Oleh Syakieb Sungkar
MINGGU lalu ramai dibicarakan 3 partai: Nasdem, Demokrat dan PKS mendukung Anies Baswedan jadi calon Presiden. Dari kursi yang dimiliki: Nasdem (10,26%), Demokrat (9,39%), dan PKS (8,70%), mereka sudah mempunyai jumlah suara 28,35% yang lebih dari cukup untuk memajukan seorang Capres ke Pemilu 2024. Karena ketentuan ambang batas itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 222 UU itu menyebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Kalau kita perhatikan, yang menjadi penganten dalam koalisi ini adalah Anies itu sendiri. Karena menurut hasil survey Litbang Kompas bulan Februari 2022, elektabilitas Anies sebagai Capres cukup menjanjikan, yaitu 14,2%. Masuk urutan ketiga di bawah Prabowo Subianto yang 26,5% dan Ganjar Pranowo sebesar 20,5%. Sementara AHY yang menjadi Cawapres hanyalah kandidat ecek-ecek saja yang menurut survey cuma mendapat 3,7%. Masih di bawah Sandiaga Uno yang 4,9%. Karenanya, AHY sibuk bersolek untuk mengkompensasi suaranya yang rendah itu. Dapat diperkirakan, kemunculan AHY lebih karena dukungan SBY yang ingin mencarikan pekerjaan untuk anak sulungnya ini. Karena setelah tidak lagi di Militer, dan kalah dalam laga Pilkada DKI, pekerjaan AHY saat ini jadi kurang jelas.
Menurut saya, kombinasi Anies – AHY ini masih belum confirm. Karena Anies nampaknya masih pilih-pilih pasangan. Kalau soal dana kampanye, tidak khawatir – karena Nasdem dan Demokrat mempunyai cukup resources untuk membiayai kampanye yang biayanya – katanya – bisa mencapai Rp 9 Trilyun itu. Belum lagi ada PKS, satu-satunya partai yang mempunyai ideologi jelas: Islam militan. Tetapi kalau Anies berpasangan dengan Ganjar, misalnya, itu baru joss: dua bagian besar suara bisa diraih – Islam dan Nasionalis. Apalagi posisi Ganjar untuk Pemilu 2024 ini masih nganggur. Karena ia dibuang oleh partainya sendiri tetapi belum dipinang oleh partai lain.
Bagaimana dengan Golkar? Kursinya di DPR mencapai 14,78%, sangat sexy. Tetapi Airlangga, pemimpinnya, yang diamanatkan partainya untuk menjadi Capres pada Pemilu 2024, elektabilitasnya masih di bawah 1%. Airlangga masih meminta waktu kepada rekan-rekannya di partai untuk menaikkan elektabilitasnya dalam kurun waktu yang tinggal setahun ini. Rupanya pemasangan baliho besar-besaran di jalan-jalan strategis itu, masih belum menolong. Karenanya ia kasak-kusuk mewacanakan penundaan Pemilu. Kalau Jokowi bisa menjabat Presiden 3 periode, posisinya akan aman. Sayang usaha ini mengundang demo mahasiswa, sehingga menjadi bumerang bagi dirinya. Dan menjadi pemicu rekan-rekannya di partai untuk siap-siap mengganti Airlangga dengan pemimpin yang baru. Dengan itu Golkar menjadi lebih fleksibel dalam bermanuver mencari rekan koalisi yang cocok untuk Capres 2024.

Waktunya tidak lama lagi. Harus buru-buru bergerak agar Golkar tidak ketinggalan kereta dengan partai lain. Memang sulit bagi Golkar yang tidak punya kader yang menonjol untuk maju ke Pemilu 2024. Satu-satunya jalan adalah mengambil calon potensial yang masih available dan berkoalisi dengan partai lain untuk memenuhi ambang batas 20%. Seandainya Golkar dan Gerindra memajukan Prabowo jadi Capres dan Ganjar menjadi Cawapres, urusan 2024 akan selesai sudah. Mereka pasti menang dalam satu putaran.***