Oleh Syakieb Sungkar
IA laki-laki yang rapuh, karena terlalu banyak mendapat tekanan dari ayahnya. Ayahnya, Philip, seorang Pangeran Yunani, hidup susah dan keras, dan ia menginginkan Charles menjadi laki-laki macho seperti dirinya. Karenanya ketika berumur 13 tahun Charles disekolahkan di SMP Gordonstoun, Scotlandia. Sekolah itu mengajarkan orang hidup di rimba dan mendidik laki-laki harus mandiri, dan survive. Pagi-pagi ia diwajibkan lari dan mandi dengan air dingin di hutan yang menggigil itu. Sebagai anak Ratu ia jusru diolok-olok di sekolah itu. Karena dianggap anak manja dan selalu kalah dalam latihan olahraga fisik dengan teman-temannya. Charles orang yang sensitif, suka pada seni dan ilmu pengetahuan arkeologi serta lingkungan, sesuatu yang tidak diajarkan di Gordonstoun. Ibunya lebih suka Charles masuk Eaton di London, sekolah elite tempat anak-anak Pangeran kaya bermain-main dengan seragam yang bagus. Jauh dari tangan kotor dan kaki becek. Namun dalam urusan pendidikan ayahnya lebih berkuasa, sehingga keinginan Elizabeth untuk memanjakan sekolah Charles ditolak.
Hubungan Charles dengan Philip memang renggang. Philip lebih suka dengan Anne – anak keduanya — yang tegas, cerdas, dan sinis, seperti dirinya. Sementara Elizabeth lebih suka kepada Andrew – anak ketiganya — yang ganteng, ceria, pandai membawa diri, dan berprestasi di militer seperti suaminya. Kehilangan kasih dari ayah dan ibunya membuat Charles melarikan diri kepada Admiral Lord Mountbatten, seorang kerabat dekat, paman dari ayahnya dan sepupu ibunya. Mountbatten adalah Raja Muda untuk wilayah India, jajahan Inggris ketika itu. Ia mengerti bagaimana menangani Charles, membangkitkan kepercayaan dirinya, serta mengobati keresahan dirinya. Mountbatten bagi Charles sudah seperti ayah sendiri yang selalu siap memberi nasehat, menepuk-nepuk bahunya dan memeluknya.
Sayang Mountbatten terlalu cepat meninggalkannya. Ia mati terbunuh ketika sedang memancing bersama cucunya. Perahunya hancur karena ditanami bom oleh teroris IRA pada tahun 1979. Duka hati kehilangan Mountbatten membuat Charles kembali berlabuh ke pacar lamanya, Camilla. Charles pertama kali bertemu Camilla pada sebuah pertandingan polo di tahun 1970. Sebagai cewek berpengalaman, dan berusia lebih tua, ia merenggut keperjakaan Charles ketika menginjak 21 tahun. Namun Camilla tidak ingin hidup di Istana yang ketat dan penuh aturan. Walau Camilla sebenarnya seorang perempuan ningrat juga, ayahnya adalah seorang Lord dari Sussex, sebuah kota pantai di Selatan London. Ia lebih memilih untuk menikah dengan Parker Bowles, seorang tentara kaveleri di tahun 1973.

Walau Camilla sudah menikah, mereka tetap berpacaran. Hal itu menjadi suatu problem ketika Charles dijodohkan dengan Diana Spencer, seorang guru TK yang masih kerabat Istana. Diana dilahirkan tahun 1961, usianya berbeda jauh dengan Charles yang lahir tahun 1948. Charles lebih suka hidup di pedesaan, jauh dari keramaian, sementara Diana adalah anak kota yang lebih suka hidup di London dengan disko dan party. Diana seorang gadis ceria berumur 19 tahun dan suka bersosialisasi. Sementara Charles seorang penyendiri, murung, penuh tekanan karena menjadi anak tertua, dan “sok jantan” sebagai kompensasinya (padahal ia dulu bocah culun dan cemen di Gordonstoun). Hanya Camilla yang pandai mengelola kelelakian Charles, dengan cumbu rayu, pujian, dan menuruti kata hati si Pangeran gaek itu. Kemampuan Camilla meluluhkan hati lelaki didapatkan dari neneknya, Alice, yang menjadi gundik Raja Edward VII, buyut dari Charles. Bukankah sejarah selalu berulang?
Singkat cerita, walau dari Diana ia mendapat dua anak lelaki, tetapi sebenarnya Charles tidak cinta-cinta amat kepada istrinya, yang sebenarnya jauh lebih cantik ketimbang Camilla, gundiknya. Pernikahannya di tahun 1981 akhirnya harus berakhir pada tahun 1996 atas saran Elizabeth, ibunya. Ibunya sudah menyadari sejak awal bahwa pernikahan ini tidak akan langgeng karena ketidakcocokan yang sangat lebar. Namun Philip, ayahnya, menganggap oke-oke saja kalau kelak hubungan Charles dan Camilla tidak dapat dipisahkan dan mereka terus berpacaran. Camilla kemudian bercerai dengan Parker Bowles di tahun 1995, karena suaminya sudah tidak tahan dengan kebinalan istrinya. Hal itu justru membuka peluang lebar untuk Camilla lebih bebas berkencan dengan Charles.

Melihat kegagalan Charles membina rumah tangga, membuat Ratu enggan menyerahkan tahtanya ke putra sulungnya itu. Hal ini telah membuat Charles frustasi. Sebagai duda pengangguran, ia jengah dengan kehidupannya yang tanpa status. Mungkin itulah sebabnya Charles suka mengganggu para anggota parlemen dan Menteri-menteri kabinet dengan pendapat-pendapat politiknya yang kontroversial. Sikap seperti itu telah diperingatkan Pemerintah Inggris, karena sebagai anggota Kerajaan ia tidak boleh bicara lancung mencampuri urusan Perdana Menteri.
Konstitusi Inggris sudah membatasi dengan tegas bahwa Kerajaan hanya mengurusi hal-hal seremonial yang berhubungan dengan lambang negara saja. Ratu atau Raja hanya mendapat laporan dari Perdana Menteri seminggu sekali di Istana Buckingham. Tak kurang dan tak lebih. Walau sebenarnya Elizabeth secara halus telah memberi saran-saran dan opininya yang berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan negara. Charles nampaknya masih hijau dalam urusan beginian. Dengan Charles sekarang menjadi Raja Inggris, mari kita lihat apakah ia dapat mengelola hubungan Kerajaan dengan Kabinet bisa berjalan mulus. Atau sebaliknya, Charles yang sok tahu itu akan membuat keributan dengan para Menteri yang sedang menjabat.***