SKETSA | Terawan

Silahkan bagikan

Oleh Syakieb Sungkar

SAYA membaca surat Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) tertanggal 8 Februari 2022, yang meminta IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memecat Dr. Terawan Agus Putranto, Sp Rad. dari keanggotaan IDI. Dalam surat itu juga disinggung bahwa Terawan telah melakukan promosi kepada masyarakat luas tentang Vaksin Nusantara sebelum penelitiannya selesai. Surat tersebut mendapat penolakan dari Change.org yang sampai hari ini sudah ditandatangani oleh 50.000 orang. Di media sosial, setelah memecat Terawan, IDI mendapat banyak cemooh. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa IDI itu sarang Kadrun, IDI melawan Jokowi, dan IDI itu tak berbeda dengan MUI, sok kuasa, yang harus segera dibubarkan. Ninoy Karundeng mengkait-kaitkan masalah ini dengan isu terorisme, katanya ada anggota IDI yang teroris. Bagi orang awam seperti saya, surat MKEK itu kurang begitu jelas. Memang disinggung secara tegas soal Vaksin Nusantara, proyek baru Terawan yang masih pada tahap awal. Tetapi saya kira surat itu secara tersirat sedang mengangkat luka lama yang menyangkut terapi cuci otak dengan metode DSA. Kalau Terawan dipecat dari IDI, apakah ia masih boleh berpraktek untuk mengobati stroke? Itu masih menjadi pertanyaan.

Gambar 1 – Dr. Terawan Agus Putranto, Sp Rad. /pikiran rakyat

Dokter Terawan disalahkan karena telah mengobati stroke dengan cairan Heparin. Stroke yang dicoba diobati oleh Terawan adalah Stroke Iskemik (Ischemic). Stroke Iskemik adalah stroke yang terjadi ketika aliran darah ke otak tidak lancar akibat terhalang oleh bekuan darah. Bekuan darah ini berasal dari penumpukan zat lemak atau plak pada arteri, atau disebut sebagai aterosklerosis. Semakin banyak plak yang menumpuk, pembuluh darah akan semakin sempit dan menghambat aliran darah yang membawa oksigen. Karena otak tidak mendapatkan cukup oksigen maka lambat laun aterosklerosis akan mematikan sel-sel otak.

Gambar 2 – Stroke Iskemik. /net

Sejak tahun 1996 di Amerika, metode untuk menghancurkan gumpalan darah di otak adalah dengan menerapkan Terapi Trombolitik yang bertujuan untuk menghancurkan gumpalan atau sumbatan pada pembuluh darah otak. Caranya dengan menggunakan obat rtPA (Recombinant Tissue Plasminogen Activator). Obat golongan rtPA yang baru disetujui FDA (Food Drug Association) Amerika adalah Alteplase.

Baca Juga :  Saeful Bachri : Target 2024, Partai Demokrat Raih 11 Kursi DPRD Kabupaten Bandung

Sementara Terawan tidak menggunakan obat Alteplase tetapi cairan Heparin. Heparin itu adalah obat pengencer darah yang biasanya digunakan dokter untuk mencegah penggumpalan darah yang mungkin terjadi selama proses operasi, cuci darah, dan transfusi darah. Cara penggunaan heparin adalah dengan disuntikkan ke tubuh, melalui dosis yang terukur dan dilakukan oleh dokter ahli. Heparin bukanlah obat baru, sudah ditemukan pada tahun 1916. Heparin juga mempunyai efek samping, seperti perdarahan yang terus menerus, mimisan, dan adanya darah dalam urin. Namun yang dilakukan Terawan sejak tahun 2004 adalah memasukkan heparin menggunakan kateter melalui pembuluh kaki. Metode ini dikenal sebagai Digital Subtraction Angiography (DSA).

Gambar 3 – Heparin./net

Kurang jelas mengapa Terawan menyisipkan kata digital dalam metode penemuannya itu, karena proses kateter dan menyemprotkan (flushing) heparin yang dilakukannya adalah proses analog bukan digital, apakah penggunaan istilah itu untuk sekedar gagah-gagahan? Metode ini juga dikenal sebagai cuci otak atau brain washing. Saya rasa istilah-istilah ini diciptakan agar mendapat efek pemasaran yang maksimal. Memang sudah ada metode DSA yang diperkenalkan pada tahun 1979 oleh Charles Mistretta, sebagai metode untuk melihat sistem arteri melalui injeksi kontras intra-arteri yang nantinya imagenya akan ditangkap oleh X-ray. Metode itu dipakai untuk memfokuskan citra pembuluh darah. Tak lebih tak kurang. Bukan untuk mencuci otak.

Moh Hasan Machfoed dalam makalahnya yang berjudul “Is the Cerebral Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF), Beneficial for the Treatment of Ischemic Stroke?” mengatakan bahwa tata cara pencucian otak dengan menyemprotkan Heparin pada pengobatan Stroke Iskemik yang akut dan kronis tidak sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku serta tidak memiliki literatur dan pedoman yang mendukung manfaat Heparin tersebut. (jurnal BAOJ Neuro, Volume 2, Issue 1, 013, h. 7, Juni 2019).

