Oleh Aep S. Abdullah
DALAM ajaran Islam, hubungan dengan Allah (hablum minallah) tidak bisa dilepaskan dari hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas). Keduanya saling berkaitan dan menjadi cerminan keimanan seseorang. Seorang Muslim yang taat tidak hanya rajin beribadah, tetapi juga memiliki kepekaan sosial terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Sensitivitas beragama dimulai dari kesadaran diri terhadap realitas sosial yang terjadi di lingkungan sekitar. Hal ini mencakup perhatian terhadap kemiskinan, ketimpangan sosial, potensi perpecahan, serta kerusakan lingkungan sosial akibat pembenaran-pembenaran dalam mengejar hawa nafsu duniawi, dan masalah lainnya. Kepekaan ini bukan sekadar perasaan iba, tetapi juga dorongan untuk bertindak dan memberikan solusi. Tentunya juga, dalam upaya tetap itiqamah dalam beribadah semata-mata berharap ridha Allah.
Begitu juga dalam masalah lingkungan. Banyak orang menganggap bahwa urusan lingkungan adalah isu sekuler, padahal agama memiliki pandangan yang jelas tentang pentingnya menjaga alam. Dalam Islam, bumi adalah amanah yang harus dijaga. Paus Fransiskus, pemimpin umat Katolik, juga menekankan dalam ensikliknya Laudato Si’ bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral manusia.
Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56)
Sensitivitas terhadap masalah sosial dan lingkungan dimulai dari kesadaran diri untuk peka terhadap apa yang terjadi di sekitar kita. Seorang filsuf Yunani, Socrates, pernah berkata, “Hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani”. Ungkapan ini mengajarkan bahwa manusia harus selalu melakukan introspeksi dan peka terhadap realitas yang ada di sekelilingnya.
Rasulullah SAW juga menegaskan pentingnya kepekaan sosial dalam sabda beliau yang artinya,
“Barang siapa yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan, maka dia tidak beriman.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa keimanan sejati tidak bisa dilepaskan dari kepedulian sosial. Jika seseorang hanya sibuk dengan ibadah personal atau hanya mementingkan kelompoknya, tetapi abai terhadap penderitaan orang lain, maka ada yang kurang dalam pemahaman agamanya.
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa seorang mukmin yang baik adalah mereka yang bermanfaat bagi sesama. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda yang artinya,
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad)
Kepekaan sosial tidak hanya berarti memberi sedekah atau membantu korban bencana, tetapi juga mencerminkan bagaimana seseorang merespons ketidakadilan dan permasalahan dengan lingkungan sekitarnya. Misalnya, seorang yang benar-benar memahami nilai-nilai Islam tidak akan merusak sistem sosial yang sudah terbangun, karena sadar bahwa menjaga lingkungan sosial yang baik adalah bagian dari amanah Allah.
Keimanan dan Kepedulian Sosial
Sikap keberagamaan seseorang diuji dalam interaksinya dengan sesama. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa ibadah yang dilakukan tanpa diiringi dengan akhlak yang baik kepada sesama tidak akan membawa manfaat. Oleh karena itu, seseorang yang ingin dekat dengan Allah harus menunjukkan kepedulian terhadap manusia lain.
Dalam konteks sosial, kepekaan ini bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti membantu yang membutuhkan, menjaga keadilan dalam bermuamalah, tidak menzalimi orang lain, dan tidak mengambil hak yang bukan miliknya serta mencegah kemungkaran di masyarakat, seperti ketidakadilan, mengeksploitasi masyarakat untuk kepentingannya atau kelompoknya atas nama agama, atau secara tidak sengaja merusak kondusivitas di masyarakat.
Rasulullah SAW memberikan contoh nyata bagaimana hubungan dengan Allah harus berdampak pada kepedulian sosial. Ketika ada seorang wanita yang dikenal rajin beribadah tetapi sering menyakiti tetangganya, beliau bersabda:
“Ia di neraka.” (HR. Muslim)
Ini menunjukkan bahwa ibadah tanpa sensitivitas sosial tidak akan membawa manfaat di sisi Allah.
Islam tidak mengajarkan kesalehan yang individualistis. Ibadah yang dilakukan seorang Muslim, seperti salat dan puasa, seharusnya memberikan dampak pada akhlak dan kepedulian sosialnya. Jika seseorang rajin beribadah tetapi masih bersikap egois dan abai terhadap kondisi sekitar, maka ada yang perlu diperbaiki dalam pemahamannya terhadap agama.
Salah satu contoh nyata adalah dalam konsep zakat dan infak. Kewajiban ini bukan hanya untuk menyucikan harta, tetapi juga sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat yang membutuhkan. Begitu pula dalam ajaran Islam tentang menjaga lingkungan, seperti larangan berlebihan dalam menggunakan sumber daya, menjaga harmonisasi bermasyarakat, atau pentingnya menjaga lingkungan yang asri sebagai bentuk ibadah.
Dampak Sosial dari Sensitivitas Beragama
Ketika seseorang memiliki kepekaan terhadap masalah sosial dan lingkungan, maka akan lahir masyarakat yang lebih harmonis dan berkelanjutan. Kepedulian terhadap sesama dapat mengurangi kesenjangan sosial, mempererat ukhuwah Islamiyah, meminimalisasi potensi perpecahan, dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat.
Sebagai contoh, negara-negara dengan tingkat kesadaran sosial yang tinggi cenderung memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Mereka memiliki sistem yang memastikan keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam konteks Islam, sistem ini sudah diajarkan sejak zaman Rasulullah, di mana kepedulian terhadap fakir miskin dan lingkungan menjadi bagian dari kebijakan negara Islam pertama di Madinah.
Hablum minallah dan hablum minannas adalah dua aspek yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan beragama. Keimanan sejati bukan hanya soal hubungan spiritual dengan Tuhan, tetapi juga bagaimana seseorang berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya.
Sebagaimana dikatakan oleh Mahatma Gandhi, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others.” (Cara terbaik untuk menemukan diri sendiri adalah dengan mengabdikan diri untuk orang lain).
Kesalehan seseorang akan lebih bermakna jika diwujudkan dalam bentuk kepedulian sosial dan lingkungan. Dengan memiliki sensitivitas terhadap masalah di sekitar, kita tidak hanya memperkuat hubungan dengan sesama manusia tetapi juga semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.***