahun berhenti berpikir!” Simptom itu ia rujukkan pada Abu Hamid Al Ghazali, terutama pada karya monumentalnya, “Ihya Ulumuddin”. Menurutnya, kemacetan berpikir di kalangan umat Islam adalah gara-gara terbitnya karya Ghazali itu, yang menekankan purifikasi mental individual. Syafii Maarif sebelumnya tidak dikenal sebagai aktifis pembaru Islam, dengan caranya sendiri ia ikut dalam barisan pembongkar kebekuan Ghazalian. Ia adalah bagian dari barisan sarjana baru Muslim lulusan universitas Barat, bersama dengan Saifullah Mahyudin, Sahirul Alim, Amien Rais, Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, Ichlasul Amal, Mochtar Mas’oed dan beberapa lainnya.
Ia melontarkan kritik-kritiknya yang keras — terhadap pejabat negara, juga elit-elit ormas Islam radikal. Kerisauannya yang diungkapkan dengan sepenuh kesungguhan tercetus dari kemanusiaannya yang tulus, kejujuran dan kesederhanaan perilakunya serta ketidakpeduliannya pada pemilikan harta benda. Generasi muda Indonesia harus melanjutkan cita-cita perdamaian yang telah diperjuangkan oleh Buya Syafii Ma’arif. Buya tidak hanya bersuara tapi konkrit melakukannya dengan sungguh-sungguh menyambangi para korban, orang yang susah, orang yang sedang takut dan menjadi pengayom.***
- Penulis, pengamat seni dan pernah menjadi executive di beberapa perusahaan telekomunikasi. Ia pernah bersekolah di FMIPA – Universitas Indonesia (1981), Elektro Telekomunikasi – Institut Teknologi Bandung (1986), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2020). Dan pernah membuat buku “Melacak Lukisan Palsu” (2018). Pernah berpameran tunggal lukisan di Galeri Titik Dua, Ubud (2021). Saat ini menjadi Editor in Chief di Jurnal Filsafat Dekonstruksi -jurnaldekonstruksi.id.