Oleh Syakieb Sungkar
SEMALAM saya diundang berbicara dalam rangka meresmikan galeri seni baru di sebuah mall di Cinere. Tema art talk berkisar pada membangun kembali bisnis seni pasca pandemi. Ada yang menarik dalam diskusi tersebut, seseorang bertanya kepada saya bagaimana tiba-tiba bisa melukis padahal dahulu tidak pernah sekolah seni. Saya bilang, untuk melukis tidak perlu sekolah, cukup punya passion, soal teknik bisa dicari belakangan. Dan orang bilang lukisan saya cukup bagus, sehingga mulai sering diundang untuk berpameran. Pernah saya dibiayai untuk berpameran tunggal, dicarikan empu yang terkenal untuk menyeleksi dan menulis catatan kuratorial, serta dibuatkan katalog yang berkualitas.
Pertanyaan berikutnya muncul, apakah sekolah seni itu perlu? Saya ingin bilang tidak perlu, tetapi takut berakibat sekolah seni seperti ISI nantinya dibubarkan Pemerintah. Hal yang sama juga berlaku, mengapa saya bisa menulis secara cukup mendalam soal seni. Apakah saya harus masuk Fakultas Sastra terlebih dahulu agar bisa menulis, atau Fakultas Ilmu Komunikasi sehingga tulisan layak diterbitkan media? Demikian pula kalau pertanyaan yang serupa diajukan kepada Bob Sadino, apakah perlu sekolah MBA dulu untuk membangun Kem Chicks. Bob akan tertawa terbahak-bahak karena dia yang tidak sekolah ternyata bisa mempekerjakan banyak lulusan MBA untuk menjadi pegawainya. Kejadian yang sama terjadi di Australia, para pengusahanya di sana, 70% hanya lulusan SMA, sekolahnya tidak tinggi-tinggi. Indonesia yang negara agraris selalu terjadi krisis pangan, padahal ada IPB, apa gunanya lulusan IPB yang ribuan itu? Rupanya lulusan IPB lebih banyak yang menjadi da’i ketimbang petani. Makanya beras, kedelai, gandum, sapi, terus-menerus impor. Untuk jadi petani yang baik tidak perlu sekolah pertanian. Sementara lulusan sekolah pertanian malahan tidak menjadi petani.
Barangkali John Taylor Gatto bisa menjawab paradigma ini lebih seksama, ia menulis sebuah buku, “Dumbing Us Down”. Dumbing Us Down itu sendiri berarti, “buatlah lebih sederhana”. Karena semakin pinter seseorang, sekolahnya tambah tinggi, justru akibatnya tidak bisa kerja di lapangan. Mengapa bisa demikian? Karena sekolah itu hanya mengajarkan bagaimana menghafalkan rumus, untuk kemudian diujikan oleh guru atau dosen dengan memasukkan angka-angka atau parameter yang ditentukan. Misalnya, rumus gaya itu F = m X a. Sementara a adalah kecepatan dibagi waktu atau V/T. Kemudian guru memberi besaran berat (m), kecepatan dan waktu. Berapa besar gaya dorong yang dihasilkan? Mudah sekali bukan? Semakin tinggi ia bersekolah, guru atau para dosen akan memberikan rumus-rumus yang lebih kompleks untuk dipecahkan. Setelah lulus, anak itu jadi pandai berhitung kalau ada rumusnya.

