Search
Close this search box.

Surat Sakti KHDPK yang Meresahkan

Bagikan :

Oleh Asep Ruslan

SURAT Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No.SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tertanggal 5 April 2022 tentang Kebijakan Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), pada sebagian hutan negara yang berada pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur, mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak.

Dimana jumlah keseluruhan luas kawasan hutan yang dimaksud dalam SK KLHK No.SK.287 tersebut adalah seluas 1.103.941 Ha. (Satu juta seratus tigaribu sembilan ratus empatpuluh satu hektare). Terdiri atas seluas 202.988 Ha di provinsi Jawa Tengah, yang masing-masing berupa kawasan Hutan Produksi seluas 136.239 Ha. dan kawasan Hutan Lindung seluas 66.749 Ha.

visi.news/istimewa

Kemudian seluas 338.944 Ha (tigaratus tiga puluh delapan ribu sembilan ratus empat puluh empat hektare) di wilayah Provinsi Jawa Barat, yang terdiri seluas 163.427 Ha berupa Kawasan Hutan Produksi dan seluas 175.517 Ha berbentuk Kawasan Hutan Lindung.

Penetapan KHDPK di Provinsi Banten adalah seluas 59.978 Ha (lima puluh sembilan ribu sembilan ratus tujuh puluh delapan hektare) yang berada pada Kawasan Hutan Produksi seluas 52.239 Ha. dan di Kawasan Hutan Lindung seluas 7.740 Ha.

Klaim lahan di Purwakarta. /visi.news/istimewa

Sedangkan penetapan KHDPK di Provinsi Jawa Timur luasnya mencakup 502.023 Ha (lima ratus dua ribu dua puluh tiga hektare), yang mana sekarang berupa Kawasan Hutan Produksi seluas 286.744 ha dan yang berupa Kawasan Hutan Lindung luasnya 215.288 ha.

Ibaratnya, kawasan yang alih fungsi seluas itu akan mencaplok hampir separuh hutan lindung dan hutan produksi di Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah yang dikelola oleh Perum Perhutani.

Baca Juga :  Kecepatan Internet di Destinasi Wisata: Kunci Kepuasan Wisatawan di Era Digital

Akibatnya ribuan Karyawan Perhutani diperkirakan masa depannya akan menjadi Suram.

Aksi demo karyawan Perhutani. /visi.news/istimewa

Kebijakan Penetapan SK KLHK No.SK.287 tersebut, bertujuan mengalihfungsikan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). Dimana dalam SK tersebut, disebutkan KHDPK memiliki enam tujuan kepentingan, yaitu Perhutanan sosial, Pemanfaatan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, Penggunaan kawasan hutan, Rehabilitasi hutan, Perlindungan hutan, dan Pemanfaatan jasa lingkungan.

Dari enam kepentingan KHDPK tersebut salah satunya bertujuan mengubah hutan lindung dan hutan produksi menjadi perhutanan sosial. Dimana Perhutanan Sosial, akan mengurangi kawasan hutan karena cenderung mengarah pada pertanian hortikultura.

Untuk area hutan lindung dan hutan produksi yang akan menjadi KHDPK juga belum jelas seluas apa dan dipetakan dimana saja. Jika SK ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan adanya kekosongan pengelolaan hutan.

Belum ada pembagian, tata kelola lahan, dan kelembagaan yang jelas pada KHDPK sehingga akan berpotensi memunculkan konflik dan ancaman kelestarian hutan.

Timbul pertanyaan, Perhutani itu bekerja berdasarkan peraturan pemerintah (PP). Kenapa bisa dicabut dengan SK Menteri. Tinggi mana kedudukannya PP dengan SK Menteri?

  • Penulis, Pengurus Pusat Media Independen Online Indonesia (MIO Indonesia), Pegiat Lingkungan dan Presiden Paguyuban Asep Dunia (PAD).

Baca Berita Menarik Lainnya :