Search
Close this search box.

SKETSA | Mahsa Amini

Bagikan :

Oleh Syakieb Sungkar

DEMONSTRASI merebak di Iran sejak seminggu terakhir. Ini merupakan demo anti-pemerintah Iran terbesar sejak 2009. Massa yang berkumpul semakin membesar dan menyebar ke 80 kota. Para pengunjuk rasa dilaporkan telah merebut kota kecil Oshnavieh yang sebagian besar penduduknya Kurdi. Banyak yang takut demo ini akan berakhir dengan tindakan kekerasan: “Justru kami mengharapkan ada darah tertumpah,” kata seorang Kurdi Iran yang berbasis di Jerman yang mengedit sebuah situs berita. “Ini situasi yang sangat menegangkan.” Sebagai tanggapan, pihak berwenang telah meningkatkan tindakan keras mereka, termasuk mulai menembaki orang banyak. Pada hari Jumat, media pemerintah mengatakan sedikitnya 35 orang telah tewas, tetapi kelompok hak asasi mengatakan jumlahnya kemungkinan jauh lebih tinggi, yaitu 50 orang meninggal. Aktivis dan jurnalis juga telah ditangkapi untuk meredam kerusuhan ini. Protes ini dipicu oleh tewasnya Mahsa Amini, perempuan berusia 22 tahun yang ditangkap Polisi Moral atas tuduhan melanggar aturan hijab. Akibatnya Perempuan kemudian memimpin demonstrasi turun ke jalan, beberapa merobek jilbab mereka, melambaikan dan membakarnya di saat laki-laki menontoni aksi protes mereka.

Gambar 1 – Mahsa Amini (sumber: protibad).

Pada 13 September 2022, Mahsa ditangkap oleh patroli Polisi Moral ketika ia bepergian ke Teheran bersama keluarganya. Polisi mengklaim bahwa ia melanggar implementasi peraturan jilbab karena tidak mengenakan jilbabnya sesuai dengan standar pemerintah. Setelah ditangkap oleh polisi, ia dibawa ke tahanan. Saudara laki-lakinya mendengar petugas polisi memukuli Mahsa. Kemudian, Mahsa dibawa ke Rumah Sakit Kasra dan dirawat dalam keadaan koma. Para dokter di rumah sakit mengatakan bahwa Mahsa mengalami mati otak setelah kepalanya menderita cedera termasuk pendarahan dari telinga dan memar di bawah mata. Pada 16 September 2022, ia meninggal di Saqqez, Teheran, setelah koma selama tiga hari.

Baca Juga :  Soal Kecelakaan di Tol Ciawi, Mori Hanafi Tekankan Pentingnya Uji KIR Kendaraan
Gambar 2 – Masha Amini mengalami koma (sumber: protibad).

Sejak 16 September 2022, protes dimulai pada berbagai kota di Iran setelah kematiannya. Orang-orang meneriakkan slogan-slogan seperti “wanita, hidup, kebebasan”, dan “mati bagi diktator.” Protes juga terjadi di luar Rumah Sakit Kasra di Teheran, di mana Mahsa dirawat. Selama terjadi protes terhadap aturan berpakaian ketat Republik Islam Iran, banyak orang dibunuh oleh polisi. Di beberapa kota, para wanita di kerumunan terlihat membakar jilbab mereka. Orang-orang di media sosial juga memprotes kematiannya. Beberapa wanita Iran memotong rambut mereka untuk mendukung protes dan memposting video di media sosial. Karena meningkatnya protes, pemerintah Iran menghentikan akses ke banyak aplikasi termasuk Instagram dan WhatsApp.