Baca Juga :  Infrastruktur Protokol Kesehatan Kurang, Rata-rata Sekolah Belum Siap Belajar Tatap Muka

Terlepas dari metodenya benar atau tidak bagi orang Amerika, FDA, dan IDI, banyak orang yang merasa bertambah sehat setelah mendapatkan terapi DSA dari Terawan. Teman saya, Butet Kertarajasa, misalnya, setelah berobat dengan Terawan mendapatkan burungnya joss kembali. Ada lagi teman saya, Budi Setiadharma, dulu Preskom PT. Astra International, kemudian bisa membaca koran tanpa kaca mata baca. Selain itu, dengung di kupingnya menghilang setelah diobati Terawan. Bahkan ibunda dari Presiden kita, Jokowi, disembuhkan oleh Terawan dengan metode DSA-nya itu. Sehingga kemudian Terawan diangkat menjadi Menteri Kesehatan. Jokowi sangat menghargai orang yang dapat menciptakan suatu penemuan. Orang-orang yang menemukan sesuatu, misalnya menciptakan aplikasi Gojek, kemudian diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Soal Jokowi kemudian mencopot Terawan dari posisi Menkes, itu hal lain, bukan karena DSA, tetapi karena Terawan tidak mempunyai kemampuan managerial dalam menangani Covid.

Kalau begitu apa salahnya Terawan? Saya rasa masalah utamanya karena catatan atau dokumentasi pasien-pasiennya tidak dibuat terbuka sehingga orang sulit mengakses riwayat pasien, jalan pengobatan, dan hasil-hasilnya secara terang benderang. Suatu jenis pengobatan baru harus diujikan dengan hati-hati dan seksama melalui proses percobaan yang berkali-kali dengan standar dan jumlah sampel yang memadai. Itulah mengapa sampai hari ini obat golongan rtPA yang baru disetujui FDA hanya Alteplase. Sedangkan obat-obat lain masih dalam pengujian dan melalui proses panjang, sebelum FDA menyatakan aman untuk mengobati manusia.

Apa yang dilakukan oleh Terawan selama ini adalah mencobakan langsung metodenya kepada pasien, sebelum adanya uji klinis yang diawasi oleh pihak berwenang, misalnya HTA (Health Technology Assessment). Hasil ‘ilmiah’ yang baru ada selama ini adalah getuk tular dari para selebriti, seperti Dahlan Iskan, Butet, Yusril Ihza Mahendra, dan para pembesar seperti Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto yang telah merasakan manfaat dari pengobatan Terawan. Namun hal itu baru sekumpulan statement-statement yang bersifat subyektif, bukan didasarkan pada data-data yang sesuai dengan kaidah kedokteran. Belum cukup untuk menyatakan bahwa DSA atau metode cuci otak itu terbukti manjur secara medis. Apalagi sebagian besar dari para selebriti itu sebenarnya tidak terkena stroke, mereka datang ke Terawan hanya untuk mencegah stroke. Itu juga suatu kesalahkaprahan pengobatan yang harus diluruskan.

Baca Juga :  Mulai Hari Ini, PeduliLindungi Jadi Syarat Perjalanan

Eforia seperti itu kemudian menutup berita atas korban-korban dari metode DSA itu sendiri. Misalnya begini, ada seorang pria yang keadaannya normal, dapat berjalan, berbicara, dan lainnya. Namun beberapa jam setelah terapi cuci otak, orang tersebut mengalami kelumpuhan tangan, kaki, dan bagian tubuh sisi kanan. Atau kasus Gerald Liew, seorang warga negara Singapura, yang sebelumnya sehat walafiat tetapi setelah diterapi Terawan menjadi kehilangan ingatan, memorinya rusak, dan tubuhnya lumpuh. Hal-hal seperti ini tertutup oleh “kemasyhuran” dan “promosi” cara pengobatan Terawan. Kalau sudah begini, siapa yang dapat memeriksa masalahnya, mengingat yang tahu metode cuci otak hanya Terawan dan Tuhan. Hal itu juga memperlihatkan bahwa terapi untuk mencegah stroke itu sebuah dongeng. Karena cara satu-satunya mencegah stroke adalah menjalani hidup sehat.

Ada yang mengatakan, orang-orang yang disembuhkan Terawan itu sudah lebih dari 40.000 orang, kalau ada 1-2 orang jatuh korban bisa dimaklumi. Masalahnya, korban manusia bukanlah urusan statistik, tetapi urusan individu si korban itu sendiri, harus ada penjelasan mengapa seseorang bisa gagal dan lainnya bisa berhasil menggunakan terapi yang sama. Kondisi-kondisi apa yang menyebabkan pengobatan itu bisa berhasil dan gagal, agar tidak jatuh korban yang lain. Hal itu harus dibuka seluas-luasnya. Ada juga sebuah tulisan yang mengatakan, Terawan bukan mencari uang dalam pengobatan. Setuju. Dengan kekayaan yang Rp 91,5 M,- sesuai dengan laporan yang disetorkan KPK tahun 2021, memang nampaknya Terawan tidak perlu menambah kekayaan lagi. Berobat kepada Terawan itu memang ongkosnya mahal. Jadi begini saja deh, mengingat metode cuci otak itu penting sekali, dan demi menghindari jatuh korban yang lain, maka mari kita ajak Terawan untuk membuktikan metodenya secara gamblang ke IDI, tidak perlu ada rahasia-rahasiaan lagi, OK?. ***

M Purnama Alam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Next Post

Lesti Semringah Pamer Abang L yang Sudah Gede, Nitizen: "Billar Banget"

Kam Mar 31 , 2022
Silahkan bagikanVISI.NEWS | JAKARTA – Baru-baru ini Lesti Kejora artis dangdut asal Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang telah dikaruniai momongan pamer unggahan Abang L –panggilan untuk sang buah hati Lesti dan Bilar–. Sontak para nitizen pun memberikan komentar. Unggahan istri artis Rizky Billar itu diketahui melalui IG Lesty, @lestykejora yang […]