VISI.NEWS | AFGHANISTAN – Ketika Taliban membatasi ruang gerak perempuan di Afghanistan untuk bekerja, belajar, dan bepergian, sebagian kaum perempuan pada awalnya menentang peraturan baru tersebut. Mereka turun ke jalan untuk menyuarakan protes. Namun, dalam waktu singkat, orang-orang yang berkumpul di Ibu Kota Kabul dan kota-kota besar lainnya merasakan kekuatan Taliban. Para pengunjuk rasa mengatakan kepada BBC bagaimana mereka dihajar, dianiaya, dipenjara, bahkan diancam dirajam sampai meninggal.
Salah satu perempuan yang menentang pemerintahan Taliban adalah Zakia (nama samaran). Dia bergabung dalam unjuk rasa pada Desember 2022 setelah haknya untuk bekerja dan belajar direnggut begitu saja. Zakia meneriakkan slogan-slogan ketika polisi Taliban mengakhiri pemberontakannya. Dia mengingat bagaimana salah seorang polisi menodongkan pistol ke mulutnya dan mengancam akan membunuhnya jika tidak tutup mulut. Zakia berhasil membebaskan diri, tetapi pengalaman itu masih melekat dan membuatnya khawatir akan masa depan.
Mariam (bukan nama sebenarnya) dan Parwanah Ebrahimkhel Najarabi, seorang pelajar berusia 23 tahun, juga ditahan setelah Taliban mengambil alih kekuasaan. Mariam, seorang janda dan satu-satunya tulang punggung keluarganya, khawatir tidak bisa menafkahi anak-anaknya ketika Taliban mengeluarkan aturan pelarangan pekerjaan perempuan.
Situasi ini menggambarkan betapa sulitnya bagi perempuan di Afghanistan yang berjuang untuk hak pendidikan dan pekerjaan di bawah pemerintahan Taliban. Semoga situasi ini dapat berubah dan perempuan di Afghanistan dapat terus berjuang demi kebebasan dan kesetaraan.
@shintadewip