Search
Close this search box.

Transisi Energi Global Ancam Hak Masyarakat Adat

Direktur Satya Bumi Andi Muttaqien bersama kelompok masyarakat sipil lain dari berbagai negara mengisi sesi diskusi di Konferensi Perubahan Iklim COP30 yang berlangsung di Belém, Brasil. Dalam sesi itu, Andi menyampaikan ambisi transisi energi di Indonesia mengorbankan Masyarakat Adat. /visi.news/dok. satya bumi

Bagikan :

VISI.NEWS | JAKARTA – Di tengah riuh rendah janji-janji iklim yang digaungkan para pemimpin dunia dalam perhelatan COP30 di Belém, Brazil, suara Masyarakat Adat Indonesia kembali mengingatkan dunia bahwa transisi energi tak selalu membawa masa depan yang bersih bagi semua. Di balik ambisi global menuju energi hijau, kehidupan banyak komunitas justru berada di ujung tanduk.

Dalam diskusi side event bertajuk Centering Justice and Responsible Critical Minerals Governance di Ford Foundation Pavilion, berbagai organisasi masyarakat sipil Indonesia menyuarakan fakta lapangan yang kerap tersisih dari wacana besar COP30. Mereka membawa kabar pilu dari kampung-kampung yang terdampak industri mineral kritis—bahan baku utama kendaraan listrik dunia.

Salah satu contoh paling nyata datang dari Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara, yang kini menjadi simbol ekosida akibat masifnya hilirisasi nikel. Di sana, laut berubah warna, sumber pangan lenyap, dan kesehatan masyarakat terancam. Wilayah tersebut, bersama Pomalaa Industrial Park, telah menjadi bagian dari rantai pasok produsen otomotif global seperti Volkswagen, Tesla, Ford Motors, BMW, dan BYD.

“Masyarakat Adat Bajau di Kabaena tidak lagi bisa mencari ikan. Air laut sudah berubah merah, anak-anak tak bisa berenang. Laut yang dulu rumah mereka, kini jadi racun,” ungkap Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien, dalam diskusi pada Rabu (12/11/2025).

Riset Satya Bumi menunjukkan temuan mencengangkan: kadar nikel dalam urine warga Kabaena mencapai 5–30 kali lebih tinggi dari populasi umum. Bahkan, logam berat lain seperti kadmium, timbal, dan seng turut terdeteksi, membawa ancaman serius bagi kesehatan jangka panjang.

Tak hanya di Kabaena, Andi menyoroti pengalaman pahit Suku Honganamayawa di Halmahera, Maluku Utara, yang juga terdampak tambang nikel skala besar. “Kita perlu mendesak komunitas internasional untuk berhenti mengambil nikel dari pulau-pulau kecil dan menghentikan operasi perusahaan yang tidak bertanggung jawab,” tegasnya.

Baca Juga :  Bobotoh Menginspirasi Kemenangan Dramatis PERSIB

Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, Albert Kwokwo Barume, melihat persoalan ini bersumber dari kekosongan perlindungan hukum. Tanpa kerangka yang kuat, negara seringkali menghindari pemberian hak-hak dasar kepada Masyarakat Adat. “Ini yang seharusnya menjadi fokus dalam COP30,” ujar Barume. Ia juga menilai banyak proyek besar di Indonesia, termasuk PSN Poco Leok, dilakukan tanpa prinsip free, prior and informed consent, sehingga memicu perampasan tanah dan degradasi lingkungan.

Dari perspektif masyarakat sipil, Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa keadilan iklim harus menjadi fondasi utama kebijakan transisi energi. Menurut Manajer Kampanye Iklim dan Energi, Iqbal Damanik, energi bersih tidak boleh dicapai dengan mengorbankan ruang hidup rakyat. “Jangan atas nama transisi bersih kita merusak lingkungan atau menyingkirkan warga dari kehidupannya,” katanya.

Bagi Greenpeace, keadilan iklim berarti memastikan kelompok rentan tidak menjadi korban dari kebijakan yang hanya menguntungkan elite. Setiap langkah menuju energi terbarukan harus memperkuat perlindungan hak hidup masyarakat dan menjamin masa depan yang adil bagi generasi mendatang.

@uli

Baca Berita Menarik Lainnya :