– Jika makan babi saja bisa menjadi halal lantaran ada ‘illat-nya, apalagi hanya memakai masker yang hukum asalnya mubah, bukan haram.
Oleh Ustaz Agus Khudlori, Lc (Pengajar di Pesantren Kalibata, Alumni Universitas Al-Azhar Mesir)
VISI.NEWS – Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa “Hadis Masker” di atas benar adanya dan bahwa Rasulullah memang melarang kita menutupi mulut dengan suatu benda seperti masker, kain, jari tangan, dan lain-lain ketika salat.
Di antara alasannya adalah karena hal itu akan menghambat bacaan salat kita dan menghalangi tersentuhnya hidung pada tempat sujud secara langsung sehingga mengurangi kesempurnaan sujud.
Tetapi larangan itu berlaku dalam kondisi normal dan tidak ada kebutuhan atau sebab yang mengharuskan kita menutupi mulut. Apalagi alasannya sekadar modis, pamer, atau gegayaan. Adapun jika ada kondisi atau sebab yang mengharuskan kita untuk menutup mulut, maka hal itu diperbolehkan.
Kita bisa mengembalikan kesimpulan ini pada kaidah-kaidah ushul fikih yang menjadi landasan penarikan kesimpulan hukum. Setidaknya, ada dua kaidah usul fikih yang membolehkan kita memakai masker ketika salat. Yang pertama, kaidah:
الْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Ada tidaknya suatu hukum itu tergantung ‘illat (sebab/alasannya).
Sebagai contoh, hukum makan daging babi adalah haram. Tetapi kalau kita sedang berada di hutan dan tidak menjumpai makanan lain kecuali babi, dan jika kita tidak makan babi itu kita akan mati, maka hukum babi menjadi halal. Di sini, ‘illat-nya adalah kita akan mati kalau tidak makan babi itu. Dalam kondisi ini, hukum haram babi menjadi hilang, berganti menjadi halal.
Memakai masker ketika salat di musim pandemi seperti sekarang ini ‘illat-nya seperti kasus makam babi di atas. Yaitu untuk melindungi diri dari bahaya yang bisa menyebabkan kematian, dalam hal ini virus.
Jika makan babi saja bisa menjadi halal lantaran ada ‘illat-nya, apalagi hanya memakai masker yang hukum asalnya mubah, bukan haram. Tentu saja lebih diperbolehkan. Apalagi kalau kita khawatir ketika sujud, di lantai tempat sujud kita terdapat droplet orang lain yang dapat menularkan wabah.
Yang kedua, kaidah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَىٰ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Mencegah kerusakan (bahaya) itu lebih didahulukan daripada mengambil maslahat (manfaat).”
Dalam hal ini, memakai masker adalah mencegah bahaya, yaitu kematian akibat transmisi virus ke dalam tubuh kita melalui mulut. Sedangkan tidak mengenakan masker adalah mengambil maslahat, yaitu meraih pahala dengan melaksanakan perintah hadis.
Nah, dalam kasus ini, Islam justru mengajarkan agar kita lebih mendahulukan mencegah terjadinya bahaya dibanding mengambil pahala. Artinya, memakai masker lebih utama dibanding melepas masker demi mendapatkan pahala. Dan yang terpenting, salat kita tetap sah.
Alkisah, dalam suatu peperangan, Amru bin ‘Ash mimpi basah. Di pagi harinya, ia mengimami salat subuh para sahabat lainnya tanpa mandi junub terlebih dahulu. Amru hanya bertayamum. Kejadian itu rupanya diketahui oleh salah seorang sahabat yang kemudian melaporkannya kepada Rasulullah.
Mendengar laporan itu, Rasulullah pun melakukan kroscek kepada Amru bin ‘Ash dan bertanya mengapa dia tidak mandi junub. Amru menjawab, “Kalau aku mandi, aku bisa mati menggigil, duhai Baginda.” Dia pun kemudian mengutip surah an-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi: “Dan janganlah kau membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Kala itu hawanya memang sangat dingin karena jazirah Arab sedang dilanda musim dingin. Mendengar alasan itu, Rasulullah hanya melempar senyum kepada sahabat yang pernah diutusnya membebaskan Mesir dan menjadi gubernur di sana. Rasul tidak mengatakan apa pun, pertanda beliau setuju terhadap apa yang dilakukan Amru.
Dalam konteks ini, hukum wajib mandi junub menjadi hilang lantaran adanya ‘illat, yaitu kekhawatiran akan terjadinya bahaya jika kita melakukannya. Mandi wajib dalam kondisi seperti ini bisa diganti dengan wudu saja atau tayamum.
Demikianlah. Ibarat karet, hukum fikih adalah sesuatu yang elastis. Ia lentur mengikuti konteks ruang, waktu, dan juga ‘illat atau sebab. Jika ‘illat-nya tak ada, maka hukumnya tetap seperti semula. @fen/sumber: republika.co.id