‘Sumur pengambilan air bawah tanah dilakukan oleh para elit bisnis untuk tujuan komersial. Transparansi yang lebih baik akan membantu pengelolaannya secara lebih berkelanjutan”.
Penulis (360info)
- Bosman Batubara
Universitas Utrecht, Belanda - Margreet Zwarteveen
Universitas Amsterdam - Michelle Kooy
Institut Pendidikan Air IHE-Delft, Belanda
Ibu kota Indonesia, Jakarta, sedang tenggelam.
Di beberapa tempat, penurunan permukaan tanah mencapai 20 cm per tahun. Kenaikan permukaan laut sekitar 0,5cm/tahun. Oleh karena itu, laju penurunan permukaan tanah jauh lebih tinggi daripada laju kenaikan permukaan air laut; di beberapa tempat, meningkat sebesar 40 kali lipat. Tenggelamnya daratan, ditambah dengan kenaikan permukaan air laut, meningkatkan risiko banjir di kota secara keseluruhan.
Peristiwa banjir telah meningkat secara dramatis selama satu abad terakhir. Pada tahun 1892, hanya tercatat dua peristiwa banjir. Pada tahun 1960 jumlahnya meningkat menjadi lima. Pada tahun 2010 jumlahnya melonjak menjadi 10.
Peningkatan ini tidak terlalu berkaitan dengan curah hujan karena data total curah hujan bulanan antara tahun 1860 – 2007 tidak berubah. Oleh karena itu, meningkatnya kerentanan Jakarta terhadap risiko banjir tidak dapat dikaitkan dengan perubahan pola curah hujan yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Para insinyur dan ahli geosains telah mengidentifikasi setidaknya empat faktor sebagai penyebab tenggelamnya Jakarta—pengambilan air tanah secara berlebihan; bertambahnya bobot bangunan; pemadatan tanah aluvial sedimen muda tempat kota ini dibangun; dan aktivitas tektonik.
Dua faktor penyebab terbesarnya adalah pengambilan air tanah yang berlebihan dan beratnya bangunan.
Sebuah studi menunjukkan bagaimana dua penyebab utama penurunan permukaan tanah ini berhubungan langsung dengan penyebab terjadinya urbanisasi yang tidak merata di Jakarta – munculnya kota secara bertahap sebagai mesin untuk memeras keuntungan bagi kelompok elit yang sudah kaya dan memiliki koneksi yang baik.
Pengambilan air tanah secara berlebihan merupakan bentuk lanjutan dari perluasan vertikal kota, yang terdiri dari pemompaan sumur yang lebih dalam untuk memasok air yang diperlukan untuk memungkinkan kehidupan di atas tanah.
Ada korelasi yang jelas antara ekstraksi air tanah dan penurunan permukaan tanah. Pada tahun 1879 terdapat 42 sumur air tanah di dalam kota, sedangkan pada tahun 1968 terdapat 352 sumur. Artinya dalam kurun waktu 89 tahun jumlah sumur air tanah bertambah tiga kali lipat.
Namun, pada tahun 1998, terdapat 3.626 sumur air tanah yang terdaftar di Jakarta—10 kali lebih banyak.
Penurunan permukaan tanah di kota ini telah menjadi masalah sejak tahun 1970an, sejalan dengan periode dimana jumlah sumur air tanah yang terdaftar mengalami peningkatan terbesar.
Dalam hal bobot bangunan, lingkungan binaan di Jakarta berkembang secara horizontal dengan peningkatan tajam sejak tahun 1960an. Dari tahun 1770-an hingga 1960-an, kawasan terbangun modern di Jakarta hanya tumbuh sebesar 17,7 persen. Namun pada tahun 2014, bagian kota yang dirancang secara modern menempati 83,7 persen dari total wilayah kota, yang berarti dalam lima dekade, kota ini tumbuh hampir 65,5 persen.
Ini dimulai dengan kudeta
Terdapat pola yang jelas: penurunan tanah (mulai menjadi masalah pada tahun 1970an), peningkatan jumlah sumur air tanah dan perluasan bagian modern kota, semuanya meningkat secara signifikan sejak tahun 1960an. Semua perubahan ini dipengaruhi oleh konteks politik Indonesia.
Antara tahun 1965 dan 1998, Indonesia berada di bawah kendali rezim otoriter yang disebut ‘Orde Baru’, yang dipimpin oleh seorang jenderal angkatan darat, Suharto. Suharto berkuasa melalui kudeta yang didukung CIA, menggulingkan Sukarno, presiden pertama Indonesia.
Di bawah pemerintahan Sukarno, Indonesia menganut pola pembangunan nasionalis-kiri, misalnya melalui program reforma agraria. Di bawah pemerintahan Suharto, Indonesia menganut pembangunan yang terpusat pada kapitalis dengan Jakarta sebagai pusatnya.
Bagaimana penurunan permukaan tanah di Jakarta dibentuk dan berkontribusi dalam membentuk urbanisasi yang tidak merata pada rezim Orde Baru, terlihat dari penyebab tenggelamnya kota tersebut: urbanisasi yang meluas secara vertikal melalui pengambilan air tanah yang berlebihan dan perluasan horizontal bagian kota yang modern melalui perkantoran, mal dan daerah pemukiman.
Pembangunan sumur air tanah dalam memerlukan biaya yang lebih besar dan itulah sebabnya biasanya sumur tersebut dibangun oleh sektor tertentu yang mampu membiayainya, seperti hotel, mal, dan pembangunan perumahan kelas atas. Mereka adalah penyebab utama penurunan permukaan tanah; bukan sumur air tanah dangkal yang digunakan oleh pemukiman miskin perkotaan.
Demikian pula, bangunan-bangunan terberat di Jakarta berada di sektor komersial yang secara besar-besaran mengubah bagian hijau kota menjadi berbagai hotel, mal, dan pemukiman mewah. Banyak pengembang yang dapat diidentifikasi sebagai bagian dari kroni kapitalis Orde Baru Suharto.
Penderitaan Jakarta berakar pada nasib Indonesia , diperintah dari awal rezim Orde Baru hingga sekarang.
Membuat pengambilan air tanah dapat dipertanggungjawabkan – dalam hal jumlah total sumur dalam, kedalamannya, volume air yang diambil, dan pembangun/pemilik yang melakukan pengambilan – merupakan salah satu solusi yang mungkin untuk mengatasi masalah ini.
Tata kelola air tanah yang transparan kemudian dapat dilakukan bersamaan dengan peningkatan layanan air perpipaan sebagai bagian dari rencana pembangunan Jakarta yang lebih terpusat di luar urbanisasi yang tidak merata akibat pembangunan yang dikendalikan kapitalis.
- Bosman Batubara adalah peneliti postdoctoral di bidang Geografi Manusia dan Perencanaan Tata Ruang, Universitas Utrecht, Belanda.
- Margreet Zwarteveen bekerja di Institut Penelitian Ilmu Sosial Amsterdam, Universitas Amsterdam, Belanda
- Michelle Kooy di Departemen Tata Kelola Air, Institut Pendidikan Air IHE-Delft, Delft, Belanda.
- Mereka menyatakan tidak ada konflik kepentingan.***