Oleh Syakieb Sungkar
SEJAK kuliah di FISIP Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado tahun 1990-1995, Lukas Enembe aktif terlibat di dunia politik. Dimulai ketika ia menjadi Ketua dari sebuah organisasi Mahasiswa Jawijapan Sulawesi Utara. Ia juga aktif sebagai Pengurus Semah FISIP Unsrat dan Koordinator PPM FISIP Unsrat tahun 1992 – 1994. Kemudian ia bergabung sebagai anggota Partai Demokrat. Keaktifannya di partai itu membuatnya diangkat menjadi DPD Partai Demokrat Provinsi Papua. Ketika Eliezer Renmaur menjadi Bupati Puncak Jaya, ia terpilih menjadi wakilnya. Sampai masa jabatan Eliezer rampung, ia menggantikannya menjadi Bupati Puncak Jaya periode 2007-2012. Bakatnya dalam menarik massa menyebabkan ia mendapat suara terbanyak untuk menjadi Gubernur Papua pada periode 2013-2018. Dan ia terpilih lagi kedua kalinya untuk periode 2018-2023. Namun di situlah masalahnya, ia mulai korupsi besar-besaran. Lukas ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK pada tanggal 5 September 2022.


Hal itu dapat terjadi karena ia merasa kuat dan ditakuti. Semasa kariernya sebagai Gubernur Papua, ia kerap melayangkan kritik terhadap pemerintahan Pusat karena menurutnya pembangunan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Ia tidak datang memenuhi panggilan KPK dengan alasan sakit. Padahal KPK bertindak berdasarkan laporan PPATK mengenai transaksi keuangan ganjil yang dilakukan Lukas. Ia rupanya gemar berjudi di Singapura. PPATK mengetahui Lukas telah melakukan setoran tunai ke kasino senilai Sing$ 55 juta atau Rp 560 miliar. Luar biasa. Dari mana ia bisa mempunyai uang sebesar itu? Dan urusan bayar-membayar tunai ini ia serahkan kepada seorang makelar atau perantara yang sekarang sedang dikejar keberadaannya di Singapura. Itu baru 1 transaksi, masih ada lagi 11 transaksi lain yang terlacak PPATK sejak tahun 2017, termasuk pembelian jam tangan mewah sebesar setengah milyar rupiah. Ditambah kasus lainnya yang sedang didalami KPK terkait korupsi Lukas, yaitu penyalahgunaan dana operasional pimpinan hingga dana pengelolaan Pekan Olahraga Nasional (PON).
Dalam keadaan normal, orang seperti Lukas sudah dijemput paksa oleh KPK. Namun ini masalahnya ada di Papua, yang dengan mudah menjadi sensitif. Dan terlihat ada gejala Lukas sedang menggerakkan orang seolah-olah ia sedang dizolimi oleh Pemerintah Pusat dan orang Papua sedang dipersekusi. Terlihat bahwa ada ancaman demo besar-besaran di Papua pada tanggal 20 September lalu. Jadi, penanganan kasus harus ekstra hati-hati jangan sampai terjadi pertumpahan darah dan menimbulkan isu pelanggaran HAM. Menarik Lukas untuk diperiksa ke Jakarta, ibarat kata pepatah “Mencabut rambut dari tepung”. Rambutnya dapat ditarik dengan mulus tetapi tepungnya tidak ikut berantakan. Perlu keahlian ekstra untuk itu. Agar masalah kriminalitas korupsi tidak terkonversi menjadi isu politik.
Namun dari semua hiruk pikuk ini, ada pernyataan yang menarik dari Wakil Ketua I Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua (DPRP), Yunus Wonda, bahwa selama ini hasil pemeriksaan BPK terhadap keuangan Papua baik-baik saja. Papua selalu mendapat predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) selama tujuh kali berturut-turut. Penjelasan itu disampaikan secara runtut dan meyakinkan di depan banyak wartawan. Kalau begitu, mengapa laporan BPK tidak klop dengan penyidikan KPK? Sebagaimana diketahui, dana otonomi khusus (Otsus) menjadi sumber pembiayaan utama dalam APBD Provinsi Papua. Jumlah dana Otsus dan DTI yang telah disalurkan ke Provinsi Papua sebesar Rp84,9 triliun, hal itu berlangsung sejak tahun 2002-2019. Sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Papua terhadap total pendapatan relatif kecil yaitu hanya berkisar 8,25%. Memang Pemprov Papua masih sangat menggantungkan diri pada penerimaan dana Otsus untuk menyelenggarakan pemerintahan. Karenanya, dana besar yang diperoleh dari Pusat ini harus dipergunakan sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat Papua, jangan sampai bocor karena korupsi, apalagi sampai beredar ke meja judi.***
- Penulis, mantan aktifis ormas Islam di Bandung, pengamat seni dan pernah menjadi juri dalam Bandung Contemporary Art Award (BaCAA), mantan executive di beberapa perusahaan telekomunikasi, pernah bersekolah di FMIPA – Universitas Indonesia (1981), Elektro Telekomunikasi – Institut Teknologi Bandung (1986), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2020), menulis buku “Melacak Lukisan Palsu” (2018), dan buku “Seni Sebagai Pembebasan” (2022), pernah berpameran tunggal lukisan di Galeri Titik Dua, Ubud (2021), saat ini menjadi Editor in Chief di Jurnal Filsafat Dekonstruksi (jurnaldekonstruksi.id).