Search
Close this search box.

VISI | Antara Kontrol Publik dan Manipulasi Informasi

Bagikan :

Oleh Aep S Abdullah

SEORANG pejabat pemerintah dengan jutaan pengikut di media sosial pernah berkata, “Kenapa saya harus berbicara dengan pers kalau saya bisa menyampaikan sendiri melalui Instagram?” Pernyataan ini, meski terdengar masuk akal, mengabaikan fungsi kontrol sosial yang dimiliki pers. Media sosial bisa membangun citra, tetapi tidak selalu mampu memberikan perspektif yang berimbang dan kredibel sebagaimana pers. Menariknya, ketika pejabat tersebut diduga tersandung kasus korupsi, media sosial yang sebelumnya menjadi alat propaganda justru tak bisa diandalkan untuk klarifikasi. Akunnya bungkam, sementara media pers mengungkap detail kasusnya kepada publik.

Pers: Pilar Demokrasi dan Pengawas Kekuasaan

Pers memiliki tanggung jawab besar dalam menyediakan informasi yang akurat dan berimbang. Setiap berita yang diterbitkan melalui media pers harus melewati verifikasi fakta, wawancara berbagai narasumber, dan pertimbangan kode etik jurnalistik. Hal ini berbeda dengan media sosial, yang lebih longgar dan tidak memiliki standar objektivitas yang sama. Pers juga memiliki peran sebagai pilar demokrasi yang mengawasi jalannya pemerintahan. Banyak kasus korupsi besar di Indonesia, seperti skandal e-KTP atau kasus Jiwasraya, pertama kali terungkap melalui investigasi media.

Media Sosial: Kebebasan Tanpa Filter

Di sisi lain, media sosial memungkinkan siapa saja untuk berbicara tanpa filter. Unggahan berupa opini, pengalaman pribadi, atau klaim sering kali tidak didukung oleh fakta yang terverifikasi. Dalam konteks korupsi, media sosial bisa menjadi alat propaganda bagi pejabat yang ingin mengendalikan narasi. Mereka dapat menciptakan citra positif, membentuk opini publik, dan bahkan menyebarkan informasi menyesatkan untuk mengaburkan skandal yang sedang terjadi.

Pers bekerja di bawah regulasi yang ketat, seperti UU Pers No. 40 Tahun 1999, dan diawasi oleh Dewan Pers. Sementara itu, pemilik akun media sosial hanya terikat pada UU ITE, yang lebih banyak mengatur tentang ujaran kebencian dan pencemaran nama baik dibandingkan akurasi informasi. Ini menciptakan risiko di mana informasi subjektif bisa menyebar luas tanpa pertanggungjawaban.

Baca Juga :  Jadwal SIM Keliling Kota Cimahi Hari Ini, Sabtu 22 Maret 2025

Ketika Koruptor Menggunakan Media Sosial

Banyak pejabat korup yang memanfaatkan media sosial untuk membentuk citra positif. Mereka sering kali membagikan unggahan yang menunjukkan kegiatan sosial atau keberhasilan program yang mereka jalankan. Namun, begitu mereka terseret kasus korupsi, pola komunikasi berubah drastis. Akun mereka mendadak sunyi atau justru diisi dengan unggahan membela diri yang minim bukti.

Kasus terbaru menunjukkan bagaimana seorang mantan kepala daerah yang aktif di media sosial tiba-tiba akun medosnya “sepi”, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah tinggalnya. Sebelumnya, ia sering memamerkan aktifitas di akun media sosialnya itu.

Pers sering kali menjadi ujung tombak dalam mengungkap skandal korupsi. Contohnya, kasus korupsi besar di Indonesia, seperti skandal BLBI dan Bank Century, tidak akan terungkap tanpa kerja keras jurnalis investigasi. Media sosial, yang lebih didominasi oleh algoritma popularitas, tidak memiliki mekanisme untuk melakukan investigasi mendalam.

Manipulasi Opini Publik di Media Sosial

Fenomena buzzer politik juga memperburuk situasi. Pejabat yang berpotensi tersangkut kasus sering kali menyewa tim media sosial untuk mengalihkan perhatian publik. Mereka menciptakan narasi tandingan, menyerang media yang memberitakan kasus mereka, dan bahkan menyebarkan hoaks untuk merusak kredibilitas pemberitaan pers.

Misalnya, dalam kasus dugaan korupsi di sebuah kementerian, laporan media mengungkap dugaan mark-up proyek. Namun, tim media sosial sang pejabat segera merilis narasi bahwa itu hanya fitnah dari lawan politik. Mereka menggunakan tagar tertentu agar narasi tandingan lebih banyak muncul di linimasa dibandingkan berita asli dari pers.

Pentingnya Literasi Digital 

Di era digital, masyarakat harus memiliki kemampuan literasi digital yang baik agar tidak mudah terpengaruh oleh manipulasi media sosial. Masyarakat perlu diajarkan cara memverifikasi informasi, memahami perbedaan antara opini dan fakta, serta mengenali pola propaganda yang sering digunakan oleh pihak yang berkepentingan.

Baca Juga :  Alex Indra Sentil 'Mahalnya' Koordinasi Soal Polemik Beras Berkutu di Bulog

Pers dan media sosial seharusnya tidak saling menggantikan, tetapi saling melengkapi. Media sosial dapat menjadi alat bagi pers untuk menjangkau audiens yang lebih luas, sementara pers tetap mempertahankan standar jurnalistik yang tinggi. Jika tidak ada keseimbangan, kita berisiko masuk ke era di mana opini yang viral lebih dipercaya daripada kebenaran yang terverifikasi.

Korupsi adalah musuh bersama, dan untuk melawannya, kita membutuhkan pers yang kuat serta masyarakat yang kritis dalam menerima informasi. Jika media sosial hanya menjadi alat propaganda, maka pers harus tetap menjadi benteng terakhir dalam mengungkap kebenaran.***

Baca Berita Menarik Lainnya :