Okeh Kawangi Akbar, S.H.
KETUA Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, dan Wakil Ketua Umum, Habiburokhman, baru-baru ini mengunjungi kediaman Rizieq Shihab, Imam Besar Front Persaudaraan Islam (FPI). Pertemuan yang berlangsung lebih dari satu jam ini menunjukkan keakraban yang erat antara kedua belah pihak.
Menjelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi, Gerindra semakin terbuka menunjukkan kedekatannya dengan FPI. Kita semua tahu bahwa FPI gagal mendapatkan izin sebagai organisasi masyarakat karena tidak memenuhi syarat yang ditetapkan. Namun, Gerindra tetap menjadi salah satu partai yang paling vokal membela FPI di parlemen. Di Komisi 3 DPR, fraksi Gerindra berani mempertanyakan kasus KM 50 yang menewaskan anggota FPI.
Politik dan Pergantian Rezim
Dalam politik, pergantian rezim sering kali membawa perubahan dalam hubungan dan agenda. Apa yang tadinya dimusuhi oleh rezim yang berkuasa, bisa saja dirangkul oleh rezim berikutnya. Ini adalah hal yang biasa dalam politik. Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, tampaknya akan mengikuti jejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan menerapkan kebijakan politik “zero enemy” atau tanpa musuh.
Dampak Kebijakan Zero Enemy
Kebijakan ini tentu memiliki konsekuensi. Upaya untuk merangkul semua golongan tidaklah gratis. Ada trade-off atau pengorbanan yang harus dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Misalnya, tidak menutup kemungkinan bahwa Rizieq Shihab akan duduk bersama Jokowi di Dewan Pertimbangan Agung. Ini bukanlah hal yang mustahil dalam politik.
Dengan kebijakan zero enemy, diharapkan polarisasi di tengah masyarakat akan berkurang, terutama di kalangan umat Islam. Semua pihak akan mendapatkan bagian dari “kue” kekuasaan. Namun, semua ini akan berjalan baik jika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) surplus dan pertumbuhan ekonomi mencapai target yang dijanjikan oleh Prabowo-Gibran sebesar 8%. Jika tidak, cerita akan berbeda. Rakyat yang lapar tidak bisa diajak berkompromi.
Pelajaran dari Politik
Ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari fenomena ini. Dalam politik, kita tidak boleh membenci atau mencintai secara berlebihan. Fanatisme yang permanen hanya akan membawa kekecewaan ketika melihat tokoh atau partai yang kita junjung ternyata mesra dengan pihak yang kita benci. Politik adalah tentang kompromi dan adaptasi.
- Kawangi Akbar, S.H., Humas LTN NU Kab Bandung