Search
Close this search box.

TELAAH: Bagaimana Hukum Gibah saat Berpuasa?

Ilustrasi/istimewa.

Bagikan :

VISI.NEWS – Puasa bukan hanya perkara menahan lapar, haus, dan emosi. Bulan Ramadan juga berarti kita harus menjaga lisan dan perilaku agar tak menyakiti hati atau menyinggung orang lain.

Bergunjing atau gibah adalah perilaku tercela yang dilarang, baik itu pada Ramadan atau di luar Ramadan.

Dalam KBBI, gibah artinya kegiatan membicarakan keburukan orang lain. Hal yang menjadi bahan gunjingan tersebut mestilah sesuai dengan perilaku orang yang digunjingkan, jika dibuat-buat, maka bukan gibah lagi namanya, melainkan fitnah dan kebohongan. 

Kendati sesuai fakta dan memang benar-benar terjadi, aktivitas gibah dilarang keras dalam Islam. Dalam Alquran surah Al-Hujurat ayat 12, Allah SWT berfirman: 

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik … ” (QS Al-Hujurat, 49, 12). 

Pada ayat di atas, Allah SWT mengibaratkan orang yang bergibah seakan-akan memakan bangkai saudaranya.

Selain itu, menurut Ustazah Shoimah Kastolani, melansir rri.co.id dari laman cnn indonesia (21/4/21), perintah menjaga lisan ini terkandung dalam Alquran surat Al Ahzab ayat 70. Yakni hubungan antara takwa dan perkataan yang benar, di mana tujuan Ramadan adalah meningkatkan ketakwaan.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS Al Ahzab: 70).

Beliau menambahkan: “Betapa pentingnya menjaga lisan, sebab bila hati telanjur luka oleh lisan, tak mudah menyembuhkan hati yang tergores karena ucapan,” ucapnya.

“Meski tak berbekas, akan selalu terngiang, bahkan hingga akhir hidupnya, ‘sakitnya tuh di sini’.”

Baca Juga :  Dimas Drajad Bersyukur Bisa Kembali Tampil Bersama Persib

Oleh karena itu, dia mengatakan kepada seluruh umat muslim untuk lebih baik diam dibanding bicara, namun melukai hati lawan bicara. Namun perihal lisan tak cuma terhadap lawan bicara langsung.

Tak jarang, sesekali, kita keceplosan saat ngobrol, bergunjing, bergosip, atau gibah.

Ustazah Shoimah juga mengungkapkan bergibah memang tidak membatalkan puasa.

“Agar berkualitas puasanya, pengendalian diri dari nafsu syahwat, termasuk nafsu bicara kotor, harus diikhtiarkan. Memang, mengumpat, bergibah tidak sampai membatalkan puasa, tapi bisa mengurangi pahala puasa,” pungkas Ustazah Shoimah.

Sejalan dengan pernyataan Ustazah Shoimah, banyak pihak yang menyebutkan gibah tidak termasuk hal-hal yang membatalkan puasa, tetapi akan merusak pahala puasa seseorang.

Seperti yang dilansir dari laman NU Online (21/4/21), “Hal yang membatalkan puasa itu ada delapan, yaitu memasukkan sesuatu ke dalam rongga tubuh, memasukkan benda ke dalam dubur atau kubul, muntah dengan sengaja, berhubungan suami-istri di siang hari Ramadan, keluar sperma, haid atau nifas, gila, serta murtad (keluar) dari Islam.”

Karena gibah tidak termasuk dalam delapan pembatal puasa, maka orang yang bergibah puasanya tetap sah. 

Namun, Rasulullah saw. mewanti-wanti umatnya agar meninggalkan gibah. Kendati tidak membatalkan puasa, namun gibah melenyapkan pahala dan ganjaran baik dari ibadah puasa.

“Banyak sekali orang yang puasa, namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar” (HR Ibnu Majah). 

Selain menghilangkan pahala puasa, dosa gibah ketika berpuasa juga akan dilipatkgandakan. 

Nabi Muhammad saw pernah bersabda mengenai anjuran untuk tidak bergibah selama Ramadan sebagai berikut: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan zur (perkataan tercela), mengamalkannya, atau tindakan bodoh, maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga.” (HR Bukhari). 

Baca Juga :  Literasi Digital Disorot Usai Penahanan Mahasiswi ITB, Kemenristek Ajak Kampus Evaluasi Diri

Puasa Ramadan yang dikerjakan orang bergibah tinggal penunaian ibadah wajib saja. Pahalanya sudah habis dan Allah SWT tidak memberikan balasan pahala atas lapar dan dahaga yang ditahannya seharian penuh.

Artinya, kewajiban puasanya memang diangkat, serta tidak ada qada puasa padanya, namun puasa itu tidak ada artinya di sisi Allah SWT. @fen

Baca Berita Menarik Lainnya :