Search
Close this search box.

VISI | Nahdlatul Ulama: Keteguhan Langkah di Tengah Samudara Khidmah

Ilustrasi. /visi.news/gemini/artificial intellegence

Bagikan :

Oleh H. Dien At-Tasiki

DALAM lautan luas kehidupan beragama dan berbangsa, Nahdlatul Ulama (NU) ibarat kapal besar yang berlayar dengan kompas nilai: keikhlasan, kebersamaan, dan cinta tanah air. Sejak awal berdirinya, NU tidak hanya menjadi organisasi sosial-keagamaan, tetapi juga menjadi penjaga moral, penjaga kebangsaan, serta penuntun arah bagi umat Islam Indonesia dalam mengarungi dinamika zaman. Kapal besar ini tidak sekadar berlayar, melainkan membawa visi luhur: menjaga warisan ulama dan memperjuangkan kemaslahatan umat.

Panduan langkah warga NU berpijak pada tiga pilar utama yang kokoh: tafaqquh fid-din, khidmah lil ummah, dan hubbul wathan minal iman. Ketiganya adalah tali temali yang saling menguatkan, menjadikan NU tidak mudah goyah meski diterpa berbagai badai ideologi, ekonomi, maupun politik. Di tengah gelombang perubahan global, panduan ini menjadi jangkar spiritual sekaligus etika sosial bagi setiap nahdliyyin.

Pertama, tafaqquh fid-din berarti memperdalam ilmu agama dengan adab dan ketulusan. Dalam tradisi NU, belajar tidak berhenti pada hafalan dan dogma, tetapi dihidupi dengan rasa takzim kepada ilmu dan ulama. Kyai dan santri bukan hanya simbol pendidikan, tetapi juga teladan kehidupan. Dalam dunia yang makin tergesa, NU menegaskan pentingnya menuntut ilmu secara berjenjang, menghormati sanad keilmuan, dan mengamalkan ilmu dengan kasih. Ilmu, bagi NU, bukan sekadar untuk kepentingan diri, tapi untuk menebar manfaat.

Kedua, khidmah lil ummah menjadi wujud nyata dari ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin. Setiap amal, sekecil apa pun, adalah bentuk pelayanan untuk umat. Dari pengajaran di surau kecil hingga perjuangan sosial di pelosok negeri, dari mengajar anak yatim hingga menjaga harmoni antarumat beragama — semuanya adalah bentuk khidmah. Di sini, NU hadir bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pelayan umat; bukan untuk menuntut penghormatan, tetapi untuk memberi kebermanfaatan.

Baca Juga :  Review: Tekuk Selangor FC 2-0, Dekati Tiket 16 Besar AFC Champions League Two

Ketiga, hubbul wathan minal iman — mencintai tanah air sebagai bagian dari iman. Kalimat ini bukan sekadar slogan, tetapi prinsip perjuangan yang telah dibuktikan para ulama NU sejak era perlawanan terhadap penjajah. Cinta tanah air bagi NU tidak bertentangan dengan cinta agama, melainkan justru menjadi bagian dari pengamalan iman. Dalam konteks kini, mencintai tanah air berarti menjaga persatuan, menghormati perbedaan, dan berpartisipasi aktif membangun bangsa dengan cara-cara yang beradab.

Panduan ini diwariskan langsung dari para pendiri NU — Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, dan para muassis lainnya — yang menuntun langkah umat agar teduh dalam perbedaan dan utuh dalam persaudaraan. Warisan itu bukan sekadar teks sejarah, tetapi napas perjuangan yang terus hidup di pesantren, majelis taklim, hingga ruang publik.

Ber-NU berarti berlayar di samudera khidmah yang tak bertepi. Di sana, setiap gelombang perjuangan membawa pesan luhur: *berjuanglah dengan kasih sayang, berkhidmahlah dengan teguh, dan jadilah rahmat bagi semesta.* Dalam pelayaran ini, kesetiaan terhadap prinsip dan keikhlasan menjadi layar utama yang menggerakkan bahtera NU tetap tegak di tengah arus modernitas.

NU bukanlah kapal yang bebas dari tantangan. Kadang badai datang berupa godaan kekuasaan, kadang berupa perpecahan dari dalam, atau derasnya arus radikalisme dan pragmatisme yang mencoba mengubah arah haluan. Namun, selama panduan tiga pilar itu dijaga, kapal ini akan tetap berlayar — mungkin lambat, tetapi pasti, dan selalu membawa penumpangnya menuju keselamatan bersama.

Kini, di tengah dunia yang semakin terfragmentasi oleh kepentingan, panduan langkah NU menjadi cahaya penuntun. Di saat sebagian orang sibuk mencari panggung, NU memilih menambatkan langkah di dermaga pengabdian. Di saat sebagian berlomba menegakkan bendera kelompok, NU menegakkan panji persaudaraan. Di saat sebagian kehilangan arah, NU tetap berlayar dengan tenang, membawa pesan: “Agama bukan alat perebutan, tetapi jalan pengabdian.”

Baca Juga :  Gus Yahya Serukan Kesetiaan Santri kepada Pesantren, NU, dan Indonesia di Lirboyo

Karena sejatinya, menjadi warga NU bukan tentang posisi atau popularitas, melainkan tentang kesetiaan terhadap nilai. Menjadi nahdliyyin berarti berikrar untuk terus belajar, berkhidmah, dan mencintai tanah air. Di situlah letak keteguhan langkah di tengah samudera khidmah — langkah yang tenang, tulus, dan tak pernah lelah menebar rahmat bagi semesta.***

  • Penulis, Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat.

Baca Berita Menarik Lainnya :