Search
Close this search box.

TAUSIAH: Manajemen Waktu Menurut Islam (2)

Ilustrasi orang berjalan di padang pasir./dok./net.

Bagikan :

VISI.NEWS – Untung kalau ia bisa menggunakan fase-fase masa lalu itu secara baik dan untuk kebaikan sehingga ia kini memetik buah manisnya.

Tapi, begitu banyak orang yang cuma melongok menyaksikan berlalunya fase-fase itu, berpangku-tangan, berfoya-foya, menghamburkan uang dan tenaga secara tidak bermanfaat, atau menyiakan masa muda dengan mabuk-mabukan, malas-malasan, tidak memanfaatkan waktunya dengan baik, kini….orang-orang tersebut tertunduk malu, menyesali diri, dan melamun dengan pikiran kosong, dengan tatapan kosong, lalu mencaci masa lalu sebagai “waktu sial”.

Padahal, waktu tidak pernah sial. Waktu hanya adalah fase-fase yang kita lalu, tidak pernah menentukan untung-sialnya kita. Justru kitalah yang menentukan.Waktu sifatnya netral, tidak pernah memihak. Hanya saja, kita menggunakannya secara keliru. Fenomena ini biasa kita temukan dalam kehidupan kita sekarang.

Bangsa Arab ketika masa turunnya Alquran juga sering mencaci waktu bahwa masa lalunya adalah waktu sial. Dengan latar belakang sosial masyarakat Arab ketika itulah, lalu Allah SWT melalui ayat ini membantah anggapan keliru mereka.

Jika mereka gagal, itu bukan karena waktu, melainkan karena kesalahan merek sendiri. Lalu, dalam ayat ini, Allah SWT membimbing bahwa agar manusia tidak “rugi”, ada 3 faktor yang bisa menjadikan manusia tidak akan “dilindas” oleh zaman, karena 3 faktor ini adalah faktor-faktor keberuntungan manusia, yaitu:

Iman dan amal saleh, sebenarnya dua hal yang telah menjadi satu kesatuan yang saling terkait. Iman tanpa amal saleh menjadi kosong karena iman ibaratkan wadah yang harus diisi, atau kata ulama, imannya hanya kadar rendah/ kurang, sedangkan amal saleh yang tanpa disertai iman, di mata Alquran, tidak akan berarti secara teologis (ketuhanan) dan eskatologis (tidak dibalas di akhirat nanti) seperti imannya orang kafir (habithat a’mâluhum)

Baca Juga :  PT Hitakara Apresiasi Pemecatan Hakim Mangapul, Soroti Mafia Peradilan di Surabaya

Saling mengingatkan dengan kebenaran. Al-haqq bisa berarti Yang Mahabenar (Tuhan, Allah SWT). Jadi, manusia harus saling mengingatkan akan wujud Tuhan yang Maha Esa, Maha Kuasa, dsb.

Kesadaran akan adanya Tuhan di setiap napas kehidupan adalah kesadaran spiritual manusia yang menjadikannya bertahan dari gerusan zaman.

Arus materialisme, hedonisme, konsumerisme, dan pandangan-pandangan lain yang hanya menekankan kelezatan duniawi hanya akan menjadikan manusia “merugi”.

Muhammad Asad menafsirkan kerugian manusia dalam surah ini dalam pengertian “manusia mudah sekali terpleset jatuh hingga membinasakan dirinya” (man is bound to lose himself).

Kebinasaan diri bukanlah berarti sekadar hidup secara material (makan, minum, dan berreproduksi), melainkan jika ia juga kehilangan dimensi spiritual yang merupakan hakikat dirinya, yaitu kesadaran akan adanya Tuhan yang selalu “hadir” dalam setiap napas kehidupannya, ketika kerja, berpergian, berinteraksi dengan sesama, dan ketika menatap ciptaan-Nya.

Kata al-haqq di sini juga berarti kebenaran. Itu artinya bahwa seseorang tidak akan rugi terlindas oleh zaman jika ia mau mendengar kebenaran dari orang lain, dari mana pun sumbernya. Bahkan, yang dinamakan dengan “kearifan” (hikmah) adalah kebenaran juga. Nabi konon pernah bersabda:

“Ungkapan kearifan adalah barang yang hilang milik orang yang berimana. Di mana pun ia menemukannya kembali, ia lebih berhak untuk mengambilnya lagi”. Dikatakan juga dalam hadis bahwa “hikmah adalah mendapatkan kebenaran di luar kenabian” (al-ishâbah fî ghayr al-nubuwwah). Kebenaran, selain kebenaran teologis yang terkait dengan keyakinan, bisa saja lahir dari siapa pun.

Saling mengingatkan akan kesabaran. Apa sebenarnya kesabaran itu. Al-Râghib al-Ashfihânî dalam kamus al-Qur`an-nya, Mu’jam Alfâzh al-Qur`an (al-Mufardât fî Gharîb al-Qur`ân) h. 277, yang dimaksud dengan sabar adalah “menahan diri agar tetap sesuai dengan tuntutan pertimbangan akal dan syara’ (agama)” (habs al-nafs ‘alâ mâ yaqtadhîh al-‘aql wa al-syar’).

Baca Juga :  Khofifah Hadiri Haul ke 32 Buya Mas Muhammad Fathoni

Semula sabar secara kebahasaan berarti “bertahan dalam kesempitan”. Asal makna ‘shabr’ dalam bahasa Arab memiliki 3 makna pokok, yaitu menahan, bagian yang tinggi dari sesuatu, dan sejenis batu (keras). Mengapa sabar diperlukan dalam kehidupan ini?

Karena hidup ini tidak selalu berjalan mulus, melainkan selalu diwarnai oleh kesulitan, hambatan, atau cobaan hidup. Hidup tidak selalu dihiasi dengan kemudahan, melainkan diselingi juga dengan kesulitan.(bersambung)/@fen/sumber: www.uin-antasari.ac.id

Baca Berita Menarik Lainnya :