Search
Close this search box.

VISI | Bencana dan Pendidikan: Menagih Kesadaran

Bagikan :

Oleh A. Rusdiana

  • Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung
  • Dewan Pembina PERMAPEDIS Jawa Barat
  • Dewan Pakar Perkumpulan Wagi Galuh Puseur.
  • Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Mishbah Cipadung Bandung
  • Yayasan Pengembangan Swadaya Mayarakat Tresna Bhakti Cinyasag Panawangan 

BANJIR bandang dan longsor yang melanda Sumatra pada akhir November 2025 bukan sekadar rangkaian data kelam yang memenuhi laman berita 442 orang meninggal, ratusan hilang, ratusan ribu mengungsi. Tragedi ini adalah panggilan keras bahwa ada sesuatu yang retak dalam cara bangsa ini membangun hubungan dengan alam dan, lebih jauh lagi, dalam cara kita menjalankan pendidikan.

Kita terlalu mudah menyalahkan cuaca. Hujan ekstrem, anomali monsun, atau siklon tropis Senyar sering menjadi kambing hitam. Padahal, faktor atmosfer hanyalah pemantik. Yang membuat bencana membesar adalah bentang alam yang telah lama disalahgunakan: hutan dibuka tanpa kendali, daerah resapan hilang, sungai dipersempit, dan lereng dikeruk tanpa etika lingkungan.

Fenomena ini sejalan dengan peringatan Al-Qur’an bahwa “telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia sendiri” (QS Ar-Rum: 41). Alam rusak bukan karena ia ingin rusak, tetapi karena kita mengizinkan, bahkan membiarkan, kerusakan itu terjadi.

Ketika Amdal Dipinggirkan, Kita Menabung Bencana

Kita pernah memiliki pagar etis bernama Amdal—dokumen yang dulu menjadi alat untuk memastikan pembangunan berjalan tanpa melukai ekologi. Namun perubahan melalui Undang-Undang Cipta Kerja membuat Amdal bukan lagi prasyarat untuk semua kegiatan. Ia berubah dari penilai awal menjadi sekadar instrumen pengelolaan risiko setelah izin keluar. Dalam kalimat sederhana: kita membangun dulu, baru memikirkan dampaknya kemudian.

Model seperti ini membuat ruang hidup menyusut pelan-pelan. Air tak lagi memiliki tempat meresap. Tanah kehilangan daya ikat. Sungai kehilangan kemampuan menanggung debit ekstrem. Ketika hujan turun, bencana tidak datang sebagai kejutan—ia datang sebagai konsekuensi yang kita undang sendiri. Ayat lain kembali mengingatkan: “Janganlah kalian membuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya” (QS Al-A’raf: 56). Namun pesan ini sering kalah oleh deru percepatan investasi dan logika pembangunan jangka pendek.

Baca Juga :  KUHAP Baru Dinilai Jadikan Polri “Superkuasa”, Koalisi Masyarakat Sipil Minta Revisi

Tema HGN 2025: Menguji Ketulusan Kita

Ironisnya, bencana Sumatra terjadi hampir bersamaan dengan Hari Guru Nasional 2025 yang mengusung tema “Merawat Semesta dengan Cinta.” Sebuah tema indah yang seharusnya bukan sekadar tagline, melainkan orientasi pedagogis.
Dalam pandangan Islam, manusia ditugaskan sebagai khalifah di bumi (QS Al-Baqarah: 30). Artinya, merawat alam adalah bagian dari tanggung jawab spiritual. Guru, sebagai pendidik, mestinya menjadi aktor utama yang menanamkan amanah ekologis ini kepada generasi muda.

Namun realitasnya, pendidikan kita masih terjebak pada tuntutan administratif, angka rapor, dan orientasi ujian. Guru terlalu sering dibebani laporan, bukan diarahkan menghidupkan kesadaran ekologis. Padahal guru adalah pembentuk cara pandang: bagaimana anak melihat tanah, air, pohon, dan ruang hidup semua itu dimulai dari ruang kelas.

Bencana Harus Masuk Ruang Belajar

Pendidikan kita terlalu steril dari kenyataan sosial dan ekologis yang sedang berlangsung. Murid belajar tentang iklim global, tetapi tidak memahami mengapa banjir berulang di kotanya sendiri. Mereka mempelajari struktur tanah, tetapi tidak diajak melihat dampak alih fungsi lahan. Mereka menghafal ayat tentang larangan merusak bumi, tetapi tidak pernah diberi ruang untuk mengamalkannya dalam konteks lingkungan hidup.

Saatnya menjadikan bencana sebagai bahan belajar lintas mata pelajaran: (1) IPA membedah fenomena hidrologi dan daya dukung lahan. (2) IPS mengulas relasi manusia, ruang, dan kebijakan. (3) Pendidikan Agama menanamkan etika khalifah dalam konteks lingkungan nyata. (5) Seni dan Bahasa mengajak murid mengekspresikan empati ekologis. Belajar tidak cukup dari buku; ia perlu sensasi tanah basah, suara sungai, dan kisah korban bencana.

Merawat Semesta: Bukan Program, tetapi Kesadaran

Jika tema besar tahun ini adalah “Merawat Semesta dengan Cinta,” maka pendidikan harus bergerak lebih konkret: (1) Sekolah hijau yang konsisten, bukan seremonial. (2) Pembelajaran berbasis proyek lingkungan. (3) Literasi bencana yang kontekstual, bukan formalitas modul. (4) Guru yang diberi ruang untuk mengaitkan isu lingkungan ke semua mata pelajaran.

Baca Juga :  Naura Ayu: The Frame dan Music Frame, So Cute and Aesthetic!

Karena pendidikan sejati bukan mempersiapkan murid menghadapi pasar kerja melainkan mempersiapkan mereka menghadapi kenyataan hidup dan menjaga dunia yang menjadi rumah mereka.

Kita Sedang Ditegur

Bencana Sumatra bukan sekadar tragedi alam. Ia adalah teguran moral dan pedagogis. Jika pendidikan tidak menanamkan cinta kepada semesta, generasi mendatang hanya akan mewarisi bumi yang lebih rusak daripada hari ini.

Merawat semesta bukan tugas kementerian lingkungan saja. Ini adalah tugas pendidik, tugas keluarga, tugas sekolah, tugas kebijakan, tugas nurani. Bumi tidak membutuhkan kita.

Kitalah yang membutuhkan bumi. Dan tugas pendidikan adalah mengingatkan hal itu berulang kali, sebelum bencana melakukannya untuk kita. Wallahu’alam.***

Baca Berita Menarik Lainnya :