UNS Hibahkan 11 Alat EWS untuk 7 Desa Rawan Longsor Kabupaten Karanganyar

Editor Dr. Ahmad Marzuki, pencipta perangkat alat deteksi dini bencana longsor yang dipasang di sejumlah lokasi rawan longsor wilayah Kabupaten Karanganyar, memantau pemasangan bantuan EWS outdoor yang ditempatkan di 11 lokasi di 7 desa/visi.news/tok suwarto
Silahkan bagikan

VISI.NEWS / SOLO – Sebanyak 7 desa di wilayah Kecamatan Tawangmangu, Matesih, Karangpandan, Ngargoyoso dan Jatiyoso, Kabupaten Karanganyar, di sisi barat lereng Gunung Lawu yang rawan bencana longsor mendapat bantuan hibah perangkat alat deteksi dini (early warning system=EWS) pemantau pergerakan tanah penyebab bencana longsor.

Sebanyak 11 perangkat EWS yang diciptakan dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Dr. Ahmad Marzuki, ditempatkan di 7 desa yang termasuk kategori daerah dengan tingkat kerawanan tinggi.
Bantuan hibah 11 EWS outdoor pemantau bencana longsor tersebut, melengkapi bantuan sebelumnya berupa 100 EWS indoor yang telah terpasang di sejumlah titik lokasi rawan bencana longsor sejak 2019 lalu.

Dr. Ahmad Marzuki yang merupakan anggota Pusat Studi Bencana (PSB) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNS, seusai penyerahan 11 EWS dari Dekan FMIPA, Dr. Hardono kepada Kalakhar BPBD Karanganyar, Bagoes Darmadi, menyatakan, bantuan 11 EWS outdoor yang ditempatkan di tempat terbuka berbeda dengan 100 EWS indoor yang dipasang di rumah-rumah warga.

“Perbedaan EWS outdoor dengan EWS indoor terletak pada kemampuan jangkauan sensornya. Sensor EWS oudoor mampu menjangkau lingkup luasan tanah bergerak yang lebih besar,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (30/6/2022).

Biaya untuk merancang dan membuat 100 unit perangkat indoor deteksi dini yang ditempatkan di 11 desa di enam kecamatan rawan longsor pada 2019, menurut dosen FMIPA itu, berasal dari dana penelitian Kementrian Ristek-Dikti dalam KRUPT. Sedangkan pembuatan 11 EWS outdoor, dibiayai dana penelitian UNS tahun 2021.
Menyinggung pemasangan EWS, kata Ahmad Marzuki, EWS indoor dipasang dengan cara ditempelkan di dinding yang terjadi retakan agar jika ada pergerakan tanah terdeteksi sensor EWS.

Baca Juga :  Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo RS di Jawa Tengah Diminta Siaga Antisipasi Lonjakan Covid-19

“Bila tanah bergerak, maka retakan akan melebar dan sensor akan memberikan warning ke penghuni rumah. Sedangkan EWS outdoor adalah pendeteksi longsor di luar ruang yang dipasang menggunakan tiang. Sensor EWS akan bekerja dengan membunyikan alarm ketika tanah mengalami pergeseran,” jelasnya.

Menanggapi kawasan permukiman rawan bencana longsor di Kabupaten Karanganyar yang sangat luas, anggota PSB LPPM UNS itu, menegaskan, jumlah EWS yang terpasang masih kurang dan dibutuhkan unit sensor longsor lebih banyak.

Dia berharap perangkat EWS yang biaya pembuatannya per unit mencapai Rp 75 juta dipelihara agar berfungsi dengan baik. Masyarakat juga diminta menjaga agar perangkat EWS dengan sensor yang sangat sensitif dapat berfungsi untuk mengurangi risiko korban jiwa akibat bencana longsor. @tok

Fendy Sy Citrawarga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Dr. Susanto Ungkap Busana dan Gelar Birokrasi Istana Mangkunegaran Abad XX

Kam Jun 30 , 2022
Silahkan bagikanVISI.NEWS | SOLO – Istana Pura Mangkunegaran dalam sistem pemerintahan di masa lalu, secara khusus menggunakan model busana dan gelar kepangkatan bagi birokrat yang mengemban tugas sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian tim dosen program studi ilmu sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, busana di lingkungan keraton […]