SKETSA | Hamzah Fansuri

Silahkan bagikan

Oleh Syakieb Sungkar

BANYAK orang telah mendengar nama Hamzah Fansuri tetapi tidak tahu siapa dia. Hamzah Fansuri adalah seorang penyair dan penganut sufisme. Ia hidup ketika Aceh dipimpin oleh Sultan Alaidin (1589-1604) dan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Nama belakang seseorang, seperti Fansuri, di zaman dahulu menunjukkan asal-usul seseorang, artinya Hamzah berasal dari Fansur. Tetapi dengan berlalunya waktu, orang sekarang sudah sulit menentukan di manakah letak Fansur berada. Sebagian ahli mengatakan bahwa Fansur itu nama lama sebuah kota di pantai Selatan pulau Sumatra, yang sekarang disebut Barus. Di zaman dahulu kota itu terkenal sebagai penghasil kapur barus, bahan pewangi ruangan. Kalau dalam peta, Barus terletak dekat Sibolga, di tengah-tengah antara danau Toba dengan pulau Nias. Tetapi ada juga pendapat bahwa asal kata Fansur adalah Pancu, nama sebuah kampung dekat kota Ulee Lheue, tidak terlalu jauh dari Banda Aceh.

Gambar 1 – Dua versi asal-usul Hamzah Fansuri, versi pertama ia lahir di Barus dekat Sibolga, versi kedua Hamzah lahir di Tanjung Pancu, Ulee Lheue, dekat Banda Aceh (sumber: Vidio Firal Aceh).

Tidak ada keterangan dari mana Hamzah Fansuri mendapatkan ilmu agama Islam, kemungkinan besar ia pernah belajar ke Timur tengah. Atau dari pengajar sufi Timur Tengah yang berkunjung ke Nusantara. Dalam rombongan orang Timur Tengah kadang terselip kaum sufi di dalamya untuk mengajar agama. Namun hal yang teristimewa dari Hamzah Fansuri adalah, ia orang pertama yang menulis puisi dan prosa keagamaan dalam bahasa Melayu. Hamzah juga membuat tafsir atas puisi-puisi yang digubahnya. Tafsir tersebut berbentuk prosa. Jadi kalau direkonstruksi cara kerja penyebaran ilmu dari Hamzah Fansuri kira-kira begini: ia mempelajari agama Islam dari Timur Tengah, kemudian tertarik pada salah satu aspek dari agama Islam, yaitu sufisme. Setelah menguasai sufisme, ia mensarikan sufisme yang dipahaminya itu dalam bentuk puisi, agar orang lain dapat menikmatinya. Kemudian ia  menuliskan penjelasan atas maksud puisinya dalam bentuk prosa.

Baca Juga :  Pemkab Bandung Gelar Pilkades 49 Desa Serentak pada 14 Juli 2021. Bupati Anggarannya meningkat 100%.
Gambar 2 – Kunjungan orang Timur Tengah (sumber: YouTube).

Hal ini dapat terlihat ketika ia membuat syair panjang yang berjudul “Sidang Ahli Suluk”. Berikut adalah petikan sebuah bait dari syair tersebut:

Hapuskan akal dan rasamu,

Lenyapkan badan dan nyawamu.

Pejamkan hendak kedua matamu,

Di sana kau lihat permai rupamu.

 

Hamzah Fansuri menjelaskan bahwa syair ini dipergunakan sebagai metode latihan sufi yang dimulai dengan “hapuskanlah akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada kondisi “tidak berpikir”, yang menurutnya merupakan kondisi yang berada pada kesadaran murni atau kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi “No-Mind” itu, maka seorang sufi harus “lenyapkan badan dan nyawamu”. Yang berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran serta nafsu. Setelah itu barulah sang sufi memejamkan kedua mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata ruhaninya”.  Itulah cara melihat jati diri yang senantiasa berada dalam kondisi permai, bahagia yang abadi – inti dari tafakur atau meditasi menurut Hamzah Fansuri. Seperti yang pernah ditulis oleh Ahmad Yulden Erwin, dalam artikelnya yang berjudul “Seorang Sufi dari Aceh pada Abad 17”.

Gambar 3 – Pengajaran Agama di Madrasah pada abad 17 (sumber: universalask).

Karel Steenbrink, mengatakan Fansuri memiliki kecenderungan kuat untuk memahami doktrin Islam melalui kaca mata mistik (sufi). Kecenderungan ini menyebabkan orang menyimpulkan bahwa Hamzah Fansuri adalah penganjur ajaran Panteisme atau Wahdatul Wujud. Kunci ajaran itu adalah menekankan eksistensi Tuhan sebagai satu-satunya yang nyata.  Berikut adalah syair Hamzah dari petikan kitab Al-Muntahi (Naskah Leiden no. 7291, III):

Bahawa ada kekasihku, tubuh dan nyawa rupanya jua,

Apa tubuh? Apa nyawa? Sekelian alam pun rupanya jua,

Segala rupa yang baik dan erti yang suci itu pun rupanya jua,

Segala barang yang datang kepada penglihatanku itu pun rupanya jua.

Hal itu yang membuat marah Syaikh al-Islam di Kerajaan Aceh yang bernama Nurrudin al-Raniri. Al-Raniri menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1637-1643, dan di masa menjadi Syaikh, ia memberikan perintah untuk membakar buku-buku Fansuri di halaman masjid besar Banda Aceh. Kalau yang nyata hanya Tuhan, maka keberadaan yang lain dianggap tidak memiliki eksistensi. Padahal yang dimaksud oleh Fansuri adalah, dunia bukannya tidak memiliki eksistensi, tetapi ia lebih menekankan keberadaan dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari Tuhan, dan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan.

