Oleh Aep S Abdullah
SUARA Yulia mungkin sudah parau. Setiap hari ia berteriak minta tolong agar kakaknya Wildan Rohdiawan bisa segera dipulangkan. Kakaknya, pria 36 tahun itu telah menjadi korban tindak pidana penjualan orang (TPPO). Sudah lebih dua tahun, Warga Kp. Bantargedang RT 03, RW 09 No. 22, Desa Mekarsari, Kecamatan Ngamprah, Kab. Bandung Barat (KBB) ini dalam sekapan sindikat di Myanmar. Ia berangkat pada November 2022 dan sejak itu mengalami hari-hari dalam penindasan.
Ternyata bukan hanya Yulia Rosiana yang terus berjuang. Ada Nurmaya, Yulia Yasmin, Sylvie, dan Tan. Mereka akhirnya tergabung dalam Solidaritas Korban Jerat Kerja Paksa dan Perbudakan.
Industri Penipuan Online telah menggoda banyak orang Indonesia untuk bekerja ke luar negeri. Namun benar benar menyengsarakan banyak orang. Korban sudah banyak.
“Masing-masing kami adalah keluarga/sanak saudara (istri, adik, dan ibu) dari lima orang warga negara Indonesia yang masih dipekerjakan dan disiksa di perusahaan penipuan online yang beroperasi di Phalu, Myanmar,” ungkap Yulia melalui Whatsapp.
Sudah dua tahun mereka menanti pembebasan dan kepulangan mereka. Mereka tidak menunggu dengan hanya duduk manis, tapi sudah mengadukan apa yang keluarga mereka alami mulai dari Polisi, Kementerian Luar Negeri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hingga pemerintah daerah tempat tinggal, dan Lembaga pengiriman Tenaga Kerja.
Mereka berangkat ke Myanmar untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, karena merasa tidak punya keistimewaan di sini untuk memilih pekerjaan yang baik.
Banyak orang di negara ini, niat untuk memperbaiki nasib keluarga merupakan niat yang baik. Tapi apa daya, niat baik ini dimanfaatkan mafia tenaga kerja untuk mendapat keuntungan dari hasil keringat dan jerih payah orang lain.
Keluarga dan sanak saudara mereka dijanjikan kerja dengan upah yang baik di Thailand, negara tujuan untuk berlibur dan berbelanja untuk orang-orang kaya Indonesia. Tapi tidak bagi mereka. Thailand hanyalah pintu masuk untuk mengelabui petugas penjaga perbatasan. Tidak ada kecurigaan sama sekali, ketika mereka dari Thailand diseberangkan melalui jalan darat ke Myanmar. Mereka hanya orang miskin yang belum pernah pergi ke luar negeri, dan tidak paham tentang seluk-beluk permasalahannya.
Keluarga dan sanak saudara mereka akhirnya dipekerjakan di perusahaan, di wilayah perbatasan Thailand-Myanmar yang sedang dilanda konflik bersenjata. Baru sesudahnya mereka menyadari bahwa mereka telah ditipu. Tidak seperti yang dijanjikan, mereka dipekerjakan untuk melakukan penipuan di dunia maya. Pekerjaan yang jelas bertentangan dengan hati nurani. Mereka memang orang miskin. Tapi tidak diajari untuk menipu, apalagi menipu bangsa sendiri.
Mereka terperangkap. Pulang ke rumah tidak bisa, dan terpaksa bertahan, bekerja di perusahaan yang seluruh penjaganya memegang senjata api. Akhirnya, yang bisa dilakukan adalah pasrah.
Kondisi mereka sangat memilukan: disuruh bekerja terus hingga melampaui batas; disiksa bila tidak memenuhi target: dipukul dengan kayu, disetrum, disuruh jalan jongkok berkali kali; istirahat/makan hanya 30 menit, dan waktu untuk tidur hanya tiga jam sehari. Selebihnya adalah bekerja.
Seluruh kondisi tersebut tidak hanya menyengsarakan keluarga dan sanak saudara mereka nan jauh di sana, yang melakukan kerja paksa untuk mafia penipu. Tapi juga menimbulkan derita batin bagi keluarganya di sini. Sejak mereka meninggalkan rumah, yang keluarganya terus merasakan kekuatiran, kecemasan dan amarah.
“Tak pernah sedikitpun terbayangkan, martabat dan harga diri kami sebagai manusia begitu dilecehkan sampai ke titik nol,” ujar Yulia.
Mereka para perempuan harus menelan pil pahit. Terlebih setelah mengetahui bahwa keluarganya di sana sekarang sudah dua sampai tiga kali dijual ke perusahaan lain karena dianggap tidak produktif.
Para perempuan ini sadar betapa besar dan gagahnya Indonesia. Mereka melihat, Ibu Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan sangat gagah berteriak tentang kemerdekaan Palestina, dan tentang Indonesia yang siap berdiri menentang penindasan terhadap rakyat Palestina. Para perempuan ini berharap sikap yang sama dapat ditunjukkan pada persoalan di Myanmar, yang setahu mereka, dari pemberitaan media, dilanda peperangan tanpa henti yang menyengsarakan rakyatnya.
Kelima perempuan ini meminta negara hadir dengan sungguh-sungguh mengupayakan pembebasan anak bangsa yang tengah disekap perusahaan mafia di Myanmar.
“Selama ini kami terbiasa dilecehkan dari petugas pemerintah yang mengurus masalah ini. Kami tidak cukup dinasihati dengan kata ‘sabar’ saat kami menanyakan perkembangan mengenai keluarga kami. Kami sudah cukup menyampaikan semua informasi yang kami miliki. Sudah cukup keterangan dan bukti bahwa selama ini kami telah ditindas sampai di luar batas,” ungkap Yulia dengan nada getir.
“Kami menyaksikan, negara seperti Uganda, Malaysia, Kenya, dan Tiongkok mampu membebaskan warga negara mereka yang terperangkap di Myanmar. Kami juga menyaksikan, bahwa dengan sangat gagah pemerintah membawa pulang warga Indonesia dari Gaza,” ungkap Yulia.
Allah SWT mendengar suaramu Yulia. Dan, mereka yang tidak amanah dengan tugas dan jabatannya tentu akan dimintai pertanggungjawabannya. Doa dan perjuangan Yulia meski belum berhasil, tapi telah menginvestasikan nilai-nilai kebenaran yang harus ditegakkan di negeri ini.
***