Oleh Miftahussalam
KETERLIBATAN Nahdlatul Ulama (NU) dalam pusaran politik pasca-kemerdekaan tidaklah mudah. Hal ini disebabkan adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh kelompok Islam konservatif maupun dari komunisme yang terwujud dalam bentuk Partai Komunis Indonesia (PKI).
NU berpandangan bahwa pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara harus diiringi dengan nilai-nilai agama. Ormas Islam ini tidak merekomendasikan sama sekali negara berdasarkan · formalisme agama. Oleh karena itu, meskipun masuk dalam golongan atau faksi Islam dalam sidang Majelis Konstituante, NU sepakat Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara dengan dijiwai Piagam Jakarta.
Ketentuan menjalankan syariat Islam seperti tertuang dalam Piagam Jakarta cukup hanya menjiwai dasar negara, bukan sebagai dasar negara itu sendiri. Oleh karena itu, kehidupan berbangsa dan bernegara tetap dijiwai oleh nilai-nilai agama Islam dan spiritualitas secara umum
Pada rentang 1957-1959, Majelis Konstituante memang
sedang membahas rancangan dasar negara. Saat itu PKI masuk dalam faksi Pancasila. Namun, dasar negara Pancasila yang PKI perjuangkan hanya merupakan kedok politik semata kareba yang diperjuangkan justru materialisme historis yang ateis.
K.H. Saifuddin Zuhri dalam bukunya bertajuk “Berangkat dari Pesantren” (LKIS, 2013) mengungkapkan bahwa Ketuhanan Maha Esa yang termaktub dalam sila pertama dalam Pancasila
yang ingin diubah menjadi “Kemerdekaan Beragama” oleh PKI, padahal hal tersebut merupakan esensi dasar demokrasi Pancasila.
Pemerintah Indonesia menganjurkan setiap warga negara memeluk agama dan menjalankannya berdasar keyakinan masing- masing. Upaya penjajahan dalam bentuk lain yang dilakukan PKI, pertama bisa dilihat dari usaha penetrasi ideologi komunis.
Kedua, PKI melakukan pemberontakan fisik. Upaya yang dilakukan PKI menelan banyak nyawa, termasuk dari kalangan NU yang sejak awal berjuang melawan ideologi komunis. NU melakukan perlawanan terhadap PKI di medan politik dan di lapangan selama kurun waktu 17 tahun.
Dalam perhelatan Hari Lahir NU ke-39 di Jakarta, K.H. Idham Chalid mengatakan bahwa politik non-komunis atau anti- komunis yang dijalankan NU tidak hanya untuk menghadapi komunisme saja, tetapi NU akan berhadapan dengan segala bentuk la diniyun (sekularisme) dan segala bentuk zanadiqoh (ateisme) karena keduanya merupakan satu kesatuan sebagai musuh NU. (Lihat Verslaag Muktamar ke-22 NU tahun 1959 di Jakarta, dalam Abdul Mun’im DZ).
Jauh sebelumnya, pendiri NU, K.H. Hasyim Asy’ari pada 1947 mengingatkan bahaya ajaran materialisme historis yang ateis itu bagi bangsa Indonesia, karena konsep yang sedang dikembangkan secara gencar oleh PKI yaitu menyerukan pengingkaran terhadap agama dan pengingkaran terhadap adanya akhirat. (Lihat Naskah Khotbah Iftitah KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar ke-14 NU di Madiun tahun 1947).
Terkait strategi dalam menghadapi PKI itu telah ditegaskan kembali oleh K.H. Saifuddin Zuhri (2013: 502) dalam sebuah tulisannya yang menyatakan, “Dengan dalil agama sebagai unsur
PKI di mana-mana. Bahkan, kita bisa menumpas segala bentuk ateisme, baik ateisme yang melahirkan komunisme maupun ateisme yang melahirkan kapitalisme, liberalisme, atau fasisme. Setiap ideologi yang berbahaya tidak hanya bisa dilawan dengan kekerasan dan senjata, tetapi juga harus dihadapi dengan kesadaran beragama”.
Karena sejak awal sudah memahami gerak-gerik PKI dengan komunismenya, tidak sulit bagi NU untuk mengidentifikasi siapa dalang dari pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G30S) di Madiun, serta beberapa daerah lainnya berupa melakukan penculikan dan perbuatan sadis lainnya. Sebab saat itu, belum banyak yang mengetahui siapa dalang bughot tersebut. NU mengidentifikasi bahwa percobaan perebutan kekuasaan melalui pemberontakan fisik didalangi oleh PKI. Oleh karena itu, pada 3 Oktober 1965, ketika banyak orang belum mengetahui siapa dalang G30S, NU telah menuntut agar pemerintah membubarkan PKI.
