Search
Close this search box.

VISI | Jujur di Negeri Sendiri

Drajat

Bagikan :

Oleh Drajat

  • Doktor Ilmu Pendidikan
  • Wasekjen Komnasdik
  • Hipnoterapis
  • Mindshaper Idonesia
  • Guru SMP N 1 Cangkuang, Kab. Bandung
  • APKS PGRI Prov. Jabar

DI NEGERI ini, orang pintar bukan barang langka. Seminar, lomba inovasi, dan ajang-ajang penghargaan selalu diwarnai wajah-wajah cerdas yang membanggakan. Statistik pendidikan pun mencatat ribuan lulusan terbaik lahir dari kampus-kampus terkemuka. Namun, ada satu hal yang lebih mahal dari sekadar kepintaran—kejujuran. Dan ironisnya, inilah barang paling sulit ditemukan.

Kejujuran di negeri ini seperti permata yang disembunyikan di dasar laut terdalam: ada, tetapi jarang disentuh—bahkan oleh negara yang seharusnya menjadi pelindungnya. Saking langkanya, mereka yang jujur sering tidak terlihat, atau sengaja dibuat tidak terlihat. Lebih menyedihkan lagi, ada kalanya orang jujur yang mencoba berdiri tegak tiba-tiba ditarik jatuh, digiring masuk dalam lingkaran masalah yang bahkan bukan ia ciptakan.

Fenomena ini bukan sekadar cerita. Ia nyata. Ia hidup. Ia menjadi luka kolektif bangsa.

Mari kita ingat satu kisah—yang tentu bukan satu-satunya—tentang seorang diaspora terbaik negeri ini. Ia diminta pulang, dipanggil dari luar negeri, dari kenyamanan karier global yang mapan. Alasannya mulia: menolong salah satu BUMN yang sakit, hampir roboh, dan kehilangan arah. Ia datang dengan niat baik, dengan integritas, dengan rekam jejak yang tidak bisa dibohongi.

Hasilnya? Angka kinerja membaik. Kerugian ditekan. Kebocoran ditutup. Keberanian memberantas praktik busuk yang sudah lama berakar membuat banyak pihak tersentak. Tetapi justru di situlah tragedi bermula—bukan berakhir.

Lalu semua prestasi dilipat, semua kebaikan dipelintir, dan ia dilempar sebagai kambing hitam dari masalah yang telah terjadi jauh sebelum ia datang.
Negeri ini — entah kenapa — sering tampak seperti negeri dongeng yang dihuni bandit. Mereka yang merusak justru berkuasa. Mereka yang membersihkan malah dicurigai. Orang yang mencerahkan ruangan dianggap mengganggu gelapnya kamar para petinggi.

Baca Juga :  Jadwal SIM Keliling Kota Cimahi Hari Ini, Sabtu 22 November 2025

Tidak heran jika banyak orang jujur kini memilih diam. Bahkan tiarap.

Mereka khawatir, bila terlalu menonjol, ada tangan-tangan tak terlihat yang mendorong mereka ke lubang yang sama.
Kita kerap bertanya, “Mengapa Indonesia sulit berbenah?” Jawabannya sederhana: karena integritas tidak diberi ruang.

Di banyak lembaga, termasuk institusi pendidikan, kejujuran pun sering tidak dihargai sebagaimana mestinya. Kita tahu bagaimana di balik jargon “merdeka belajar” atau “reformasi pendidikan”, masih bersarang oknum-oknum yang menjadikan sektor ini sebagai ladang basah.

Tidak jarang para guru terbaik enggan naik menjadi kepala sekolah. Banyak yang berkata terus terang: “Saya takut. Jangan-jangan nanti sekolah dijadikan ATM para pejabat di atasnya.”

Pernyataan itu terdengar pahit. Tetapi siapa yang bisa menyalahkan? Di beberapa daerah, praktik-praktik ilegal, permintaan setoran, intervensi proyek, hingga permainan anggaran masih terjadi. Dan bila seorang pemimpin sekolah menolak? Ia diintimidasi, dimutasi, atau dipersulit proses administratifnya.

