VISI.NEWS | BANDUNG – Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut mengungkapkan bahwa landscape bisnis media sudah banyak berubah namun ia yakin konten masih is the king, selama kontennya bisa memenuhi kebutuhan pembaca, bukan karena suka.
“Butuh dengan suka itu beda. Kalau butuh itu mereka akan terus mengikuti kita, menjadi loyal mengikuti konten media kita. Tapi kalau suka itu sifatnya sesaat, dan cepat hilang dihempas oleh kesukaan baru,” ujarnya saat memberikan materi pada pelatihan daring ‘Manajemen, Pengembangan Bisnis & Keberlanjutan Media Digital’ (Training on Media Management, Business Development and Sustainability) yang diselenggarakan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) bekerjasama dengan USAID dan Internews, Senin (8/5/2023).

Dalam pelatihan yang diikuti lebih dari 150 peserta ini, pria yang biasa disapa Mas Wens ini mengungkapkan bahwa media secara bisnis harus untung tapi jangan sampai meninggalkan kualitas kontennya. Karena kalau kontennya berkualitas, masyarakat pembaca butuh dan mereka akan menjadi pembaca loyal kita.
“Misalnya begini. Jurnalis kita mencomot informasi dari media sosial. Tingkat kepercayaan pembaca ke media sosial itu tarohlah 5%. Kita comot dan secara letter lux dimuat di media publiser. Itu paling naik 2% jadi 7-8%. Lalu bagaimana supaya tingkat kepercayaan pembaca itu tinggi?,” ungkapnya.
“Harus ada upaya untuk menjadikan mereka percaya,” imbuh Mas Wens.
Kalau jurnalis yang menerima informasi di media sosial itu melakukan konfirmasi ke sana-sini, katanya, tingkat kepercayaan pembaca bisa naik sampai 60%. “Apalagi kalau jurnalis itu selain melakukan konfirmasi ke sana-sini, juga turun ke lapangan memverifikasi informasi yang diterimanya di media sosial. Tingkat kepercayaan pembaca itu bisa naik sampai 90%,” tandasnya. “Tingkat kepercayaan pembaca itu meningkat kalau ada upaya dari media melakukan verifikasi atas informasi yang didapatnya”.
Namun masalahnya, kata Mas Wens, pebisnis tidak butuh itu. Mereka hanya butuh media yang bisa mengangkat brand produk yang mereka pasang iklannya di media. “Ini masalahnya. Tidak jarang brand sebuah produk muncul di berita pembunuhan. ‘Oh, berarti brand produk itu mendukung kejadian pembunuhan’. Atau, misalnya ada ujaran kebencian, hatespeech, dan brand produk ada di sana, seolah-olah mendukung hatespeech,” ungkapnya.
Iklan tak jarang ada di konten yang salah, katanya. Konten mereka landing di konten yang tidak disukai banyak orang. “Kita sedang berusaha mengatasi itu,” ungkapnya.
Sudah begitu, kata Mas Wens, nilainya juga tidak seberapa. “Kalau revenue iklan media itu masih traffic, gamenya masih traffic, ya lemeslah. Game traffic ini kalau menurut bayangan saya akan diambil oleh platform. Karena mereka punya massa yang lebih banyak, mereka juga punya konten yang lebih banvak. Ini barrier. Matrik yang dipakai oleh lembaga ukur masif ke sana. Matrik mereka tidak ada ukuran kualitas konten,” ujarnya dengan senyum khasnya.@mpa/asa