A. Peran Ulama NU dalam Memberantas PKI
Para ulama NU mempunyai andil besar dalam gerakan memberantas PKI beserta simpatisannya di Indonesia. Bagi ulama, PKI itu wajib ditumpas hingga ke akar-akarnya karena tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945. Anehnya, setelah Indonesia merdeka, PKI merupakan partai terbesar setelah Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan partai Nahdlatul Ulama (NU).
Pada 5 Oktober 1965, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta mengeluarkan “Resolusi Mengutuk Gestapu”, suatu surat pernyataan yang berisi sikap resmi NU dalam menanggapi G30S (Gerakan 30 September) dan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Surat pernyataan tersebut di antaranya ditandatangani oleh K.H. Masjkur (Rois Syuriyah), K.H. M. Dachlan (Ketua I PBNU), dan K.H. Achmad Sjaichu (Ketua 11 PBNU) dengan keterangan K.H.
Yusuf Hasyim sebagai pembawa draft surat.
Kini, surat bersejarah ini sudah banyak dilupakan. Bahkan, tidak banyak diketahui oleh generasi NU hari ini, padahal, jika ingin mengetahui lebih persis bagaimana NU berperan dalam kekerasan 1965, kita mesti mau tak mau mempelajari dokumen penting ini dengan aksi-aksi warga NU di daerah. dan sejarahnya, serta konteks historisnya yang berkaitan erat dengan aksi-aksi warga NU di daerah.
Pada 3 Oktober 1965, tepat dua hari sebelum diumumkannya Resolusi PBNU tersebut, di Demak Jawa Tengah, G.P. Ansor dan Banser dilaporkan melakukan “operasi pembasmian” terhadap tokoh-tokoh PKI setempat, setelah menemukan sebuah dokumen berisi daftar beberapa ulama atau kiai di seluruh Demak yang hendak diculik dan dibunuh oleh PKI (Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, 1985, hlm. 244-245).
Seperti dilaporkan oleh Chairul Anam, disebutkan bahwa di Banyuwangi Jawa Timur, misalnya, kader PKI mengepung dan membunuh beberapa tokoh NU dan G.P Ansor yang direaksi oleh Ansor dengan pertempuran berdarah yang membawa korban jiwa sebanyak 40 anggota G.P. Ansor.
Meskipun di daerah ada aksi yang mendahului surat pernyataan “RESOLUSI MENGUTUK GESTAPU” yang dikeluarkan oleh PBNU, hal tersebut tetap tidak menghilangkan arti penting secara politis surat resmi PBNU di atas dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa susulan di daerah dalam memberantas PKI dan
simpatisannya.
Surat pernyataan PBNU tersebut secara institusional telah menyeret NU ke dalam pusaran kekerasan 1965, yaitu:
Pertama, secara internal surat itu menjadi basis legitimasi warga NU dalam melakukan pembasmian terhadap kader-kader PKI di daerah, terlepas dari apakah mereka dapat mengaksesnya secara langsung atau mendapat pesan ‘substansial’-nya melalui interpretasi para tokoh NU yang memberikan instruksi atau komando, atau yang mengorganisir suatu strategi bagi operasi
tertentu di lapangan.
Kedua, secara eksternal, surat itu telah menyediakan suatu landasan tertulis bagi konsolidasi dan mobilisasi di lingkungan berbagai ormas Islam lainnya untuk mengambil langkah non- kompromistis terhadap PKI dan massanya. Secara de facto saat itu NU merupakan satu-satunya ormas Islam yang eksis dalam kepartaian maupun secara politis-kultural dengan jumlah massa terbanyak. Peran terkemuka NU dibanding ormas-ormas Islam lainnya saat itu memberikan suatu legitimasi sosial-politis sendiri, sehingga setiap langkah NU akan dibaca dan diinterpretasikan sebagai suatu langkah penting yang perlu diambil oleh umat Islam di Indonesia.
Ketika NU pada akhirnya mengeluarkan surat pernyataan sikapnya di atas maka tidak tertahan lagi terjadinya konfrontasi antara kelompok-kelompok Islam dan PKI. Demikian sentralnya peran NU maka bisa dipahami apabila NU merupakan pihak pertama di antara berbagai ormas Islam yang ada dalam keterlibatannya dengan Peristiwa 1965 dan merintis usaha-usaha rekonsiliasi (islah) dengan para korban 1965 beberapa dasawarsa kemudian.
