Oleh Syakieb Sungkar
TEMAN saya seorang penulis dan banyak mendalami mengenai telaah sastra, kritik seni serta esei. Ia bercita-cita ingin membuat sebuah novel yang sangat bagus, sempurna, dengan struktur kompak namun gaya bahasanya sangat puitis. Jika novel itu terbit maka akan laku keras dan tiada cela. Sehingga para kritikus sastra hanyalah bisa memuji, karena tidak didapati suatu cacat dalam novelnya itu. Masalahnya, novel itu belum selesai. Sehingga ia perlu berkonsentrasi dalam pembuatannya. Untuk itu ia meminta izin bossnya untuk tidak ke kantor barang 1 tahun lamanya. Istilahnya, cuti di luar tanggungan perusahaan. Nanti setelah 1 tahun, novel yang sempurna itu akan selesai ditulis dan langsung diterbitkan. Mudah-mudahan novelnya itu mendapat hadiah sastra. Apakah hadiah sastra DKJ atau Rancage.
Selama satu tahun ia mengerjakannya seorang diri di rumah, dan mendapati banyak perbaikan-perbaikan dalam novelnya. Dan ia menemukan ide-ide baru bagaimana agar novel rancangannya itu dapat menjadi lebih baik lagi. Sehingga ia membongkar ulang seluruh bangunan novelnya, nyaris menulis dari awal lagi. Setelah masa 1 tahun usai, ia menelpon bossnya untuk minta izin tambahan cuti 1 tahun lagi karena novelnya masih belum selesai. Berhubung bossnya itu juga seorang seniman maka ia mengerti dan mengizinkannya untuk mengambil perpanjangan cuti. Bagi bossnya hal itu tidak masalah sejauh selama cuti, perusahaan tidak menanggung biaya apapun. Di tahun ketiga, ia sudah tidak berani meminta cuti lagi, tetapi orang-orang satu kantor telah mahfum bahwa teman saya itu masih berkutat menyelesaikan novelnya. Tanpa terasa sudah 10 tahun berlalu, tetapi ia belum muncul juga ke kantor.
Orang sekarang mulai bertanya-tanya kemana gerangan teman saya itu. Mengapa tidak pernah muncul ke dalam pergaulan di komunitas seniman. Dan setelah masuk tahun ke empat, ia tidak lagi mengangkat telpon selularnya, dan tak menjawab pesan-pesan. Orang-orang yang khawatir akhirnya bertandang ke rumahnya, tetapi teman saya itu tidak mau keluar dari kamarnya. Ia seperti menutup kehidupannya dari dunia. Sampai orang kemudian lupa mengapa dahulu ia meminta cuti. Dalam bahasa Jepang, teman saya itu sedang melakukan Hikikomori, artinya ia menarik diri dari kehidupan sosial dan masyarakat serta melakukan isolasi, atau dapat disebut sebagai pertapa.
Diperkirakan ada 1 juta orang Jepang yang telah menjadi pertapa sosial. Kementerian Kesehatan, Perburuhan, dan Kesejahteraan Jepang mendefinisikan hikikomori sebagai suatu kondisi di mana individu yang terkena dampak menolak untuk meninggalkan rumah orang tua mereka, tidak bekerja atau pergi ke sekolah dan mengisolasi diri dari masyarakat dan keluarga di satu ruangan untuk jangka waktu tertentu. melebihi enam bulan. Banyak orang merasakan tekanan dari dunia luar, sehingga bereaksi dengan menarik diri dari pergaulan. Dalam beberapa kasus yang lebih ekstrim, mereka mengisolasi diri di kamar tidur mereka selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun pada suatu waktu. Para psikolog telah mengidentifikasi adanya tekanan psikologis dan kecemasan yang kuat yang dirasakan oleh orang-orang yang melakukan hikikomori.
