Oleh Syakieb Sungkar
DARI 8 buku Danarto yang pernah saya baca, tidak ada yang sedahsyat Godlob. Tetapi sudah lebih dari 5 tahun Danarto tidak membuat buku, apa sudah malas menulis Cerpen? “Saya tetap produktif menulis tetapi media yang mau menerima sudah tak banyak lagi. Bahkan Kompas yang pernah menobatkan Cerpen saya sebagai Cerpen terbaik tahun 2002, sudah tidak mau lagi. Katanya Cerpen-cerpen saya sudah tidak relevan dengan situasi sosial saat ini.”
Tetapi Sabtu, 14 Desember 2013, Danarto mampir ke rumah saya dengan membawa satu exemplar majalah “Ulumul Qur’an”, sebuah majalah pengkajian Islam yang terbitnya sudah mulai tidak teratur. “Ada Cerpen saya disitu,” dengan senyum lebar. Saya membacanya dengan suka cita. Namun yang lebih menarik hati saya adalah suatu artikel dalam majalah tersebut yang ditulis M. Dawam Rahardjo tentang “Ummatan Washatan”.
Karena kejujuran dan perilakunya yang mulia, Nabi Muhammad sering ditunjuk sebagai penengah atau wasit. Nabi diangkat sebagai juru damai dalam persengketaan bebuyutan dari dua suku : Aus dan Khazraj. Nabi juga bertindak sebagai wasit atau moderator di antara berbagai kelompok suku dan agama di Madinah. Dengan posisi seperti itu Nabi mempunyai kesempatan untuk mempersatukan berbagai kelompok masyarakat yang saling bertentangan.
Tuhan berkata “Kami telah menjadikanmu umat yang adil dan di tengah-tengah (Ummatan Washatan)” (Al-Baqarah 143). Washatan = wasit = di tengah. Berada di tengah menunjukkan suatu yang moderat, mencari situasi yang “win-win”, dan itulah prinsip dasar dalam mencari jalan keluar dari kemelut yang ada pada masyarakat. Islam tidak pernah memilih jalan yang ekstreem. Kalau ada masalah selalu dilihat dari berbagai aspek, untuk kemudian dicarikan jalan tengahnya sebagai solusi. Prinsip-prinsip itulah yang menjadi pegangan Nabi kalau terjadi pertentangan antar suku atau kelompok.
Pada tahun 606 M, ketika Nabi berusia 35 tahun, Kabah mengalami kebakaran besar sehingga perlu dibangun kembali oleh kabilah-kabilah yang ada di Mekah ketika itu. Setelah pembangunan selesai, gilirannya Hajar Aswad hendak diletakkan kembali ke tempatnya. Terjadilah perselisihan di antara kabilah-kabilah itu tentang siapa yang paling berhak untuk meletakkan batu itu di tempatnya.
Melihat keadaan ini, Abu Umayyah bin Mugirah dari suku Makzum, sebagai orang yang tertua, mengajukan usul bahwa yang berhak meletakkan Hajar Aswad di tempatnya adalah orang yang pertama sekali memasuki pintu Safa keesokan harinya. Ternyata orang itu adalah Muhammad yang ketika itu belum menjadi rasul. Dengan demikian, dialah yang paling berhak untuk meletakkan Hajar Aswad itu di tempatnya.
Akan tetapi dengan keadilan dan kebijaksanaannya, Muhammad tidak langsung mengangkat Hajar Aswad itu. Nabi melepaskan serbannya dan menghamparkannya di tengah-tengah anggota kabilah yang ada. Hajar Aswad lalu diletakkannya di tengah-tengah serban itu. Nabi kemudian meminta para ketua kabilah untuk memegang seluruh tepi serban dan secara bersama-sama mengangkat serban sampai ke tempat yang dekat dengan tempat diletakkannya Hajar Aswad. Nabi sendiri memegang batu itu lalu meletakkannya di tempatnya. Tindakan Nabi ini mendapat penilaian dan penghormatan yang besar dari kalangan ketua kabilah yang berselisih faham ketika itu.
Ada lagi pelajaran berharga kalau kita dalam posisi di tengah, yaitu kita belajar bertoleransi. Karena dengan toleransi kita akan mendengarkan dan mempelajari pendapat orang untuk kemudian didialogkan. Dengan itu kita akan mendapat pengertian bersama dan saling memahami problema masing-masing. Dari sana kita juga paham bahwa selama yang diurus adalah masalah dunia, maka tidak ada kebenaran yang mutlak, semuanya relatif. Relatif terhadap waktu, maksudnya saat itu barangkali keputusan kita benar, namun dalam perspektif waktu bisa saja di kemudian hari pendapat kita itu salah. Juga relatif dari sisi pengetahuan yang kita miliki pada saat itu. Di lain hari dengan adanya tambahan informasi dan pengetahuan, kita bisa evaluasi kembali pendapat yang saat itu kita yakin benar. Sehingga apa yang kita putuskan pada hari ini sebenarnya keputusan praktis yang mengkonsider semua pihak dan kepentingan sesaat.
Waktu saya muda dahulu, saya sangat jengkel dengan sikap seperti itu. Suatu sikap yang kompromistis dan terkesan cari aman. Tetapi pengalaman membuktikan bahwa cara kompromi seperti itu yang paling sedikit “error”-nya, — karena sebelum mengambil keputusan, kita sudah mengkaji dan menganalisa semua pendapat. Seandainya cara itu ternyata masih salah juga, toh kita semua sudah mahfum bahwa kebenaran itu relatif, manusia tidak luput dari kesalahan. Dan cara kompromi seperti ini yang paling sedikit menimbulkan friksi.
Lebih luas lagi bahwa ajaran Islam itu juga berada di tengah-tengah, di tengah-tengah antara Barat dan Timur. Dia bukan Barat, juga bukan Timur. Dia rasional seperti disiplin di Barat tetapi juga melibatkan estetika dan humanisme, seperti yang ada di Timur. Di tengah-tengah antara Kapitalisme dengan Sosialisme — dia menghormati hak individu tetapi juga memperjuangkan keadilan sosial agar tidak terjadi ketimpangan pendapatan antara si miskin dengan si kaya. Kalau seluruh umat Islam berprinsip sesuai dengan ajaran Nabi di atas, bahwa kita harus berada di tengah, niscaya yang namanya terorisme, jihad dengan cara-cara kekerasan dan vandalisme, akan musnah dari muka bumi.
Demikianlah berkah saya berjumpa dengan Danarto, sehingga bisa membuat tulisan pendek ini.***