Search
Close this search box.

VISI | Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Demokrasi, Mampukah?

Bagikan :

Oleh Siti Aisah

KORUPSI masih menjadi masalah di negeri ini. Semakin banyak kasus terungkap dan nilai yang fantastis, tidak menjadikan kasus korupsi ini kian surut. Penanganan pelaku tindak korupsinya pun masih jauh dari kata jera. Tak heran, masyarakat dikagetkan dengan berita para koruptor yang jalan-jalan atau disediakan sel yang nyaman bak hotel bintang lima.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md memberi keterangan kepada media di Jakarta, Rabu (6/11/2024). Ia mengatakan bahwa sistem politik yang demokrasi merupakan harapan bangsa ini untuk memberantas korupsi.
“Sebab dengan demokrasi selalu mempunyai momentum untuk memperbaiki,” kata Mahfud Md saat menjadi narasumber pada diskusi bertajuk Pemberantasan Korupsi: Masihkah Ada Harapan.

Menuntut Mahfud, demokrasi merupakan satu harapan pemberantasan korupsi, sebab dengan sistem ini ada momentum perbaikan setiap lima tahun sekali. Korupsi ini bersumber dari distribusi kekuasaan yang korup karena pelaku korupsi merupakan pejabat negara yang telah diamanahi untuk menjalankan tugasnya. Korupsi pun bukan karena gaji pejabat yang kecil, namun cenderung mereka pemilik gaji besarlah sebagai aktor dari kejahatan tersebut. (antaranews.com, 6/11/2024)
Dalam penuturan lainnya, ia mengungkapkan pula bahwa kasus korupsi di negara demokrasi terjadi karena negara tersebut tidak benar-benar menerapkan sistem demokrasi, tetapi secara tidak langsung mempraktikkan sistem oligarki. (https://nasional.kompas.com/read/2021/12/06/13510271/ditanya-kenapa-banyak-korupsi-mahfud-mungkin-namanya-demokrasi-tetapi).

Lantas bagaimana bisa harapan pemberantasan korupsi ada di sistem yang memang telah nyata menerapkan oligarki sebagai lahan demokrasi. Sayangnya, keterpilihan para pemangku kebijakan dalam sebuah pemilu di sistem demokrasi, tidak ditentukan dari kualitas dan kapabilitasnya tapi ‘isi tas’ atau besaran dana politik yang bersumber dari kantong pribadi atau dari penyandang dana. Dan ini adalah awal dari benih-benih korupsi yang justru akan melahirkan praktik-praktik korup. Hal ini sejatinya dilakukan oleh para politisi atau pejabat yang terpilih untuk pengembalian modal.

Baca Juga :  KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto

Tentu tak heran, jika yang terpikir pertama kali dari para pejabat terpilih dalam jabatan tertentu adalah cara mengembalikan modal politik mereka. Sehingga, budaya korupsi dalam sistem politik demokrasi ini bisa dikatakan telah menjadi ciri khas atau bahkan karakteristik dasar yang melekat, dengan salah satu sumber utamanya karena kedaulatan berada di tangan rakyat (manusia). Selain itu, dari proses rekrutmen politik yang mahal, lama dan tidak jelas penetapan parameter kepemimpinan, juga menjadikan politik demokrasi sebagai politik uang, pencitraan serta politik dagang sapi.

Belum lagi, kekuasaan yang dijalankan tidak terikat dengan ruh yakni tidak ada ikatan kesadaran hubungan dengan Allah SWT. Maka itu, tidak akan bisa terbebas dari penyakit akut ataupun ke luar dari kubangan korupsi, kecuali meninggalkan sistem politik demokrasi dan menggantinya dengan sistem khilafah.

Kedaulatan Tertinggi

Perlu diketahui, dalam sistem pemerintahan Islam yaitu khilafah, terdapat beberapa mekanisme yang penting dipahami umat. Di antaranya, pertama, untuk mensterilkan hukum serta perundangan, baik sejak pembentukan, pelaksanaan maupun kontrol pengadilan, kedaulatan tertingginya berada di tangan syara’.

Dengan demikian, bisa dipastikan pelaksanaan hukum dan perundangan akan bebas dari intervensi kapital yang cenderung memperjualbelikan hukum terkait halal dan haram.

Kedua, karena mengacu pada hukum syara’, sistem rekrutmen politik menjadi sederhana, murah dan cepat. “Khalifah dibaiat maksimal tiga hari, sehingga tidak butuh biaya politik dan kampanye berbulan-bulan yang menghabiskan energi dan memicu keterbelahan dapat dihindari.

Begitu pun setelah khalifah terpilih, seluruh penguasa di bawah khalifah seperti muawin, wali, hingga amil dipilih dan ditetapkan oleh khalifah. Sehingga, tidak butuh adanya pilkada di wilayah khilafah yang menghabiskan anggaran yang tidak perlu.

Baca Juga :  Achmad Muchtasyar Dilantik Sebagai Dirjen Migas, Bahlil Ingatkan Tantangan Berat

Selanjutnya, persyaratan menjadi khalifah pun, tidak perlu diusung partai atau wajib melewati presidential threshold seperti di dalam sistem demokrasi saat ini. Sehingga, tidak ada politik dagang sapi dan tak perlu mahar politik atau uang sesaji lainnya. Perlu diingat, syarat calon khalifah adalah wajib Muslim, merdeka, baligh, berakal, laki-laki, adil dan memiliki kemampuan untuk mengemban tugas kekhilafahan, lalu mahkamah madzalim yang akan melakukan verifikasi dan validasi keabsahannya.

Ketiga, setelah dibaiat, seorang khalifah berhak atas jabatan kekhalifahan hingga meninggal dunia. Sehingga, negara tidak kehabisan energi untuk urusan pemilu dan pilpres setiap lima tahun sekali. Hal ini karena Khalifah berakhir apabila, mengundurkan diri atau kehilangan syarat in’iqad seperti tertawan musuh, menjadi murtad, maka harus segera dilakukan pemilihan khalifah baru melalui akad baiat dengan batas waktu tidak boleh lebih dari tiga hari.
Dengan demikian, sebuah pemerintahan negara akan bisa berkonsentrasi mengemban misi Islam dengan sempurna. Khilafah bisa berkonsentrasi untuk mengemban misi menerapkan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam.

Wallahu’alam bish-shawwab.

***

  • Penulis, Siti Aisyah, S.Pd., Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang. 

Baca Berita Menarik Lainnya :