VISI.NEWS – Bagi pengkaji peradaban Islam, diketahui bahwa perubahan signifikan dan fundamental telah diwujudkan agama yang mulia ini, perubahan yang meliputi seluruh bidang kehidupan manusia.
Islam mampu mendorong manusia untuk mengubah diri mereka, mengubah segala sesuatu yang diwarisi dari orang tua dan nenek moyang mereka, baik dalam sikap, perilaku, keyakinan, sosial, politik, ekonomi, maupun sains yang sesuai dengan tuntunan Allah SWT untuk manusia dan mampu berlaku bijaksana dengan amanah yang Allah SWT berikan kepada mereka.
Sains dalam tulisan ini bukan dimaksudkan sebagai akar masalah dan solusi utama terhadap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, sebab world view-lah (cara pandang terhadap Tuhan, alam semesta, kehidupan, ilmu, moralitas, agama, dan lainnya) yang menempati posisi itu, melainkan berarti sains berada dalam ketidaktepatan implementasinya serta tercabut dari makna sejatinya.
Dalam Islam, syariah ialah sumber utama dari sistem nilainya sehingga pengamalan sains dalam berbagai tindakan dan tujuan manusia mesti dipandu oleh struktur nilai menurut syariah.
Dalam sistem nilai ini, setiap tindakan manusia dinilai menjadi lima kategori berikut ini: 1) wajib; 2) sunnah atau dianjurkan; 3) terlarang atau haram; 4) tidak disukai atau makruh; dan 5) dibolehkan atau mubah.
Namun kini, di masa peradaban Barat menghegemoni dengan sains dan teknologi, umat Islam mesti mengkajinya agar tidak tersesat atau terperosok dalam kesalahan.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, sains kontemporer tumbuh dan berkembang dari pandangan bahwa alam semesta tidak tergantung pada apa pun dan kekal (tidak diciptakan), suatu sistem yang berdiri sendiri, dan berkembang menurut hukumnya sendiri.
Dengan kata lain berarti penolakan terhadap realitas dan keberadaan Tuhan. Metode-metodenya terutama ialah rasionalisme filosofis, rasionalisme sekuler, dan empirisme filosofis.
Dan tantangan dari Barat muncul dalam bentuk seperti sekularisme, neo-kolonialisme, orientalisme, postmodernisme, prularisme, liberalisme, relativisme, dan lainnya.
Kemudian, dalam periodisasi sejarah, ada masa di mana umat Islam menyebutnya sebagai masa keteladanan, sebab masa itu diisi oleh banyak orang mulia beserta kegigihan perjuangannya, terutama Rasulullah saw.
Beliau saw. senantiasa totalitas dalam melaksanakan apa yang Allah perintah dan menjauhi apa yang Allah SWT larang selaku Nabi dan Rasul-Nya.
Di sisi beliau saw. ada para sahabat yang setia mendampingi, menolong, melindungi, dan menyokong ikhtiar dan doa beliau sehingga kaum musyrik dan kaum kafir masa itu bisa memeluk Islam sebagai agamanya, meninggalkan segala bentuk kesyirikan, menghapus kejahilan dengan adab dan ilmu yang membangunkan jiwa-jiwa yang telah lama tidur dan menjadikan manusia yang sejati.
Setelah beliau kembali kepada Allah SWT, estafet dakwah diteruskan oleh para sahabat dan tampuk kepemimpinan umat Islam diamanahkan kepada Khulafaur Rasyidin, yakni Abu Bakar as-Shiddiq, kemudian dilanjut Umar ibnu al-Khaththab, lalu Utsman ibnu Affan, terakhir Ali ibnu Abi Thalib.
Pada tulisan ini, figur yang didaras ialah Umar ibnu al-Khaththab, di mana perjalanan hidup beliau banyak yang tertulis dalam berbagai literatur bahkan sudah difilmkan dan populer di kalangan umat Islam.
Melalui biografi Umar ibnu al-Khaththab, kita menemukan nilai-nilai etis untuk mengevaluasi fenomena sains masa kini yang dinilai sekuler atau menepikan/menghilangkan Tuhan dari aktivitas peradaban manusia.
Mengenal Sekilas Sosok Umar ibnu al-Khaththab
Umar ibnu al-Khaththab ibnu Nufail ibnu Abdul Uzza ibnu Riyah ibnu Abdullah ibnu Qurth ibnu Razah ibnu Adi ibnu Ka’ab. Ibunya ialah Hantamah binti Hisyam ibnu al-Mughirah ibnu Abdullah ibnu Umar ibnu Makhzum.
Umar termasuk salah seorang bangsawan Quraisy. Zaman Jahiliyyah, beliau senantiasa diutus ke luar negeri untuk diplomasi. Jika terjadi peperangan antara kabilah Quraisy dengan kabilah lain, Umar kerap kali dipilih menjadi perantara.
Kalau terpaksa bertanding, beliau sanggup mempertahankan kemuliaan dan kemegahan kabilahnya. (bersambung)/@fen/sumber: dakwatuna.com