VISI.NEWS | SOLO – Pakar hukum tata negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Dr. Agus Riewanto, mengingatkan, pemerintah punya waktu 2 tahun untuk memperbaiki Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinyatakan cacat secara formil sehingga inkonstitusional bersyarat.
“Pemerintah mempunyai kesempatan selama 2 tahun memperbaiki proses UU Cipta Kerja. Dalam amar putusan MK, UU Cipta Kerja inkonstitusional hanya pada prosesnya, tetapi UU-nya tetap konstitusional dan berlaku. Jika dalam 2 tahun pemerintah bersama DPR tidak memperbaiki, maka secara otomatis UU Ciptaker tidak berlaku secara permanen,” ujarnya kepada wartawan, di kampus UNS Kentingan, Rabu (1/12/2021), menanggapi putusan MK yang mengabulkan permohonan uji formil UU Cipta Kerja.
Dr. Agus Riewanto menjelaskan, cacat formil yang dimaksud MK adalah proses pembuatan UU Ciptaker yang tidak sesuai proses pembentukan UU seperti diatur dalam UU No. 11/ 2012 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang diubah menjadi UU No. 15/ 2019.
“Dalam UU tersebut tidak mengenal teknik omnibus law sebagaimana yang dipraktikkan dalam pembuatan UU Ciptakerja,” tandasnya.
Ketua MK, Anwar Usman, yang membacakan putusan di depan para pemohon yang terdiri dari Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, dan Muchtar Said, menyatakan, pembentukan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
“MK menyatakan, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukannya sesuai dengan tenggang waktu yang ditentukan dalam amar putusan,” ujar pakar HTN UNS itu, mengutip Anwar Usman.
Putusan MK mengabulkan permohonan uji formil, menurut dia, merupakan yang pertama dalam sejarah permohonan uji formil di Indonesia. Biasanya MK menolak permohonan uji formil dan hanya mengabulkan terhadap uji materil, yaitu menguji isi atau norma pasal, ayat, atau bagian dari ayat dari suatu UU yang dianggap bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945) atau inkonstitusional.
Dr. Agus Riewanto mengatakan, usai putusan MK dibacakan seharusnya secara materil, baik pasal, ayat, dan bagian dari ayat yang dinyatakan dalam UU Cipta Kerja dinyatakan tidak berlaku karena proses pembuatannya inkonstitusional.
Kendati demikian, dalam amar putusan ada 4 orang dari sembilan hakim MK yang berpendapat berbeda alias dissenting opinion, sehingga putusan MK tersebut tampaknya menjadi ‘jalan tengah’.
Walaupun putusan MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat atau conditionally unconstitutional, kata Dr. Agus lagi. pada dasarnya putusan tersebut merupakan model yang secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlakunya suatu norma.
Dia menambahkan, agar di masa depan tidak terjadi proses pembuatan UU yang bertentangan dengan konstitusi, pemerintah harus melakukan perbaikan proses legislasi, dengan memasukkan prosedur teknik Omnibus Law, memasukkan kembali RUU Cipta Kerja ke dalam program legislasi nasional (prolegnas), dan memperkuat partisipasi publik dengan melibatkan semua adresat hukum dari UU Cipta Kerja.
“Dalam melakukan kajian mendalam hendaknya melibatkan ahli hukum di perguruan tinggi dalam tenggat waktu selambat-lambatnya 2 tahun, sehingga UU Cipta Kerja inkonstitusional dan tidak bertentangan dengan UU No.11 Tahun 2011,” tuturnya.@tok