Oleh Drajat
- Doktor Ilmu Pendidikan
- Wasekjen Komnasdik
- Hipnoterapis
- Guru SMP N 1 Cangkuang, Kab. Bandung
BELUM lama ini, penulis mendapat kehormatan menjadi dosen tamu di sebuah perguruan tinggi bergengsi di Bandung. Undangan itu membuat penulis antusias bukan main. Setelah puluhan tahun menjadi guru di sekolah menengah, rasanya menyenangkan bisa berbagi pengalaman langsung di hadapan para mahasiswa calon pendidik.
Namun yang membuat suasana kuliah hari itu benar-benar hidup adalah kalimat pembuka dari dosen utama, seorang profesor senior yang terkenal dengan gagasan-gagasan nyentriknya. Dengan senyum ringan, beliau berkata,
“Mari kita mulai perkuliahan hari ini dengan satu kalimat: Nakal itu asyik!”
Sontak ruangan yang semula hening mendadak bergemuruh oleh tawa dan tepuk tangan mahasiswa. Kalimat itu seolah memantik semangat semua yang hadir, termasuk penulis.
Ya, nakal itu asyik. Tapi tentu bukan “nakal” dalam arti negatif — bukan nakal yang merugikan, melawan, atau membangkang tanpa arah. Nakal yang penulis maksud adalah nakal yang bertanggung jawab, sebuah kenakalan yang justru menumbuhkan kreativitas, keberanian, dan kedewasaan berpikir.
Sebagai guru yang telah puluhan tahun bergelut di dunia pendidikan, penulis sering menjumpai peserta didik yang dikenal “nakal”. Mereka tidak mudah diatur, sering berdebat, kadang melanggar batas, dan membuat guru kesal. Tapi seiring waktu, penulis menyadari bahwa dari kelompok inilah sering lahir anak-anak yang paling kreatif, berani, dan berjiwa pemimpin.
Suatu hari, penulis “menantang” para pengurus OSIS — siswa-siswa yang dikenal paling tertib, pintar, dan hampir tanpa cela. Tantangannya sederhana: pada upacara bendera berikutnya, jangan pakai topi.
Tentu saja mereka kaget. Ada yang tersenyum ragu, ada pula yang langsung menolak.
“Pak, itu kan melanggar aturan sekolah,” kata salah seorang dengan nada gugup.
Penulis hanya menjawab, “Betul. Tapi kalau kalian lupa membawa topi, lalu dengan jujur meminta maaf dan menjelaskan alasannya kepada guru, apakah itu salah?”
Mereka terdiam. Penulis lanjutkan, “Yang salah bukan tidak memakai topi. Yang salah adalah ketika kalian tidak jujur, bersembunyi, atau berbohong. Nakal itu boleh, asalkan bertanggung jawab.”
Keesokan harinya, tidak satu pun dari mereka berani mencoba. Mungkin bukan karena takut dimarahi, tetapi karena selama ini mereka terbiasa berpikir bahwa ketaatan adalah segalanya, sementara ruang untuk bereksperimen, mencoba, bahkan keliru, seolah tidak punya tempat.
Padahal, pendidikan yang sehat seharusnya memberi ruang bagi kenakalan yang bertanggung jawab. Dari sanalah tumbuh keberanian untuk berbuat, berinovasi, dan belajar dari kesalahan.
Prinsip yang sama berlaku di dunia perkuliahan. Dalam pandangan penulis, mahasiswa yang “nakal” — yakni mereka yang berani bertanya, menggugat, mengkritisi, bahkan menggoda dosen dengan pertanyaan tajam — justru menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi.
Perkuliahan akan lebih hidup jika mahasiswa berani berpikir di luar kebiasaan. Karena sesungguhnya, ilmu pengetahuan lahir dari keberanian mempertanyakan hal-hal yang dianggap pasti.
Saat itu mengajar di kelas pascasarjana, di mana sebagian mahasiswa sudah berprofesi sebagai guru, kepala sekolah, bahkan dosen. Dalam sesi diskusi, penulis mendorong mereka untuk nakal secara akademik: mempertanyakan teori yang penulis sampaikan, menantang pendapat penulis, bahkan membantah dengan data atau pengalaman lapangan.
