Oleh Aep S Abdullah
KIAI, sebuah sebutan bagi seorang alim ulama atau orang yang cerdik, berilmu tinggi dan pandai dalam agama Islam. Sebutan Kiai juga ditujukan untuk orang yang dituakan atau orang yang dianggap tahu banyak hal oleh warga setempat. Panggilan kiai, merupakan panggilan kehormatan yang dikenal di pulau Jawa. Panggilan tersebut bahkan sudah ada sebelum Islam masuk ke tanah Jawa.
Dalam literatur “Pesantren dan Kiai” karya Cak Nur, disebutkan bahwa kiai adalah penjaga warisan budaya pesantren. Mereka menjadi pilar dalam menjaga keberlangsungan nilai-nilai keislaman tradisional.
Kemanpuannya beradaptasi dengan nilai-nilai budaya lokal menjadi kelebihan seorang Kiai dalam mengajak amar ma’ruf nahyi munkar, menjadi penyebar Islam di tanah Jawa, cepat berakulturasi antara nilai-nilai keislaman yang mereka bawa dengan budaya Jawa. Maka, ketika mereka dihormati oleh warga setempat tidak dipanggil ustadz sebagaimana di Timur Tengah untuk panggilan terhadap orang yang ngerti masalah agama atau tinggi ilmu agamanya, tapi lebih senang dipanggil Kiai. Mereka juga tidak mengenakan gamis dan simagh, tapi lebih bangga pakai kopiah, baju koko dan sarungan atau celana pangsi.
Karenanya, orang yang paham agama akan rikuh dan kikuk kalau dipanggil kiai atau ustadz kalau bacaan Al Fatihahnya saja belepotan, tajwidnya belum benar, belum paham musthola hadist, tidak tahu nahu sharaf, apalagi kitab kuning atau kitab gundul.
Adab Kiai
Dalam bukunya “Etika Kiai” karya KH. Abdul Aziz Nashir, dijelaskan bahwa peran kiai dalam pendidikan tidak hanya terfokus pada aspek keagamaan, tetapi juga melibatkan pembinaan karakter dan moral. Seseorang yang dipanggil Kiai biasanya sudah khatam kitab Ta’lim al-Muta’allim, kitab panduan adab dan etika. Imam Ibnu al-Mubarak mengatakan, “Kita lebih membutuhkan adab (meskipun) sedikit dibanding ilmu (meskipun) banyak” (Syekh Syatha Dimyathi al-Bakri, Kifâyah al-Atqiyâ wa Minhâj al-Ashfiyâ, Dar el-Kutub al-‘Ilmiyah, h. 262).
Keteladanan dalam etika dan adab ini kerap menjadikan seorang Kiai dihormati oleh lingkungannya. Ia dijadikan panutan, teladan, oleh masyarakat. Dulu, apa yang dikatakan oleh Kiai di dengar oleh masyarakatnya, melebihi pemimpin formal.
Dalam bukunya “Manajemen Pesantren”, KH. Abdullah Gymnastiar, menilai bahwa kiai juga sering menjadi pemimpin masyarakat setempat, memberikan pandangan dan arahan dalam hal-hal keagamaan dan kemasyarakatan.
Maka, kalau saat dalam kebimbangan masa depan kiprahnya di dunia politik, menjelang Pilkada Tahun 2019 lalu, H.M. Dadang Supriatna melangkahkan kaki datang ke Alm. KH Asep Jamaludin, di Kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bandung, langkahnya itu seperti ada dalam bimbingan Allah SWT.
“Kang DS, apa cita-citanya kalau jadi bupati?, ” ungkap Bupati Dadang Supriana mengenang pertemuannya dengan Ketua PCNU itu saat tahlilan hari ke-3 di rumah Alm. Kiai Asep Jamaludin.
“Saya bercita-cita ingin menghormati ulama, dan Alhamdulillah, saya akhirnya mendapat support dari beliau, hingga jadi bupati,” ungkap pria yang akrab disapa Kang DS ini.
