VISI.NEWS | SOLO – Tim Program Pengembangan Produk Unggulan Daerah (PPPUD) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, yang terdiri dari 4 orang dosen, yakni Prof. Slamet Subiyantoro, Prof. Pujiyono, Dr. Kristiani dan Dwi Maryono SSi, MKom, melakukan pendampingan terhadap perajin topeng batik di Dusun Bobung, Desa Putat, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, untuk memacu para perajin agar bergairah kembali memproduksi kerajinan topeng yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilaksanakan keempat dosen yang masing-masing beraal dari fakultas yang berlainan itu, juga bertujuan untuk memperkaya diversitas desain topeng serta membantu para pelaku usaha kerajinan potensial tersebut agar dapat memproduksi topeng yang mampu merambah pasar ekspor.
Ketua LPPM UNS, Prof. Okid Parama Astirin, bersama para pejabat LPPM, ketika meninjau kegiatan tim di rumah Sujiman, yang merupakan pimpinan himpunan perajinan UKM Karya Manunggal, menjelaskan kepada wartawan, tim PPPUD ditugasi melakukan pendampingan selama 3 tahun yang dibiayai Kemendikbud Ristek.
“Ini merupakan tahun ketiga tim PPPUD UNS membantu UKM Karya Manunggal yang mati suri terdampak pandemic Covid-19. Berbagai upaya telah dilakukan tim untuk membantu UKM agar tetap survive di tengah sepinya penjualan produk karya seni pasca pandemi,” katanya.
Selama 3 tahun, tim yang dipimpin Prof. Slamet Subiyantoro, bersama anggota tim dengan keahlian masing-masing memberikan pelatihan diversitas desain untuk meningkatkan nilai fungsi, estetika dan nilai ekonomi produk kerajinan topeng.
Tim juga memberikan pelatihan pembukuan, pemasaran secara online, pembuatan blog, pemasaran melalui marketplace, pengurusan HAKI yang saat ini sudah mendapatkan 5 hak produksi dan hak cipta dan sebagainya.
“Setelah dilakukan pendampingan, diversitas disain yang dihasilkan perajin semakin beragam. Selain membuat topeng batik, para perajin tradisional di Dusun Bopung dapat menerapkan disain topeng pada produk untuk kepentingan praktis, seperti tempat hp, jam, papan informasi, tempat pulpen, nomer rumah, tempat surat, tempat lampu, cermin, gantungan kunci dan lain-lain,” sambung Prof. Slamet Subiyantoro.
Sujiman mengungkapkan, Dusun Bopung sejak tahun 1973 merupakan sentra kerajinan topeng kayu dan di dusun itu juga terdapat kesenian tari topeng yang merupakan tradisi khususnya di Desa Putat.
Potensi kerajinan topeng yang semula banyak digunakan untuk seni tari tersebut, dikembangkan Sujiman dan para perajin lain dengan motif batik dengan teknik batik seperti batik pada kain.
“Sejak puluhan tahun warga Dusun Bopung sudah menjadi perajin topeng. Setelah dikembangkan menjadi topeng batik jumlah perajin semakin banyak, setidaknya dalam satu keluarga ada 2 orang perajin. Saat di Dusun Bopung tercatat sekitar 800an perajin yang hidup dari pembuatan topeng batik,” jelasnya.
Semasa pandemi selama 2 tahun, menurut Sujiman, jumlah perajin yang masih aktif menurun menjadi sekitar 20 persen saja. Dia berharap, setelah mendapat pendampingan tim PPPUD UNS, pasar produk kerajinan topeng batik dapat bergairah kembali dan pangsanya juga semakin luas.
“Saat ini pasaran kerajinan topeng batik masih di dalam negeri. Ada yang diekspor, tetapi melalui pihak kedua. Nilai penjualan dalam negeri sebelum pandemi per bulan rata-rata Rp 800 juta dan yang ekspor sekitar Rp 100 juta,” ungkapnya.
Dia menambahkan, topeng kayu karya para perajin Dusun Bopung, Gunung Kidul, yang memang merupakan sentra kerajinan topeng tersebut, dalam kesenian tradisional tari topeng juga dipakai para seniman penari topeng Kuningan dan Cirebon, penari topeng Bali, Semarangan, terutama Solo dan Yogyakarta.@tok