Hikikomori yang berupa penarikan sosial pada beberapa orang, mirip dengan gangguan autisme, sindrom Asperger, dan gangguan lain yang mempengaruhi integrasi sosial karena tekanan sosiokultural. Menurut buku Michael Zielenziger, “Shutting Out the Sun: How Japan Created Its Own Lost Generation”, sindrom ini lebih erat kaitannya dengan gangguan stres dan penderita memilih bersikap independen karena merasa tidak dapat diakomodasi oleh lingkungan Jepang saat ini. Sindrom ini juga sangat mirip dengan istilah gangguan kepribadian menghindar, agorafobia atau gangguan kecemasan sosial, yang dikenal sebagai “fobia sosial”. Alan Teo telah merangkum beberapa karakter budaya potensial yang mungkin berkontribusi pada pengucilan diri di Jepang. Seperti pola asuh yang terlalu protektif, dan tekanan sistem pendidikan, serta ekonomi.
Penarikan sosial akut di Jepang tampaknya mempengaruhi pria dan wanita dengan jumlah pengidap yang sama besar. Namun, karena ekspektasi sosial yang berbeda untuk anak laki-laki dan perempuan yang dewasa, kasus hikikomori yang paling banyak dilaporkan adalah dari keluarga kelas menengah dan menengah atas, yaitu anak laki-laki. Biasanya anak sulung mereka. Karena menolak meninggalkan rumah. Seringkali hal itu terjadi setelah mengalami satu atau lebih kegagalan sosial atau akademik. Orang dewasa muda mungkin merasa kewalahan oleh masyarakat Jepang modern untuk memenuhi peran sosial yang diharapkan. Mereka tidak dapat merumuskan rasa “diri sejati” dan “kegunaan” seseorang di masyarakat yang diperlukan ketika masuk masa dewasa.
Hikikomori berhubungan dengan transformasi dari masa muda ke tanggung jawab dan harapan kehidupan dewasa. Hal ini menunjukkan masyarakat industri maju seperti Jepang modern gagal menyediakan transformasi yang cukup untuk mempromosikan pemuda ke dalam peran yang matang. Seperti yang dilakukan banyak masyarakat, Jepang memberikan tekanan pada remaja untuk menjadi sukses dan melestarikan status quo sosial yang ada. Penekanan yang kuat secara tradisional pada perilaku sosial yang kompleks, hierarki yang kaku, berpotensi mengintimidasi banyak harapan sosial. Tanggung jawab dan tugas dalam masyarakat Jepang berkontribusi pada tekanan terhadap orang dewasa muda. Ajaran Konfusianisme yang menekankan sikap harmoni sosial dalam masyarakat hierarkis yang kaku juga menyumbang munculnya fenomena hikikomori di negara-negara Asia Timur lainnya.
Secara umum, kecenderungan hikikomori di Jepang didorong dan difasilitasi oleh tiga faktor utama. Pertama, kemakmuran kelas menengah dalam masyarakat pasca-industri yang memungkinkan orang tua mendukung dan memberi makan anak dewasa di rumah tanpa batas waktu. Kedua, teknologi komunikasi modern (seperti Internet, media sosial, dan video game) dianggap sebagai faktor memperburuk yang dapat memperdalam dan memupuk penarikan diri. Adanya hikikomori di Korea Selatan dan Spanyol menunjukkan tanda-tanda kecanduan internet. Video game dan media sosial telah mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan orang di luar dan di lingkungan sosial yang memerlukan interaksi tatap muka langsung. Ketiga, munculnya ponsel dan kemudian smartphone telah memperdalam masalah ini, mengingat orang dapat melanjutkan kecanduan mereka pada game dan berselancar online di mana saja, bahkan di tempat tidur.