Hasilnya? Kuliah menjadi hidup. Dosen dipaksa belajar lebih dalam, mahasiswa semakin kaya perspektif, dan suasana intelektual tumbuh dengan sehat.
“Nakal itu asyik,” begitu kesimpulan mereka di akhir sesi. Asyik karena memicu dialog, membuka cara pandang baru, dan menghadirkan keberanian untuk berbeda.
Kita hidup di zaman di mana kepatuhan sering dijadikan ukuran utama. Padahal, kemajuan tidak lahir dari kepatuhan semata, melainkan dari keberanian untuk melampaui batas-batas kebiasaan.
Lihatlah sejarah. Banyak penemu besar dunia berawal dari “kenakalan” berpikir: menolak yang dianggap mapan, mempertanyakan otoritas, dan mencoba jalan lain yang tak biasa. Mereka “nakal” karena tidak mau berhenti pada jawaban yang sudah ada.
Begitu pula di sekolah. Jika peserta didik selalu takut salah, takut melanggar, takut bertanya — maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang pasif, bergantung, dan kehilangan daya cipta.
Maka, tugas guru bukan sekadar menertibkan, tapi menyalurkan kenakalan itu menjadi energi positif. Guru bukan hanya penjaga aturan, tapi pembimbing dalam menemukan arah kebebasan berpikir yang bertanggung jawab.
Dalam praktiknya, “nakal” sering dimaknai sebagai lawan dari “baik.” Padahal, di dunia pendidikan, keduanya bisa berjalan beriringan. Seorang siswa yang baik tidak harus selalu patuh tanpa berpikir. Ia boleh menentang jika merasa ada yang tidak adil, asalkan dengan cara santun dan beralasan.
Anak yang “nakal” karena berani mempertanyakan sesuatu, sebenarnya sedang belajar berpikir kritis. Anak yang “melanggar” karena ingin mencoba cara baru, sedang belajar berinovasi. Anak yang “berdebat” dengan gurunya, sedang belajar komunikasi dan argumentasi.
Sayangnya, masih banyak guru atau lembaga pendidikan yang alergi terhadap kenakalan semacam ini. Akibatnya, sekolah menjadi tempat membungkam, bukan ruang tumbuh. Padahal, justru dari ruang-ruang “nakal” itulah kreativitas bermula.
Bagaimana cara menumbuhkan kenakalan yang sehat di sekolah maupun kampus? Pertama, dengan memberikan kepercayaan. Guru dan dosen perlu memberi ruang bagi siswa atau mahasiswa untuk mengambil keputusan, mencoba hal baru, bahkan melakukan kesalahan.
Kedua, memberi teladan tanggung jawab. Nakal tanpa tanggung jawab hanya akan menimbulkan kekacauan. Tapi nakal yang diikuti dengan keberanian mengakui kesalahan akan melatih kedewasaan moral.
Ketiga, membangun komunikasi yang terbuka. Jika peserta didik berani bicara jujur tanpa takut dihukum, maka setiap kenakalan bisa menjadi bahan pembelajaran bersama, bukan sekadar pelanggaran.
Keempat, menjadikan guru sebagai sahabat belajar. Ketika hubungan guru-siswa terjalin hangat, kenakalan justru menjadi tanda tumbuhnya rasa percaya, bukan bentuk perlawanan.
Ketika perkuliahan hari itu berakhir, seorang mahasiswa mendekati penulis dan berkata,
“Pak, ternyata benar ya, nakal itu asyik. Tapi yang lebih asyik lagi, ternyata dari nakal kita bisa belajar jadi manusia yang lebih dewasa.”
Penulis tersenyum. Itulah inti pendidikan yang penulis yakini. Bahwa belajar bukan untuk menjadi sempurna, tapi untuk tumbuh. Bahwa menjadi “nakal” bukan berarti menentang, tapi berani berpikir dan bertanggung jawab.
Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang memberi ruang untuk nakal — nakal yang mencerahkan, bukan merusak. Karena sesungguhnya, setiap kenakalan yang disertai tanggung jawab adalah tanda kehidupan yang sedang belajar menjadi lebih baik.***












