Oleh Syakieb Sungkar
IA bermain gitar. Ketika ia mengutarakan ingin memiliki gitar sendiri, ayahnya membelikan sebuah gitar merek Yamaha. Ketika ia mulai pandai memainkan musik klasik, ayahnya ingin lebih lagi, sehingga ia dimasukkan ke sekolah gitar di daerah Grogol. Pengajarnya itu seorang gitaris terkenal namanya Nelson Rumantir. Nelson Rumantir yang ganteng di tahun 70an, saat ini masih hidup dan masih bermain gitar di panggung. Hanya ia nampak tua dan kurus, sebagaimana aki-aki pada umumnya. Nelson mengeluhkan generasi sekarang tidak terlalu suka belajar gitar akustik lagi. Ia masih memimpikan kejayaan gitar zaman Sam Bimbo, Jopie Item dan Jack Lesmana.
Gambar 1 – Gitar akustik Yamaha.
Tetapi lama kelamaan ayahnya mulai resah, karena ia bermain gitar setiap hari. Si ayah tidak ingin anaknya menjadi pemusik, atau seniman. Sebuah profesi yang tidak menjanjikan. Sehingga ayah memintanya menyetop bermain gitar. Gitar itu dihancurkan dan ia harus kembali belajar. Agar menjadi dokter atau insinyur. Dengan itu masa depan akan terjamin. Ia menurut. Berangkat ke Bandung dan jadi mahasiswa. Gitarnya dilupakan sampai sekarang. Memang setelah di Bandung ia sempat pamer memainkan gitar sekedar satu dua lagu penglipur lara, semacam “Love in Vain” dari Mick Jagger atau “Little Wing” dari Jimmy Hendrix. Lumayan bisa membuat hati gadis-gadis kampung kepincut.
Tetapi kesukaan akan seni terus ada, cuma bentuknya berganti – bergeser menjadi suka seni rupa. Waktu mahasiswa ia sering datang menghadiri pameran di galeri Sumardja atau sebuah galeri di jalan Naripan. Setelah itu juga galeri Hidayat di Sulanjana. Berhubung perlu kenangan atas pameran, ia mengumpulkan brosur-brosur pamerannya, dan masih disimpan sampai sekarang. Ia masih ingat ketika di awal 80an Herry Dim berpameran tunggal pertama kali. Katalognya dibawa pulang.
Gambar 2 – Lukisan uang tahun 1968.
Ayahnya itu mempunyai bakat seni tetapi menyembunyikannya. Si ayah selain menyukai musik klasik, ia pandai menggambar. Ketika atasannya membutuhkan seorang designer untuk produk yang akan dilaunching, ia dipanggil untuk melukis produk yang akan diluncurkan – secara probono. Terkenang ayahnya membuat design label pada botol minuman markisa dan itu terpakai dalam waktu yang lama. Ayahnya mengerjakannya dengan senang hati, walau tidak dibayar.
Ia ingat ayahnya pernah menggambar duit. Itu dikerjakannya dalam waktu 2 hari. Ketika ia ingin jajan keripik pisang, ayahnya memberikan ‘uang’ itu untuk dibelanjakan. Ia yang masih bocah membawa uang produksi ayahnya itu ke warung untuk berbelanja. Tentu saja terjadi kegegeran. Ayahnya tersenyum saja ketika dilaporkan uang buatannya ditolak. Kalau ayahnya dulu tidak melarang ia berkesenian, boleh jadi jalan hidupnya menjadi seniman. Bisa jadi ia kemudian hidup susah dan menjadi pekerja serabutan, misalnya. Kemudian profesi senimannya ditinggalkan karena tidak bisa menunjang kehidupan. Tetapi mungkin juga kemudian berakhir sebagai gitaris yang sukses atau pelukis terkenal.
Kenyataannya di masa pandemi yang 2 tahun itu, semua seniman terkapar. Tidak ada order. Panggung pertunjukan ditutup dan ruang pamer pada galeri seni rupa berhenti beroperasi. Ada beberapa pameran yang diselenggarakan secara daring, tetapi itu tidak nendang. Karena lukisan harus dilihat langsung, tidak bisa dengan hanya memandangi e-katalog. Ada juga pertunjukkan jazz live online, seperti Indra Lesmana memainkan keyboard, Tohpati pada gitar, dan Tompi bernyanyi. Tiketnya yang Rp 75 ribu itu terjual habis. Tetapi pertunjukkan seperti itu jarang sekali. Adapun salah satu alasannya adalah jaringan internet sering tidak bagus, IP nya suka berpindah-pindah karena tidak dedicated. Hal itu menyebabkan delay, sehingga penyatuan suara dari rumah masing-masing pemusik menjadi tidak sinkron. Karenanya seniman beramai-ramai, dengan dikomandani Butet Kertarajasa, datang ke Istana, agar kehidupan mereka bisa disupport oleh negara. Apa artinya kalau Indonesia tanpa seniman? Tidak bisa terhibur, bukan? Bayangkan Indonesia tanpa Komeng dan Cak Lontong, pastilah hidup ini terasa hambar.
Beruntung ia tidak jadi seniman, sehingga di masa pandemi 2 tahun belakangan, ia terkapar juga. Proyek-proyeknya tidak dibayar, bohir beralasan investor mengundurkan diri, karena tidak mau beresiko uangnya hilang lebih banyak. Baru bayar uang muka, para investor itu sudah ngabur. Mereka berpendapat daripada uang lebih banyak lagi yang hilang, sebaiknya proyek dibuat mangkrak. Mula-mula ia setahun bertahan, tetapi akhirnya tidak kuat juga membayari pegawai yang demikian banyak, sementara perusahaan beroperasi tanpa income sama sekali. Belum lagi ketika itu tidak mendapat kejelasan kapan pandemi akan berakhir. Mengikuti jejak yang dilakukan investor, ia juga menutup perusahaan. Karyawan di-PHK dengan memberi pesangon ala kadarnya. Perusahaan itu menyatakan bangkrut demi menghindari tagihan material dan jasa konstruksi yang belum lunas.
Hanya sedikit uangnya yang tersisa Ia harus banyak berhemat. Ia berhenti pergi ke salon untuk menghindari adanya pengeluaran tambahan. Rambutnya dibiarkan panjang demi penghematan. Ia tidak pernah lagi makan di luar atau di restoran, akhirnya masak sendiri di rumah. Dan itu justru menyebabkan ia menjadi gemuk, karena tidak ada lagi yang bisa dikerjakan selain nonton TV, membaca buku, makan dan tidur. Agar hidupnya tidak monoton, uang yang tersisa kemudian dibelikan gitar, yang sedang diobral murah karena toko peralatan musik akan tutup. Sekaligus sebagai kompensasi masa remajanya yang hilang, karena dulu ayahnya merenggut paksa gitar kesukaannya. Gitar yang baru dibelinya itu dipandanginya lamat-lamat, kemudian tangannya mulai bergerak, dan cerita kembali berulang dari awal: ia bermain gitar. ***