Search
Close this search box.

SKETSA | Oligarki

Bagikan :

Oleh Syakieb Sungkar

OLIGARKI adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya diatur oleh sekelompok kecil elit. Elit itu jumlahnya sedikit, berkuasa karena mempunyai kekayaan yang besar, anggota keluarga dari penguasa, dinasti atau militer. Sesuai dengan asal katanya, oligon – yang berarti sedikit, dan arkho yang artinya memerintah. Mengapa di negara demokrasi yang katanya kekuasaan berada di tangan rakyat dan presidennya terpilih karena pemilihan umum, kok bisa-bisanya ketika berkuasa pada akhirnya hanya sedikit orang yang menentukan jalannya roda pemerintahan? Jawabnya adalah, karena sistem demokrasi telah menyebabkan rakyat memilih berdasarkan suara terbanyak.

Plato tidak suka dengan demokrasi, menurutnya demokrasi telah menyebabkan orang-orang yang pandai bicara (tapi tidak bisa bekerja), para orator, para demagog, yang piawai dalam bersilat kata, dapat memanipulasi pendapat rakyat sehingga memilih dirinya menjadi pemimpin. Sementara, rakyat yang pemikirannya kurang kritis dan cenderung nrimo, memilih pemimpin berdasarkan penampilan fisik dan cara bicaranya saja. Dalam “The Republic” buku IV, Plato menceritakan tentang Socrates yang sempat bercakap-cakap dengan seseorang bernama Adeimantus. Socrates mencoba menunjukan berbagai kekurangan demokrasi kepada Adeimantus, dengan cara membandingkan sebuah masyarakat dengan sebuah kapal. “Kalau anda sedang berpergian naik kapal, siapa yang menurut anda paling ideal untuk memimpin kapal? Siapa saja boleh, atau orang-orang yang berpendidikan dalam menghadapi aturan dan kerumitan perjalanan laut?”. “Tentu saja yang kedua”, jawab Adeimantus.

Kemudian Socrates merespon, “Lalu mengapa kita terus berpikir bahwa semua orang, siapa saja, boleh menilai siapa yang akan menjadi pemimpin sebuah negara?” Maksud Socrates adalah bahwa dalam memilih seorang pemimpin pada sebuah pemilihan umum harus didasarkan pada pengetahuan yang seksama atas calon pemimpin tersebut. Karena dalam demokrasi kita tidak pernah atau jarang berpikir secara mendalam dan matang tentang siapa yang akan kita pilih. Belum lagi dalam demokrasi – menurut Plato – seseorang diberikan kebebasan yang sangat besar tanpa adanya aturan yang mengarahkan kebebasan itu, ia mengatakan bahwa dengan demokrasi pada akhirnya akan timbul negara tirani. Negara ideal menurut Plato adalah negara aristokrasi dimana negara dipegang oleh sejumlah orang yang bijaksana. Sebagaimana di Iran sekarang, di atas Presiden ada sekumpulan orang yang disebut Waliyatul Faqih, sekumpulan orang-orang pintar yang mengatur arah dan kebijaksanaan negara. Sementara Presiden hanya merupakan eksekutor atas kebijakan yang sudah ditetapkan Waliyatul Faqih itu.

Baca Juga :  Claudia Sheinbaum Sindir Trump, Usulkan AS Disebut "Amerika Meksiko"
Gambar – Lukisan Jacques Louis David, “The Death of Socrates”.

Tetapi, bukankah Waliyatul Faqih itu salah satu bentuk oligarki juga, karena isinya adalah sekelompok kecil orang, walaupun pintar, tetapi siapakah yang memilih mereka? Lagipula, apa ukuran kepintaran itu? Ia harus seorang profesor? Seorang spesialis di bidangnya? Mantan eksekutif? Ahli Nujum? Itu pun kurang jelas definisinya, karena orang bergelar akademik belum tentu pandai mengatur masyarakat. Dan siapa pula yang menjamin Waliyatul Faqih tidak akan korup? Ada yang bilang bahwa Waliyatul Faqih itu berbeda dengan Oligarki. Kalau oligarki itu sudah jelas isinya konco-konco, yang berkumpul karena kepentingan ekonomi, tujuan bisnis. Oligarki ada karena ia mensuport calon Presiden dengan bantuan tenaga dan uang. Kalau calonnya menang, maka si pemimpin terpilih harus mengembalikan investasi dari suporternya itu.