Para pengunjuk rasa menuntut keadilan bagi Mahsa dan meminta perubahan undang-undang jilbab yang ketat. Petugas polisi membagikan video di media sosial di mana Mahsa terlihat jatuh pingsan di tanah. Polisi mengklaim bahwa Mahsa tidak dilukai atau dianiaya, tetapi menderita serangan jantung. Resusitasi dilakukan pada Mahsa, detak jantungnya sempat kembali ketika ia dirawat di unit perawatan intensif. Sayangnya, setelah 48 jam, pada hari Jumat, ia mengalami serangan jantung lagi, karena kematian otak. Tim medis gagal untuk menghidupkannya kembali dan Mahsa meninggal.

Gambar 3 – Suasana demo di Teheran (sumber: Getty Image).

Kebencian rakyat nampaknya sudah terbangun mendalam selama berbulan-bulan sebagai tanggapan atas tindakan keras yang diperintahkan oleh Ebrahim Raisi, Presiden garis keras, yang menargetkan pendisiplinan perempuan. Ditambah dengan keluhan bertahun-tahun terhadap pemerintah atas korupsi, salah urus ekonomi dan Covid, serta represi politik yang semakin meluas. Mahsa Amini ketika itu keluar dari trem bawah tanah di Teheran, ibukota Iran. Ia mengenakan kerudung hitam dan baju yang dianggap tidak pantas oleh Polisi Moral di Iran. Polisi Moral adalah organ yang dibikin pemerintah revolusioner di Iran yang berkuasa sejak 1979. Tugasnya adalah mengawasi tingkah laku dan cara berpakaian masyarakat. Mahsa Amini, karena pakaiannya, kemudian ditahan. Dia menjalani program “re-edukasi” atau pendidikan ulang. Di sanalah ia rupanya mengalami siksaan dan akhirnya meninggal setelah tiga hari menjalani program re-edukasi itu. Kematiannya menyulut protes besar-besar di hampir seluruh kota besar di Iran. Mereka yang turun ke jalan kebanyakan adalah anak-anak muda. Protes ini mirip beberapa tahun lalu. Ketika anak-anak muda ini memprotes kecurangan Pemilu.

Baca Juga :  7 Oleh-oleh Khas Yogyakarta yang Wajib Dibawa Pulang

Pemaksaan terhadap jilbab di Iran terlihat kontras dengan apa yang terjadi di Saudi Arabia. Pemerintah Saudi membebaskan wanitanya untuk boleh memakai busana yang mereka sukai asalkan sopan. Bahkan saat ini Arab Saudi akan melangsungkan kontes menyanyi dengan nama Saudi Idol. Putaran final lomba mencari bakat penyanyi di negara Kabah itu akan digelar pada Desember 2022 mendatang. Pendaftaran sudah dibuka serta proses penyaringan bakal berlangsung mulai bulan depan. Kontes Saudi Idol ini akan dilangsung di Ibu Kota Riyadh. Saudi Idol itu merupakan bagian dari liberalisasi sosial budaya, salah satu kebijakan dalam Visi 2030 yang diluncurkan oleh Putera Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman enam tahun lalu. Bin Salman juga sudah membebaskan bioskop beroperasi, konser musik digelar, dan beragam festival hiburan yang tadinya dianggap tabu dan bahkan haram. Kapankah Iran akan mulai mengikuti Saudi? Biasanya arus kebebasan itu seperti air bah, sulit dibendung.***

  • Penulis, mantan aktifis ormas Islam di Bandung, pengamat seni dan pernah menjadi juri dalam Bandung Contemporary Art Award (BaCAA), mantan executive di beberapa perusahaan telekomunikasi, pernah bersekolah di FMIPA – Universitas Indonesia (1981), Elektro Telekomunikasi – Institut Teknologi Bandung (1986), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2020), menulis buku “Melacak Lukisan Palsu” (2018), dan buku “Seni Sebagai Pembebasan” (2022), pernah berpameran tunggal lukisan di Galeri Titik Dua, Ubud (2021), saat ini menjadi Editor in Chief di Jurnal Filsafat Dekonstruksi (jurnaldekonstruksi.id). 

Baca Berita Menarik Lainnya :