VISI.NEWS | BANDUNG – Nama Hamam, S.H., dalam pergerakkan pekerja/buruh di Bandung dan Jawa Barat menjadi bagian tak terpisahkan. Ia tahu betul detail pergerakan pekerja/buruh terutama pascareformasi, dan silih bergantinya regulasi yang tetap saja tidak mendorong para pekerja/buruh lebih baik.
Kiprahnya di organisasi pekerja, tak lepas dari bagian perjalanannya suka berorganisasi mulai dari aktivis kampus semasa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara (Uninus). Saat itu, ia juga menjadi pengurus di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Kota Banding, Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan organisasi mahasiswa lainnya.
Ia berada di dalam lingkaran Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sejak saat Orde Baru di mana SPSI menjadi serikat pekerja terbesar dan wadah tunggal di Indonesia, kemudian pecah menjadi dua dan sekarang menjadi empat. Begitu pula posisi Hamam, pernah berganti-ganti dari menjadi Ketua SPTSK SPSI Kabupaten Sumedang, Sebagai Pengacara SPSI Jawa Barat, Hakim Ad Hoc di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jawa Barat, di Dewan Pengupahan Jawa Barat, Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Jawa Barat, dan sekarang sebagai Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Transportasi Indonesia (SPTI) SPSI Jawa Barat.
“Pergerakan serikat pekerja atau buruh ini kan adanya saat reformasi saja. Dulu tidak ada. Dan demo paling besar saat penolakan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dulu demo keluarnya UU itu di demo habis-habisan oleh pekerja. Bahkan saat Presiden SBY mau merevisi UU Ketenagakerjaan tersebut tahun 2006 juga terjadi demo besar pekerja di DPR RI sampai gedung itu rusak, meski akhirnya tidak ada revisi UU No 13 itu, ” ungkap Hamam saat berbincang dengan VISI.NEWS di Taman Gantung, Stasiun Bandung, Selasa (21/11/2023) sore.
Pada jaman Presiden Jokowi, kata Hamam, demo besar saat keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. PP ini telah ditandatangani Presiden Jokowi pada 23 Oktober. Salah satu klausul yang menyebabkan terjadinya demo pada saat itu adanya surat edaran dari Kemenaker bahwa kenaikan upah tidak boleh melebihi 8,5 persen. Ini berbeda dengan peningkatan rata-rata kebutuhan pokok masyarakat yang setiap tahunnya mencapai 20 hingga 40 persen.
Kondisi yang demikian, kata pria kelahiran Serang, 6 Juli 1960 ini, menjadikan posisi serikat pekerja sangat dibutuhkan sebagai penyalur aspirasi para pekerja/buruh. “Seharusnya kan keluarnya aturan-aturan baru itu, baik PP maupun Permenaker menjadikan posisi buruh lebih baik, ini tidak seperti itu, bahkan sebaliknya bisa lebih buruk,” ungkap ayah dari dua anak ini.
Hamam mencontohkan pasca Mahkamah Konstitusi (MK) mengesahkan secara kontroversi Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, serikat pekerja/serikat buruh sudah menduga akan ada aturan turunan yang mengebiri hak-hak buruh/pekerja dan membatasi kesejahteraan buruh/pekerja. “Dugaan tersebut ternyata benar dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan,” ungkap advokat jebolan Uninus ini.
Oleh karenanya, kata Hamam, Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP No 36/2021 tentang Pengupahan, model formulanya tetap menuai perdebatan. Kalangan kelompok pekerja sampai sekarang masih menganggap bahwa hasil penghitungan dengan model formula akan kurang mengakomodasi kebutuhan riil pekerja. Sementara kalangan pengusaha menyatakan ketentuan dalam PP perlu dihormati sebagai dasar hukum kepastian berusaha.
Di mata Hamam, PP No. 51 tahun 2023 ini perhitungan dasar untuk penetapan upah minimum itu lebih rumit. “Kalau dulu kan gampang. Upah minimum ditentukan berdasarkan hasil survei di kabupaten kota yang nantinya keluar kebutuhan hidup minimum (KHM) yang kemudian berubah menjadi kebutuhan hidup layak (KHL). Tiap kabupaten kota KHM atau KHL-nya pasti beda. Yang paling mencolok perbedaan tarif kontrakan kamar untuk pekerja, di kota dengan di daerah pasti beda, itu akan mempengaruhi besarnya UMK di tiap kabupaten kota,” ungkapnya.
Bagi serikat-serikat pekerja maupun serikat buruh, kata Hamam, keluarnya regulasi ini menjadi “pekerjaan” karena terjadi gejolak di lingkungan pekerja yang merasa hak-haknya berkurang. Sehingga kerap digelar aksi demo baik di tingkat kabupaten kota maupun provinsi. “Meski sebenarnya solusinya sih tetap ada di perusahaan, bagaimana pekerja atau buruh bisa bermusyawarah dengan pengusaha, karena bagaimana pun juga soal upah itu kan yang membayar pengusaha, kalau pengusahanya tidak mampu, mau bagaimana?, ” ungkapnya.
Oleh karenanya, Hamam tak jarang melihat pemandangan saat demo para pekerja/buruh seperti berselisih dan mengecam upah yang di berikan pengusaha. “Di jalan berselisih, di perusahaan mah mereka tertawa-tawa dengan pengusaha. Kata pengusaha, ‘kumaha hasilna demo teh?’, ah ka cape-cape ari euweuh hasilna mah. Tapi, kalau demo itu membuahkan hasil keluarnya rekomendasi dari gubernur atau bupati, pengusaha mah nurut saja, pasti akan menjalankan aturan dari pemerintah. Artinya, sebenarnya di perusahaan-perusahaan itu tidak ada gontok-gontokan antara pekerja dengan pengusaha soal pengupahan ini. Mereka baik-baik saja, mereka bisa tertawa-tawa bersama, ” ungkap Hamam.
@aep s abdullah