Dapat dibayangkan, kalau ingin menjadi anggota DPR setidaknya harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 100 Milyar, menjadi seorang Gubernur di daerah yang jauh dari Jakarta, bisa keluar uang setidaknya Rp 200 Milyar. Untuk jadi Presiden, bisa jadi keluar uang Rp 10 Trilyun. Untuk apa biaya yang begitu besar? Ini demokrasi saudara-saudara, selain seorang calon pemimpin harus handsome, pandai bicara, dan berpakaian rapi, wajahnya harus terpampang di banyak tempat, pinggir dan pojokan jalan, baliho raksasa di jalan protokol. Belum lagi untuk menjaring massa, tim dari si calon harus membagi-bagi sembako, minyak goreng, dan uang Rp 100 ribu, disertai foto diri dan nama sang calon. Agar rakyat tidak ‘lupa’ siapa yang telah membagi sembako dan uang recehan itu. Dan agar tidak lupa, pembagian sembako itu harus diulang secara periodik, mungkin daya ingat rakyat harus direfresh sebanyak 4 sampai 5 kali pembagian agar mantap sebelum memilih si calon pemimpin. Terlihat bahwa suara terbanyak belum tentu benar. Pemimpin terpilih dengan suara terbanyak belum tentu pemimpin yang terbaik untuk kesejahteraan rakyat.

Baca Juga :  Hasto Kristiyanto: 'Terima Kasih' Setelah Diperiksa KPK Terkait Kasus Harun Masiku

Itulah yang dimaksud Plato bahwa rakyat tidak kritis dan tidak mempelajari si calon dengan seksama. Yang teringat hanyalah bahwa si calon itu ganteng, pandai bicara, serta memberi beras, minyak goreng dan uang. Tidak ada lagi pengecekan soal track record, visi dan misi, logika pidato, dan sebagainya. Yang penting itu wajah si calon pemimpin yang tertempel pada poster-poster di banyak jalan dan gang. Karenanya seringkali artis dicalonkan mengingat popularitasnya mudah untuk mempengaruhi massa. Rakyat baru menyesal kalau ternyata setelah ia menjadi pemimpin, hutan lindung dibabat, diambil kayunya sehingga kampungnya banjir. Rakyat baru sadar kalau pemimpin yang dipilihnya kemudian menggali tambang dan mencucinya dengan merkuri sehingga air sungainya tercemar. Itulah harga yang harus dibayar setelah rakyat menerima 4-5 kali putaran sembako murahan.

Untuk pemimpin di Pusat, pemimpin negara, Presiden, prinsipnya sama saja. Para donatur, suporter kampanye, dukungan politik dari Partai, dukungan massa dari Ormas, semuanya akan mendapat bayaran. Bayaran itu dalam bentuk posisi sebagai Menteri, penasehat Presiden, dan previlage-previlage lain seperti kemudahan membuka area tambang, konsesi hutan dan perkebunan, aturan-aturan investasi, pelonggaran aturan kelestarian lingkungan, kemudahan ijin-ijin, proyek-poyek dari APBN, pemilihan direksi di BUMN, dan banyak lagi bentuk-bentuk lain yang sebenarnya merupakan balas jasa atas kesediannya mensuport terpilihnya si Pemimpin. Dan orang-orang ‘berjasa’ itu memang sedikit jumlahnya. Karena yang punya uang besar memang hanya sedikit, bukan? 1% orang kaya menguasai 99% kekayaan orang banyak. Itu terjadi di mana-mana, di seluruh dunia. Pertanyaannya, apakah kita akan meninggalkan sistem demokrasi, karena demokrasi memunculkan oligarki? Saya rasa, sampai sekarang sistem demokrasi, walau banyak terjadi manipulasi dan penyimpangan praktek di sana-sini, masih merupakan sistem yang terbaik dalam memilih pemimpin.***

Baca Berita Menarik Lainnya :