Sistem pendidikan Jepang, seperti yang terdapat di China, Singapura, India, dan Korea Selatan, sangat menuntut kaum muda. Banyaknya harapan, penekanan yang tinggi pada persaingan, dan hafalan angka-angka agar lulus ujian masuk ke tingkat pendidikan berikutnya. Nilai-nilai tradisional Konfusianisme dalam masyarakat dan sistem pendidikan dipandang memainkan peran penting dalam produktivitas dan keberhasilan masyarakat secara keseluruhan. Dalam kerangka sosial ini, siswa sering menghadapi tekanan yang signifikan dari orang tua dan masyarakat pada umumnya untuk menyesuaikan diri dengan ajaran-ajarannya. Doktrin-doktrin ini semakin ditolak oleh pemuda Jepang dengan berbagai cara seperti hikikomori. Ada juga istilah “Hodo-hodo zoku” yaitu pekerja muda menolak promosi untuk meminimalkan stres dan memaksimalkan waktu luang.
Pada tahun 1960-an, tekanan pada pemuda Jepang untuk sukses dikenalkan sejak awal kehidupan. Dimulai sebelum pra-sekolah, di mana balita harus bersaing melalui ujian masuk untuk mendapatkan hak istimewa menghadiri salah satu pra-sekolah terbaik. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan anak menghadapi ujian masuk taman kanak-kanak terbaik, yang pada gilirannya mempersiapkan anak untuk ujian masuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah terbaik, dan akhirnya untuk ujian masuk universitas. Banyak remaja mengambil cuti satu tahun setelah sekolah menengah selesai, untuk belajar secara eksklusif demi ujian masuk universitas. Universitas yang lebih bergengsi memiliki ujian yang lebih sulit. Universitas paling bergengsi dengan ujian tersulit adalah Universitas Tokyo.
Sejak tahun 1996, Kementerian Pendidikan Jepang telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi lingkungan pendidikan yang ‘bertekanan’ ini. Menanamkan pemikiran kreatif yang lebih besar pada kaum muda Jepang dengan secara signifikan melonggarkan jadwal sekolah dari enam hari menjadi lima hari seminggu. Dan menghapus dua mata pelajaran dari jadwal harian. Serta membuat kurikulum akademik baru yang lebih sebanding dengan model pendidikan Barat. Namun, orang tua Jepang malah mengirim anak-anak mereka ke sekolah swasta, yang menjejalkan pelajaran tambahan, dikenal sebagai juku, untuk ‘mengganti’ waktu yang hilang.
Setelah lulus dari sekolah menengah atau universitas, pemuda Jepang juga harus menghadapi pasar kerja yang sangat sulit. Seringkali mereka hanya mendapatkan pekerjaan paruh waktu dengan pendapatan kecil, sehingga belum dapat memulai hidup berkeluarga. Sumber tekanan lainnya adalah dari rekan mereka, yang suka melecehkan dan mengancam beberapa siswa karena berbagai alasan, termasuk penampilan fisik, kekayaan, prestasi pendidikan dan atletik. Hal itu membuat siswa menolak untuk berpartisipasi dalam masyarakat, membuat hikikomori menjadi pilihan ekstrim dari kelompok muda Jepang.
Hampir dapat dikatakan, hikikomori sulit untuk disembuhkan. Salah satu terapinya adalah dengan mengajak olahraga agar mau keluar kamar dan berinteraksi dengan orang lain. Karenanya, sebagai orang tua sebaiknya janganlah memberi tetek bengek target prestasi kepada anak, karena hal itu akan membuat stres. Bebaskanlah anak untuk memilih dan melakukan apa yang disukainya sesuai karakternya sendiri. Hal itu yang akan membuat anak berbahagia karena merasa dunia ini aman dan indah.***
- Penulis adalah seorang pengamat seni, dan pernah menjadi executive di beberapa perusahaan telekomunikasi. Ia pernah kuliah di FMIPA – Universitas Indonesia (1981), lulus dari Elektro Telekomunikasi – Institut Teknologi Bandung (1986), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2020). Dan pernah membuat buku “Melacak Lukisan Palsu” (2018) dan “Seni Sebagai Pembebasan” (2022). Pernah berpameran tunggal lukisan di galeri Titik Dua, Ubud (2021), berpameran bersama di galeri Salihara bersama Goenawan Mohamad (2020). Saat ini ia menjadi Editor in Chief di Jurnal Filsafat Dekonstruksi – jurnaldekonstruksi.id