Oleh Reece Hooker (360info)
SAAT para pemilih di seluruh dunia pergi ke tempat pemungutan suara, migrasi mendominasi agenda. Dalam pemilihan Uni Eropa, migrasi merupakan isu utama peringkat kedua di antara para pemilih, dan dianggap sebagai kekuatan pendorong di balik perolehan suara yang diraih oleh partai-partai sayap kanan dan konservatif.
Di Amerika Serikat, kandidat presiden Kamala Harris dan Donald Trump saling serang atas catatan mereka tentang imigrasi.
Hal ini menyusul langkah agresif Presiden Joe Biden dengan mengeluarkan perintah eksekutif yang bertujuan untuk mengekang rekor kedatangan migran dari Meksiko, meskipun ada peringatan bahwa hal itu akan menyebabkan kematian.
Di Australia, Oposisi federal telah menyusun rencana untuk memangkas imigrasi sebagai solusi yang dimaksudkan untuk krisis keterjangkauan perumahan di negara tersebut. Ini adalah arena terbaru di mana migrasi telah digunakan sebagai ajang politik — setelah sebelumnya menjadi titik api dalam perdebatan nasional tentang keselamatan masyarakat, universitas, dan lapangan kerja.
Di berbagai negara demokrasi yang beragam ini, kontroversi seputar migrasi menjadi benang merah, meskipun hal itu dijadikan senjata dengan berbagai cara.
Namun, imigrasi pada tahun 2024 menjadi lebih penting daripada sekadar bagaimana hal itu memengaruhi beberapa pemilihan umum. Perdagangan manusia tetap menjadi masalah yang sangat besar, khususnya di Asia Tenggara.
IMF menyebutnya sebagai “ancaman tersembunyi” dan mengutip beberapa perkiraan yang menilai industri tersebut bernilai US$150 miliar per tahun. Tampaknya industri ini membuat banyak negara bingung bagaimana cara menghentikannya secara signifikan.***