VISI.NEWS – Perdana Menteri Hassan Diab yang baru diangkat kemudian mengumumkan bahwa Lebanon akan mengalami gagal bayar utang untuk pertama kali dalam sejarah. Dia mengatakan cadangan mata uang asing telah mencapai level “kritis dan berbahaya” dan jumlah yang tersisa diperlukan untuk membayar barang-barang impor yang vital.
Bagaimana pandemi membuat masalah menjadi lebih buruk?
Setelah wabah Covid-19 melanda dan terjadi lonjakan kasus, karantina wilayah diberlakukan pada pertengahan Maret untuk mengekang penyebaran penyakit.
Di satu sisi, demonstran anti-pemerintah terpaksa berhenti turun ke jalan, tetapi di sisi lain, krisis ekonomi menjadi jauh lebih buruk dan mengungkap kelemahan sistem kesejahteraan sosial Libanon.
Banyak bisnis terpaksa memberhentikan staf atau mengenakan cuti tanpa gaji; kesenjangan nilai tukar mata uang Lebanon pada pasar resmi dan pasar gelap melebar; dan bank memperketat kontrol modal.
Ketika harga membubung tinggi, banyak keluarga bahkan tidak mampu membeli kebutuhan pokok. Kesulitan ekonomi yang meningkat memicu kerusuhan baru.
Pada bulan April seorang pemuda ditembak mati oleh tentara dalam demonstrasi di Tripoli dan beberapa bank dibakar.
Sementara itu, pemerintah akhirnya menyetujui rencana pemulihan yang diharapkan akan mengakhiri krisis ekonomi dan mendapatkan bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk paket dana talangan senilai US$10 miliar, atau sekitar Rp146 triliun.
Pada saat pembatasan mulai dicabut pada bulan Mei, harga beberapa bahan makanan naik dua kali lipat dan perdana menteri memperingatkan bahwa Lebanon berada dalam risiko “krisis pangan besar”.
“Banyak orang Lebanon telah berhenti membeli daging, buah-buahan, dan sayuran, dan mungkin akan sulit untuk membeli roti,” tulisnya di Washington Post.
Mengapa Lebanon kesulitan mengalami krisis?
Sebagian besar analis menunjuk ke satu faktor utama: sektarianisme politik, atau kelompok yang berjuang demi kepentingan mereka sendiri.
Lebanon secara resmi mengakui 18 komunitas agama – empat Muslim, 12 Kristen, sekte Druze, dan Yudaisme.
Kursi pimpinan di tiga lembaga politik utama – presiden, ketua parlemen dan perdana menteri – dibagi antara tiga komunitas terbesar (Kristen Maronit; Muslim Syiah; dan Muslim Sunni) berdasarkan perjanjian yang dimulai pada 1943.
Sebanyak 128 kursi Parlemen juga dibagi secara merata antara Kristen dan Muslim (termasuk Druze). (bersambung) @fen/sumber: bbcnews