Sebetulnya bukan hanya Kang DS yang menjadikan Kiai sebagai rujukan kalau sedang menghadapi masalah berat. Di Kabupaten Bandung ada beberapa Kiai yang sering didatangi para politisi lokal maupun nasional sebenarnya, tapi mereka tidak mau di publish. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa Kiai dijadikan sandaran untuk menapaki tantangan hidup ke depan, atau saat mereka sedang mendapat masalah. Kata Ustad Akbar, sahabat saya, “Sok lihat keberkahan orang yang dekat dengan Kiai dan yang tidak. Pasti akan terlihat berbeda”.
Tantangan Modernisasi
Dalam literatur “Pesantren dan Tantangan Modernitas” karya Dr. M. Quraish Shihab, dijelaskan bagaimana kiai berhadapan dengan tantangan modernisasi, mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan kebutuhan masyarakat modern.
Kiai kekinian – seperti juga Kiai jaman dulu – jangan pernah berhenti belajar dengan budaya dan peradaban baru supaya Kiai tetap muda dalam wawasan keilmuan. Bisa berinteraksi dan “nyambung” dengan generasi kolonial hingga milenial. Mereka tetap menjadi rujukan kembali ke jalan yang benar, kalau “tersesat” dalam budaya modern.
Rujukan Toleransi
Ada ungkapan, semakin dalam keilmuan seseorang maka akan semakin bijaksana. Semakin toleran. Begitu juga seorang Kiai akan punya banyak perspektif, punya banyak sudut pandang dalam melihat sebuah permasalahan yang ada di masyarakat. Seorang Kiai yang luas keilmuannya, tidak emosional. Figur-figur seperti KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Begitu juga KH Syaikhona Muhammad Cholil atau Mbah Cholil pendiri pesantren Kademangan Bangkalan Madura, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Syamsul Arifin, KH Muhammad Siddiq Jember, KH Hasyim Padangan Bojonegoro, dan KH Umar Dahlan, Sarang Rembang. Dari sejarahnya, mereka memecahkan masalah dengan kedalaman wawasan dan kemampuan spiritual, bukan emosional.
Menurut Kiai Haji Hasyim Muzadi dalam bukunya “Islam, Dialog, dan Kebangsaan”, Kiai juga memiliki peran strategis dalam membangun dialog antar agama, menciptakan harmoni dan toleransi di tengah masyarakat yang beragam.
Dalam Politik
Dalam “Politik Kiai” karya Dr. M. Dawam Rahardjo, banyak dikupas mengenai peran kiai dalam dunia politik. Ia menggarisbawahi prinsip-prinsip keadilan dan keberpihakan kepada rakyat yang dikedepankan Kiai dalam konteks sistem politik.
Seiring dengan banyaknya Kiai yang dilibatkan dalam berpolitik, Kiai yang tawadhu KH Ahmad Syafi’i Maarif mengkritisinya melalui buku yang ia tulis, “Kiai dan Kritik Sosial”. KH Ahmad Syafii Maarif memiliki pemikiran kritis terhadap beberapa perilaku kiai yang dianggap kontroversial. Diantaranya ada oknum Kiai yang menjual ayat-ayat Al Quran dan Hadist untuk digunakan mencapai tujuan syahwat politiknya.
Dalam Ekonomi
Dalam “Ekonomi Pesantren” karya KH Din Syamsuddin, ditegaskan bahwa kiai tidak hanya berfokus pada aspek keagamaan, tetapi juga memiliki pandangan ekonomi yang berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat.
Maka secara keseluruhan, literatur-literatur tersebut menggambarkan bahwa peran kiai sangat kompleks dan beragam. Dari pesantren hingga dunia politik dan ekonomi, kiai menjadi tokoh sentral yang memiliki dampak besar dalam membentuk karakter dan arah pembangunan masyarakat.
Ke depan semoga muncul Kiai-kiai yang berwawasan luas, tawadhu, banyak memberikan teladan kebaikan dan berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lahir maupun bathin, bukan tumbuh subur Kiai kaleng-kaleng. ***