Baca Juga :  Satgas TMMD Berperan Edukasi Warga Gerlang Pentingnya Vaksinasi

Sufisme adalah istilah lain dari tasawuf. Tasawuf adalah semacam ilmu (cara) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Para orientalis Barat memaknai istilah itu dengan mistisisme dalam Islam. Mistisisme sebagai suatu istilah bersifat universal, oleh karena hampir semua ajaran agama ada segi mistisnya. Mistisisme erat berkaitan dengan kata mistery, atau mysterious yang berarti rahasia. Oleh karena itu wajar apabila orang mengatakan mistisisme atau sufisme sulit untuk dipahami. Sementara Tasawuf berasal dari kata sufi. Kata sufi berasal dari shaafaa yang berarti suci. Seorang sufi adalah orang yang disucikan. Kaum sufi adalah orang-orang yang telah menyucikan dirinya melalui latihan yang berat dan lama. Kaum sufi hidup sederhana dan dalam keadaaan miskin tetapi suci atau mulia. Mereka meninggalkan kemewahan yang sering dilambangkan dengan kain sutera. Orang yang mula-mula digelari sufi ialah Abu Hasyim dari Koufah, yang wafat tahun 150 H (761 M).

Hampir semua agama dan sistem religi mempunyai aspek untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan. Sufisme tampaknya akan tetap eksis sepanjang zaman. Meskipun sekarang keadaan sudah berbeda, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, dan kebudayaan modern telah menyebar ke berbagai aspek kehidupan, tampaknya paham tasawuf tetap relevan. Kuntowidjojo dalam tulisannya di majalah Tempo tahun 1991, melihat kecenderungan orang belajar tasawuf sekarang ini ibarat mencari oase di padang pasir. Ketika ekonomi membaik, hidup cenderung hedonistik dan bermewah-mewah, muncul kesadaran yang kontradiktif yaitu kehausan pada kesederhanaan. Ekspresinya tampak pada simbol ketasawufan, seperti kesederhanaan, kecintaan, dan kesalihan.

Tasawuf sebagai ilmu pengetahuan mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Dalam artikel Haryadi, “Sufisme dalam Syair Hamzah Fansuri”, ada tingkatan-tingkatan yang mesti dilakukan oleh seorang sufi, yaitu (1) syariat, (2) thariqat, (3) hakikat, dan (4) makrifat. Syariat adalah segala aturan-aturan hukum yang termuat di dalam Alquran dan Sunah Nabi yang harus dilakukan oleh manusia. Thariqat adalah jalan ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam hal itu, syariat ibarat teori dan praktiknya ialah thariqat. Hakikat adalah kebenaran sejati (kebenaran mutlak) yang oleh Plato disebut ide tertinggi. Hakikat adalah ujung jalan tempat tujuan terakhir. Sementara itu, makrifat adalah insan kamil atau wahdatul wujud, yaitu manusia sempurna yang mengenal dirinya yang berarti juga telah mengenal Tuhannya.

Baca Juga :  Bupati Bandung Siapkan Strategi Keluar dari Zona Merah Pandemi Covid-19

Ke akhirat juga tempat berpulang,

Janganlah dikasih emas dan uang,

Itulah membawakan badan terbuang.

Hamzah Fansuri mengingatkan manusia bahwa hidup di dunia itu tidak lama, akhirnya akan sampai juga ke alam akhirat. Di akhirat, terdapat siksa yang sangat pedih. Dengan demikian, manusia harus berhati-hati selama hidup di dunia, terutama memperbanyak ibadah dan berbuat baik. Hamzah Fansuri memandang dunia sebagai suatu perjalanan panjang yang berujung pada kematian. Ia menggunakan simbol-simbol yang terdapat dalam perjalanan. Bagi orang Melayu yang akrab dengan dunia kelautan simbol-simbol yang diangkat adalah simbol kemaritiman, yaitu perahu, laut, gelombang, karang, ikan, pelabuhan (bandar), dan pulau. Syair Perahu I dan Syair Perahu II sudah cukup memberi gambaran bahwa penyair ingin menggambarkan manusia yang berada di dunia ini ibarat perahu yang sedang berlayar di lautan, dan pada akhirnya kita berpulang. Memang pada akhirnya kita semua akan mati bukan?. ***

M Purnama Alam

One thought on “SKETSA | Hamzah Fansuri

  1. Bukti kehadiran Islam awal di Kuala Pancu cukup kuat. Sebelum tsunami pada bulan Desember 2004, ada beberapa diwai atau makam Islam yg dikelilingi oleh pagar batu. Sesudah tsunami kami menemuhi beberapa nisan plang pleng dari abad ke-15 diwilayah yg sama. Contoh ada di Yayasan Lamjabat. Pada masa pertrngahan Pancu pernah mejadi pelabuhan yg ramai. Bukti arkeologi ada juga dlm bentuk keramik impor dan lokal maupun bahan2 lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Next Post

China Matters Jelajahi Teleskop Radio Terbesar di Dunia FAST 2022

Jum Apr 15 , 2022
Silahkan bagikan VISI.NEWS | BEIJING – FAST, atau Five-hundred-meter Aperture Spherical radio Telescope, adalah teleskop radio terbesar di dunia. Ini bukan hanya pencapaian sains dan teknologi astronomi Tiongkok, tetapi menandai langkah penting dalam eksplorasi astronomi umat manusia. Ilmuwan Tiongkok Nan Rendong pertama kali mengajukan gagasan membangun FAST pada tahun 1994. […]