Oleh Syakieb Sungkar
BEGITU cinta rakyat Inggris kepada Ratunya, mirip dengan orang Jawa Tengah yang begitu sayang kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang pernah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Kalau kita ke Istana Buckingham, terlihat orang bergerombol di depan pagar untuk menatap Istana dari kejauhan, dan berharap sang Ratu keluar untuk berjalan-jalan di halaman. Namun itu tidak terjadi. Ratu lebih suka bermain-main di dalam dengan anjing-anjingnya jenis Corgi yang berkaki pendek itu. Ratu yang berumur 95 tahun akhirnya meninggal karena Covid. Menyusul suaminya, Pangeran Philip asal Yunani yang mati tahun lalu pada usianya yang hampir 100 tahun. Sungguh suatu pasangan yang panjang umur dan menikmati hidup.
Ayah Elizabeth adalah Raja George VI yang bersama-sama Perdana Menteri Winston Churchill memerangi Hitler sehingga Inggris memenangkan Perang Dunia II. George VI menjadi Raja karena kakaknya, Edward VIII mengundurkan diri dan lebih memilih mengawini seorang janda sosialita dari Amerika yang bernama Wallis Simpson. George VI menjadi Raja adalah suatu kecelakaan, ia tidak siap, ditambah cara bicaranya yang gagap, membuatnya tidak pede jika berhadapan dengan rakyat. George meninggal dunia tahun 1952 karena kanker paru akibat terlalu banyak merokok. Ia hanya punya dua anak perempuan, Elizabeth dan adiknya Margareth. Karena Elizabeth yang tertua maka ialah yang dinobatkan menjadi Ratu ketika berusia 25 tahun.
Sebagai Ratu Inggris terlama berkuasa dan terlama hidupnya, Elizabeth telah mengalami pemerintahan dengan banyak Perdana Menteri. Ada 15 Perdana Menteri mulai Winston Churchill sampai Boris Johnson yang dialaminya, sejak Ratu Elizabeth menjadi Ratu yang berkuasa di tahun 1952. Hubungan keakraban dengan masing-masing Perdana Menteri tentunya berbeda, kompleks, dan penuh pasang surut. Elizabeth naik ke tahta Inggris tujuh tahun setelah Perang Dunia II berakhir dan era baru dimulai, tidak hanya di Inggris tetapi di seluruh dunia. Ratu Elizabeth menyaksikan proses dekolonisasi negara-negara Afrika pada 1960-an dan 1970-an, serta penyatuan dan perpisahan Inggris dengan Uni Eropa. Dalam memegang tampuk kekuasaan, Ratu Elizabeth harus mengandalkan bantuan Perdana Menterinya untuk mengatur ketertiban dan menjaga Inggris tetap di jalur yang benar.
Beberapa nama Perdana Menteri yang bekerja dengannya selama bertahun-tahun adalah tokoh ikonik seperti Winston Churchill, Margaret Thatcher, dan Tony Blair. Churchill adalah Perdana Menteri ketika Elizabeth baru menjabat menjadi Ratu. Churchill mendapat tempat khusus dalam kehidupan Ratu Elizabeth, ia adalah seorang politisi kawakan yang dikagumi dunia karena kepemimpinannya selama Perang Dunia II. Jadi ketika menjadi Ratu di usia yang begitu muda, ia melihat Churchill sebagai seorang mentor. Mereka berbagi kepentingan di luar politik dan hal-hal yang menyangkut negara tercinta. Churchill dan Elizabeth sama-sama menyukai olahraga polo dan sejarah militer, yang berarti mereka selalu memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Ketika Churchill mengundurkan diri pada tahun 1955, Elizabeth menulis surat yang menyentuh di mana ia menyatakan betapa merindukannya. Seraya menambahkan bahwa tidak seorang pun akan mampu menggantikan posisi Perdana Menteri pertamanya itu.
Dari semula masih hijau dalam ilmu politik, Elizabeth lama-lama pandai membaca politik negara dan dunia. Karena ia terus berkuasa sementara Perdana Menterinya selalu jatuh dan berganti. Bertemu dengan politisi bukanlah hal baru bagi Elizabeth. Dalam 70 tahun pemerintahannya, dia bertemu 13 presiden Amerika dan para kepala negara dunia. Sementara, bekerja dengan Perdana Menteri untuk memimpin negara bisa menjadi sedikit rumit karena keluarga kerajaan tidak diizinkan untuk mendukung politisi atau berbagi pandangan mereka tentang politik secara umum. Ratu harus menjaga semuanya tetap profesional dan berhati-hati untuk tidak memfavoritkan satu-dua politisi.
