Search
Close this search box.

VISI | Membangun Ketahanan Ekonomi Pesantren: Strategi Menghadapi Tantangan

Bagikan :

  • Dari koperasi kecil hingga jejaring nasional — pesantren menapaki jalan kemandirian ekonomi dengan strategi yang berkelanjutan.

Oleh Nuslih Jamiat, S.E., M.M.

  • Dosen Telkom University
  • Center of Excellence for MSME Halal, Telkom University

PESANTREN kini tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan dan dakwah, tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan ekonomi yang tumbuh dari akar masyarakat. Berdasarkan data Kementerian Agama (2025) mencatat ada lebih dari 40 ribu pesantren aktif di Indonesia, dan sebagian mulai membangun unit-unit usaha berbasis potensi lokal, antara lain seperti pertanian, peternakan, dan koperasi santri. Semangat ini sejalan dengan arah kebijakan Program Kemandirian Pesantren yang digagas pemerintah, bertujuan menumbuhkan pesantren yang tidak bergantung pada bantuan, tetapi mampu mandiri secara finansial dan sosial.

Namun perjalanan menuju kemandirian tersebut tidaklah mudah. Banyak pesantren menghadapi berbagai tantangan klasik, antara lain: keterbatasan modal, literasi manajemen yang rendah, serta minimnya akses pasar dan teknologi digital. Untuk itu pentingnya menerapkan strategi ketahanan ekonomi yang berfokus pada tiga aspek utama: tata kelola kelembagaan yang baik, penguatan kapasitas sumber daya manusia, dan sinergi kemitraan antara pesantren, pemerintah, dan sektor swasta. Pendekatan ini menegaskan bahwa kemandirian bukan berarti berdiri sendiri, melainkan mampu membangun jejaring yang saling menguatkan antar pesantren dengan pemangku kepentingan dan masyarakat sekitarnya.

Berikut ini adalah salah satu contoh sukses dapat dilihat pada Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor. Pesantren ini telah lama menjadi ikon kemandirian ekonomi dengan lebih dari 30 unit usaha produktif, mulai dari peternakan, pertanian organik, konveksi, hingga air minum dalam kemasan. Semua usaha ini dikelola santri dan alumni di bawah bimbingan pengasuh pesantren. Berdasarkan laporan Bank Indonesia (2024) dan situs resmi pesantren, pendapatan dari unit usaha tersebut telah mampu menanggung sebagian besar kebutuhan operasional dan biaya pendidikan santri tanpa pungutan biaya. Pesantren Nurul Iman menjadi salah satu bukti bahwa pesantren bisa mandiri jika mampu mengintegrasikan nilai spiritual dan manajemen modern.

Baca Juga :  Bambang Haryo: Ekonomi Kreatif Serap 26 Juta Tenaga Kerja, tapi Anggarannya Masih Minim

Selain itu ada contoh lain datang dari Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, yang dikenal luas dengan sistem ekonominya yang terintegrasi. Berdasarkan studi UIN Sunan Kalijaga (2024), Gontor mengelola lebih dari 20 bidang usaha, seperti percetakan, toko koperasi, pertanian, dan distribusi bahan pangan, yang seluruh keuntungannya diputar kembali untuk mendukung operasional pesantren dan kesejahteraan santri. Pola yang diterapkan ini dikenal dengan istilah self-supporting system, di mana kegiatan ekonomi tidak berdiri terpisah, tetapi menjadi bagian integral dari proses pendidikan karakter dan kemandirian santri.

Tidak hanya di pulau Jawa, contoh kemandirian pesantren juga tumbuh di berbagai daerah di Indonesia seperti Pesantren Kauman Muhammadiyah Padang Panjang. Pesantren ini menjadi rujukan nasional dalam pengembangan ekonomi kreatif. Menurut data Kemenag Sumbar (2025), mereka memiliki unit usaha food court, depot air minum, laundry, dan produksi deterjen ramah lingkungan. Semua unit usaha dijalankan dengan prinsip pendidikan vokasional santri: belajar sambil berwirausaha. Pesantren ini bahkan mampu menyalurkan produk ke pasar lokal dan digital melalui e-commerce komunitas santri.

Program pendampingan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) juga mempercepat munculnya model pesantren mandiri. Hingga awal 2025, tercatat 520 pesantren telah menjadi mitra BI dalam Program Pesantrenpreneur, termasuk pesantren di Jambi, Lampung, dan NTB yang mengembangkan bisnis air minum, budidaya ikan, dan produk halal unggulan (Antara News, Februari 2025). Program ini membuktikan bahwa sinergi lintas sektor mampu mengubah pesantren menjadi pelaku ekonomi aktif tanpa meninggalkan nilai keislaman dan sosialnya.

Keberhasilan yang telah dilakukan oleh pesantren-pesantren tersebut menjadi inspirasi bagi ribuan lainnya. Kuncinya terletak pada perubahan paradigma: dari “pesantren sebagai penerima bantuan” menjadi “pesantren sebagai penggerak ekonomi umat”. Dengan mengoptimalkan potensi internal, memperkuat kolaborasi, dan mengadopsi digitalisasi usaha, pesantren mampu menjadi benteng ketahanan ekonomi di tengah fluktuasi sosial dan global. Jika strategi ini terus dikembangkan secara konsisten, maka pesantren akan tidak hanya mendidik akhlak, tetapi juga melahirkan wirausahawan sosial yang membangun kesejahteraan bangsa.***

Baca Berita Menarik Lainnya :