Namun masalahnya, di lapangan itu tidak ada rumus yang tersedia. Setiap problem harus dicari formulanya tersendiri yang kita harus temukan. F = m X a tidak pernah dipakai selamanya di dunia nyata atau dunia kerja. Jadi untuk apa sekolah? John Gatto, yang berpengalaman mengajar di sekolah umum New York City selama lebih dari 30 tahun, mengatakan sistem sekolah adalah bencana total yang perlu disingkirkan. Ia lebih suka anak-anak belajar di rumah saja. Gatto percaya salah satu masalah utama dengan sekolah adalah negara memisahkan anak-anak dari komunitas dan keluarga. Ia ingin memasukkan keluarga sebagai mesin utama pendidikan, anak jangan dipisahkan dari orang tua. Karena bersekolah dari pagi sampai sore tidak memberi kesempatan untuk orang tua mentransfer nilai-nilai kebijaksanaan yang sudah mereka miliki dan teruji dalam kehidupan. Teringat akan teman saya, begitu sekolah selesai ia buru-buru pulang ke rumahnya di jalan Sabang, membantu orang tuanya berdagang kelontong. Sementara murid sekelas sibuk melamar pekerjaan, teman saya itu sudah menjadi pengusaha sukses yang mandiri. Pendidikan membuat murid terasing dari masyarakat, karena apa yang diajarkan di sekolah tidak cocok dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Diterbitkan pada tahun 1992, “Dumbing Us Down: The Hidden Curriculum of Compulsory Schooling” adalah kumpulan esai dan pidato oleh Gatto tentang pendidikan publik. Meskipun hanya lima bab dan 95 halaman, Gatto dengan tegas mengatakan sekolah mengambil waktu berharga yang dibutuhkan untuk menyampaikan gagasan yang sehat tentang kehidupan dan pengalaman keluarga untuk berkembang. Tetapi kalau anaknya menjadi brengsek di sekolah — karena waktu di rumah untuk mendididik anak diambil alih oleh sekolah — mereka kemudian menyalahkan orang tua atas kegagalannya menjadi sebuah keluarga (hlm. 67). Apa yang benar-benar dibutuhkan anak-anak adalah kesempatan bersama keluarga mereka: dengan menghabiskan waktu yang dibutuhkan orang tua bersama anak-anaknya. Gatto mengatakan sekolah tetap dibutuhkan tetapi waktunya sebentar saja, tidak lebih (hlm. 52). Gatto pada gilirannya memuji homeschooling, percaya bahwa anak-anak yang disekolahkan di rumah menjadi “lima atau bahkan sepuluh tahun di depan rekan-rekan mereka yang disekolahkan secara formal” (hlm. 22). Gatto menganjurkan sistem sekolah pasar bebas: di mana siswa dapat memilih jenis pendidikan yang cocok untuk mereka, yang berarti suatu pendidikan mandiri (hlm. 18).
Hal lain adalah sekolah membuat manusia distandarkan dan tingkat kecerdasannya ditentukan oleh IQ serta kepandaiannya hanya menyelesaikan soal dan tugas-tugas yang diberikan guru atau dosen. Anak dibuat berlomba-lamba lebih pintar dari temannya sekelas, bersaing demi mencapai angka tertinggi, karena dasar penghormatan kepada murid digeser menjadi sekedar nilai ujian. Yang hebat itu yang pintar. Padahal manusia itu unik – masih banyak ukuran-ukuran lain dari kehidupan yang bisa membuat orang sukses, seperti EQ (Emotional Quotient), kemampuan membujuk, bersosialisasi, menarik teman dalam kelompok, kepemimpinan, berdiskusi, serta keterampilan yang berhubungan dengan minat dan bakat masing-masing siswa. Di sekolah, orang tidak boleh menyontek, hal itu membuat egois, padahal menyontek seharusnya boleh-boleh saja, nantinya akan mendukung bagaimana ujian justru bisa menciptakan suatu studi kelompok yang guyub.
Dan itulah yang terjadi, 20% dari mahasiswa yang pandai di kelas dan selalu mendapat nilai A akan berujung menjadi dosen dan profesor yang suka minta proyek ke 40% teman-temannya yang menjadi eksekutif perusahaan atau di level Manajerial, di mana nilai rata-ratanya hanya B. Para eksekutif dan manager itu kemudian memberikan order kepada 30% temannya yang menjadi wiraswastawan di mana pendapatannya lebih banyak dari para eksekutif, padahal nilainya rata-rata cukup C saja di kelas. Yang terkaya, sukses, punya usaha sendiri, yaitu 10% sisanya, biasanya tidak berhasil lulus dan gagal mendapat ijazah, drop out dari kampus. Karena ketika mahasiswa mereka sudah sibuk mencari proyek, menjaring koneksi, dan mengumpulkan modal kerja untuk usaha besar selanjutnya di masa depan, agar menjadi konglomerat.
Karenanya, sebagai pemilik perusahaan janganlah bingung kalau mendapat pegawai yang lulus dengan nilai baik pada ijazahnya, tetapi tidak bisa kerja. Itulah paradoks sekolah. Akibat sebagian besar orang menempuh kuliah atau bersekolah tinggi hanyalah demi mendapatkan gelar dan ijazah semata. Bukan untuk dapat mempraktekkan ilmunya di lapangan. Ia menjadi gamang ketika di kantor tidak ada dosen yang membimbingnya dan memberikan soal-soal dengan rumus-rumus yang sudah tersedia.***