Tidak semua Perdana Menteri diperlakukan demikian baik oleh Ratu. Hubungan Ratu dengan Perdana Menteri Tony Blair dimulai dengan awal yang sulit. Ratu tersinggung ketika istri Blair menolak untuk memberi hormat selama pertemuan pertama mereka. Kemudian menjadi lebih tegang ketika Blair mengubah hari pertemuan mingguan Perdana Menteri dengan Ratu dari Selasa menjadi Rabu — yang tentu saja mengubah jadwal Ratu juga. Tidak hanya itu, Blair masih saja menghinanya 20 tahun setelah ia tidak menjadi Perdana Menteri lagi. Pada tahun 2021, Elizabeth menolak memberi Blair gelar “Sir”, sebuah kehormatan yang telah diberikan kepada sebagian besar pensiunan Perdana Menteri.
Ratu menyimpan dendam atas penanganan Blair ketika terjadi perselisihan keluarga kerajaan yang dihadapinya setelah kematian Putri Diana pada tahun 1997. Diana meninggal beberapa bulan setelah Blair menjabat, dan sebagai Perdana Menteri, Blair telah menangani kasus Diana dengan cara yang salah yang membuat Ratu marah. Memang ketika itu opini masyarakat menyalahkan Kerajaan atas kematian Diana yang tragis itu. Dalam konflik Charles versus Diana, Istana terlihat memihak Charles yang berselingkuh dengan Camilla Parker Bowles, pacarnya semasa sekolah. Ada lagi masalah kecemburuan Elizabeth kepada Diana, karena tugas-tugas kunjungan Istana tiba-tiba diambil Diana, ketika ia kesepian ditinggalkan Charles suaminya yang asik pacaran dengan Camilla. Dan Diana juga membalas perselingkuhan Charles, yaitu ia ganti berpacaran dengan Dodi Al Fayed.
Ratu Elizabeth tidak asing dengan ketegangan dalam keluarga Kerajaan, hal itu terjadi juga ketika kedua cucunya, Pangeran William dan Pangeran Harry berseteru. Perseturuan itu mencapai titik didih setelah wawancara mengejutkan Harry dan Meghan Markle, istrinya, dengan Oprah Winfrey. Pasangan itu menuduh keluarga Kerajaan melakukan rasisme mengenai warna kulit putra mereka Archie, dan diduga Ratu tidak membantu Meghan ketika ia memiliki pikiran untuk bunuh diri. Hidup di Istana itu ternyata membuat stress. Ketika William ditanya apakah ia berbicara dengan saudaranya setelah wawancara, ia berkata, “Tidak, saya belum bertegur sapa dengannya, tetapi saya akan melakukannya kelak.”
Menurut laporan majalah People, Ratu “tidak pernah menginginkan adanya konflik keluarga pada masa pemerintahannya ini.” Setelah wawancara, sang ratu sendiri merilis sebuah pernyataan, “Seluruh keluarga sedih mengetahui sepenuhnya betapa susahnya kehidupan Meghan dan Harry beberapa tahun terakhir ini.” Ia melanjutkan, “Isu-isu yang diangkat, terutama ras, sangat memprihatinkan. Sementara beberapa kenangan mungkin berbeda, mereka ditanggapi dengan sangat serius dan akan ditangani oleh keluarga secara pribadi.” Ratu menambahkan bahwa Harry, Meghan, dan Archie adalah “anggota keluarga yang dicintai.” Memang tak dapat dipungkiri ada keturunan kulit hitam dalam darah Meghan, yang membuat Elizabeth terlihat risih. Hal itu menyebabkan Harry pindah ke California dan akibatnya Ratu mencopot status keningratan cucunya itu. Sadis memang, bagaimanapun bijaksananya Elizabeth, selalu terlihat jejak imperialis dalam hatinya.
Tahun 2021 telah menjadi tahun yang penting bagi Meghan Markle dan Pangeran Harry. Setelah mengundurkan diri dari tugas anggota keluarga senior kerajaan pada Januari 2020 dan mendirikan rumah baru di California. Pasangan yang menikah pada 2018 itu, lebih suka putus dukungan ekonomi dari Kerajaan dan mencari uang sendiri, serta mengorbankan posisi mereka di keluarga kerajaan Inggris. Demikianlah, kehidupan Ratu selalu diterpa gosip yang berasal dari anggotanya. Dimulai dari Margareth adiknya yang suka gonta-ganti pacar, dan akhirnya kawin, berselingkuh dan bercerai. Dilanjutkan dengan Charles anaknya, yang hobi berselingkuh juga, kemudian diikuti mantunya, Diana yang bergonta-ganti pacar karena balas dendam kepada kelakuan Charles. Sekarang ia juga dipusingkan dengan Harry, cucunya yang memilih berpisah darinya. Semoga Ratu lebih tenang hidupnya di akhirat kelak.***