B. Peran Ulama NU dalam Pemberantasan Pemberontakan PKI di Madiun
Sejarah terkait dengan pemberontakan PKI di Indonesia, tidak hanya terjadi pada 1965, tetapi terjadi jauh sebelumnya yaitu pada 1948. Pada saat itu, para ulama khususnya dari kalangan NU mempunyai peran penting dalam aksi menumpas PKI. Salah satunya, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, ulama, dan pahlawan nasional Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. yang membesarkan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah,
Dalam buku bertajuk “K.H. R. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya”, Hasan Basri menjelaskan bahwa kala itu Situbondo juga dilanda aksi-aksi sepihak PKI dan selanjutnya dilakukan kontra aksi pengganyangan yang dilakukan oleh kaum santri. Sebagai ulama senior yang saat itu menjabat sebagai Syuriah NU Cabang Situbondo dan juga sebagai penasehat pribadi Perdana Menteri, Idham Chalid, beliau selalu mengadakan kontak dengan Jakarta untuk mendapatkan konfirmasi yang benar terkait dengan situasi politik secara nasional.
Ketika peristiwa berdarah G30S/PKI meletus, kekuatan NU terbilang sangat solid. Hampir seluruh ulama NU di seluruh Indonesia menjadi rujukan dan legitimasi bagi penumpasan antek- antek PKI, termasuk K.H. R. As’ad.
Menurut keterangan saksi hidup di Situbondo, peran K.H. R. As’ad saat itu sangat menentukan. Hampir semua gerakan penumpasan baik oleh ABRI maupun gerakan anti-PKI, terlebih dahulu mendapat konfirmasi beliau. Tokoh NU ini mengutuk keras PKI yang selalu menjadi biang kerok pemberontakan.
“Semua ini ulah PKI. PBNU harus mendesak pemerintahan agar membubarkan PKI,” kata K.H. R. As’ad, seperti dikutip dari buku tersebut.
C. Cara NU Mengidentifikasi Dalang Pemberontakan PKI
Pemberontakan PKI dalam rentang 1948-1965 merupakan peristiwa tragis bagi bangsa Indonesia. Selain menyebabkan banyak nyawa rakyat tak bersalah melayang, tetapi juga menjadi catatan hitam bagi demokrasi yang menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan.
Berikut adalah beberapa cara yang digunakan oleh NU
dalam proses identifikasi ini:
1. Pengumpulan Informasi dan Intelijen
Melalui jaringan anggotanya yang luas, termasuk di desa- desa dan komunitas lokal, NU mampu mengumpulkan informasi tentang aktivitas dan keberadaan anggota PKI. Anggota NU sering kali memiliki akses langsung ke informasi dari masyarakat yang mempercayai mereka, memungkinkan pengumpulan data mendetail tentang siapa saja yang terlibat dalam kegiatan PKI.
2. Koordinasi dengan Militer dan Pemerintah
NU bekerja sama erat dengan militer, terutama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam upaya mengidentifikasi dalang PKI. Informasi yang dikumpulkan oleh anggota NU sering kali diserahkan kepada pihak militer yang kemudian melakukan operasi penangkapan. Koordinasi ini memastikan bahwa informasi intelijen yang dimiliki NU dapat digunakan secara efektif dalam operasi keamanan.
3. Penggunaan Daftar Hitam
NU bersama militer menggunakan daftar hitam yang berisi nama orang-orang yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI. Daftar ini disusun berdasarkan laporan dari masyarakat, informasi intelijen, dan data yang diperoleh dari penggerebekan. Daftar ini menjadi panduan utama dalam operasi penangkapan dan dap anggota PKI.
4. Pemeriksaan dan Interogasi
Setelah penangkapan, tersangka anggota PKI sering kali dibawa ke pos-pos militer atau markas G.P. Ansor untuk diinterogasi. NU, melalui sayap semi-militernya yaitu Banser terlibat dalam proses interogasi ini. Mereka menggunakan metode interogasi yang intensif untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang struktur organisasi dan rencana PKI.
5. Pelibatan Tokoh Masyarakat dan Ulama
NU melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan ulama setempat dalam proses identifikasi. Para ulama sering kali memiliki pengaruh dan otoritas moral yang tinggi di komunitas mereka, memungkinkan mereka untuk mendapatkan informasi yang mungkin tidak bisa diperoleh melalui cara lain. Keterlibatan ulama juga membantu memastikan bahwa tindakan yang diambil memiliki legitimasi di mata masyarakat.
6. Penggunaan Rapat dan Pertemuan Lokal
NU mengadakan rapat-rapat dan pertemuan di tingkat lokal untuk mendiskusikan ancaman PKI dan mengidentifikasi anggota PKI di daerah mereka. Pertemuan ini sering kali diadakan di masjid, pesantren, atau rumah-rumah anggota NU, di mana masyarakat dapat memberikan informasi secara anonim tentang aktivitas PKI.
- Drs. H. Miftahussalam, M.Si. adalah Ketua MWC NU Kec. Margahayu, dan Pembina MT. Majelis Ilmu Qolbun Salim
- Sumber: Buku “Peran Nahdlatul Ulama dalam Menumpas G30S/PKI” – Mengungkap Fakta Sejarah.