Bagaimana mungkin pendidikan bisa maju jika lingkungan yang harusnya menjadi teladan justru tersangkut korupsi?

Kadang kita merenung: mengapa justru di tanah kelahirannya sendiri, orang jujur merasa menjadi warga kelas dua?

Negeri ini seperti mencintai kepintaran, tetapi takut pada integritas.

Negeri ini bangga pada inovasi, tetapi alergi pada kejujuran. Negeri ini haus prestasi, tetapi benci pada orang yang berani membongkar borok.
Banyak anak muda akhirnya berpikir, “Untuk apa jujur kalau yang jujur hidupnya susah dan yang tidak jujur malah sukses?”

Ini sangat berbahaya. Bukan hanya bagi moral bangsa, tapi bagi masa depan kita. Bila kejujuran tidak dilestarikan, tidak dihargai, dan tidak dilindungi, maka ia akan punah—dan bangsa ini akan tumbang.

Pendidikan

Satu hal yang masih kita percaya adalah pendidikan. Itu pun dengan catatan: bila benar-benar bersih. Karena pendidikan adalah jalan panjang menuju kemuliaan, tempat di mana karakter dibentuk, bukan hanya pengetahuan diajarkan.

Baca Juga :  PPPK Paruh Waktu Kota Sukabumi Dikontrak 1 Tahun, Perpanjangan Tergantung Kinerja

Tetapi mari jujur: dunia pendidikan tidak sepenuhnya steril. Di sini pun ada yang merusak marwah profesi. Ada oknom yang terpaksa berurusan dengan proyek. Ada kepala sekolah yang ditekan untuk menyetor. Ada pejabat pendidikan yang memanfaatkan jabatan sebagai mesin uang.

Inilah alasan mengapa banyak guru terbaik menolak naik jabatan.

Bukan karena tidak mampu. Bukan karena tidak mau memimpin.

Tetapi karena takut terseret dalam arus kotor yang sudah mengakar.

Jika pendidikan sebagai tulang punggung bangsa saja tidak bebas dari praktik korup, bagaimana kita bisa berharap melahirkan generasi berintegritas?
Pertanyaan selanjutnya kini jelas: mulai dari mana perbaikan dilakukan? Jawabannya sederhana, tetapi butuh keberanian politik: Pertama, negara harus hadir melindungi kejujuran. Tidak cukup dengan pidato. Tidak cukup dengan slogan.

Perlu kebijakan nyata, perlindungan hukum tegas, dan keberpihakan tanpa kompromi pada siapapun yang terbukti berintegritas.

Kedua, reformasi pendidikan harus menyasar moral, bukan hanya sistem. Selama pendidikan masih berkutat pada administrasi dan proyek, selama itu pula ia tidak akan menyentuh inti persoalan.

Ketiga, orang jujur harus diberi ruang aman untuk bekerja. Bukan dimusuhi. Bukan dikorbankan. Bukan dijadikan tumbal ketika kepentingan politik berubah.
Berikutnya, pemimpin harus berhenti memberi janji pepesan kosong. Kepemimpinan tanpa kejujuran hanyalah panggung sandiwara.

Seharusnya, negeri ini menjadi tempat yang ramah bagi mereka yang bekerja dengan hati, bukan sarang jebakan bagi orang yang ingin memajukan bangsa. Tetapi selama orang jujur masih lebih sering jatuh daripada dibantu berdiri, selama itulah bangsa ini masih berjalan terseok-seok.

Kejujuran tidak boleh menjadi kutukan. Integritas tidak boleh membuat seseorang buntung. Dan negara tidak boleh terus-terusan absen dari tanggung jawab moralnya.
Sebab bila orang jujur punah, maka masa depan bangsa ikut musnah. Semoga suatu hari nanti, di negeri ini, jujur tidak lagi menjadi risiko—tetapi menjadi kehormatan.***

Baca Berita Menarik Lainnya :