Oleh Aep S Abdullah
BICARA korupsi yang pada 9 Desember 2023 besok, akan diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia), menarik untuk mengungkap cerita undercover dari oknum pejabat dan oknum aparat penegak hukum (APH)-nya.
Seorang pejabat eselon dua, yang dulu penampilannya cukup flamboyan, mobil pribadinya keluaran terbaru, setelah pensiun langsung drop. Lima tahun setelah pensiun, saat ketemu di sebuah acara resepsi pernikahan, tampilannya sudah tidak menyisakan lagi sebagai eks pejabat, lusuh dan tak berwibawa. “Pak, saya ini sudah tidak punya apa-apa lagi. Teraktir, hanya tinggal mobil Kijang tua satu-satunya harus diberikan ke APH,” keluhnya dengan nada memelas. Terakhir dikabarkan ia sudah wafat.
Seorang oknum pejabat, juga mantan pejabat eselon dua di sebuah instansi “basah” di provinsi, setelah pensiun malah “hilang” dilarikan istri mudanya. Padahal ia tinggal menikmati hidup, di sebuah rumah mewah di komplek perumahan Jalan Soekarno Hatta Bandung. Ia “diculik” karena belum memenuhi janjinya membelikan rumah dan mobil. “Ternyata kang, si bapak ini dulunya setiap ditugaskan di daerah punya istri dan ada yang punya anak. Setiap istrinya itu, dibelikan rumah dan mobil. Yang di Soreang ini si bapaknya keburu pensiun. Rumahnya masih rangkai dan belum di beri mobil yang dijanjikan. Jadi, mobil dan si bapaknya dicuri sama wanita itu, yang ngontrog ke sini, ” ungkap istrinya.
Bahkan, ada cerita soal mantan-mantan pejabat yang dulunya berlimpah harta yang didapat dengan segala cara, akhirnya habis. Ada yang tertipu oleh investasi bodong, ditipu rekannya yang ngajak usaha, mobilnya ada yang mencuri, uang pensiunnya habis untuk cicilan bank, uang di banknya ludes oleh phishing, anaknya tidak ada yang mandiri, kemudian stres dan depresi.
***
Tapi sebenarnya banyak pejabat, terutama di instansi “basah” tak berniat korupsi. Seorang pejabat setingkat kabid pernah mengatakan bahwa sistemlah yang memaksanya untuk memotong jatah dari setiap proyek pengadaan barang dan jasa milik pemerintah. Kalau dia tidak melakukan itu, malah proyek tidak akan jalan.
Alasannya, masih banyak oknum aparat penegak hukum baik di kepolisian maupun kejaksaan yang orientasinya bukan mendorong pejabat untuk tidak korupsi, malah bisa sebaliknya.
Ia bercerita, saat seorang penanggung jawab pengadaan barang dan jasa pemerintah dipanggil oknum APH, banyak yang gemeteran, bahkan sampai terjatuh-jatuh berkas tebal-tebal yang akan diperiksa oleh penyidik. Padahal, ia sudah melakukan pekerjaan sesuai standar operasional prosedural (SOP). Akhirnya di tahan juga.
Tapi, kata dia, karena tahu substansi pemeriksaan itu bukan ke pekerjaan, ia dengan mudah “menyelesaikannya”. Katanya, “Saya biasanya, datang sehari sebelum waktu yang diminta di surat panggilan itu, dan diselesaikan pada saat itu. Sehingga besoknya tinggal datang sesuai surat panggilan untuk formalitas saja. Bawa hanya dua tiga lembar laporan pekerjaan, sebentar selesai dan pulang,” ungkapnya. “Tapi, untuk menyelesaikan itu tentu uangnya tidak sedikit dan dari mana kalau bukan dari para rekanan pemenang tender. Saya tidak mungkin mengeluarkan dari gaji dan tunjangan yang tidak seberapa itu”.
Jadi, katanya, mustahil korupsi bisa hilang kalau masih banyak oknum APH yang tak punya integritas dalam menekan angka korupsi. Oknum APH melakukan itu, katanya, mungkin juga karena tekanan dari oknum di instansinya juga yang punya kewenangan lebih besar. Selama sistemnya seperti ini, ia pesimis korupsi bisa diberantas.
Bahkan, soal korupsi ini ada cerita lucu. Dulu, ada oknum pejabat eselon dua yang ketika ada anak buahnya dipanggil APH, dan menggigil, ia malah terlihat santai. “Tenang, dibalik musibah ada berkah,” katanya sambil tersenyum.
Pejabat itu memanfaatkan panggilan APH untuk “diselesaikan” secara tanggung renteng dari semua para kepala satuan unit. Nilainya biasanya sudah dipatok untuk masing-masing kepala unit.
Akhirnya, dari uang yang terkumpul, 50 persennya diberikan ke oknum APH, dan dia bisa mengantongi “berkah” uang sisanya yang 50 persen lagi.
Kelemahan sistem juga bukan hal yang mudah untuk diperbaiki. Tidak cukup oleh pemegang kekuasaan di tingkat daerah tapi harus ada kesungguhan dan integritas dari semua instansi pusat. Kalau tidak, pemberantasan korupsi hanya cerita yang bisa dibukukan berjilid-jilid dan banyak seri. Juga patut difikirkan untuk melahirkan buku best seller, “Mati Ketawa Cara Koruptor”.***