Search
Close this search box.

Perlombaan Senjata Masif Pasca AS Keluar dari Perjanjian Nuklir

Dede Farhan Aulawi./visi.news/ist

Bagikan :

VISI.NEWS – Apa sebenarnya yang dicari oleh negara-negara yang merasa menjadi super power dengan kekuatan militernya yang dianggap super canggih? Di satu sisi mereka inilah yang sering teriak pentingnya menciptakan perdamaian yang berazaskan pada kesetaraan dan keadilan, namun di sisi lain, dominasi syahwat kekuasaan tampaknya lebih menonjol yang ditandai oleh perlombaan senjata mereka.

Masing-masing sering menampilkan dengan sengaja ke mata dunia akan canggihnya kekuatan dan kehebatan senjata yang mereka miliki. Terlebih semua senjata yang mereka miliki berorientasi pada pemusnahan umat manusia dan kehancuran bumi secara total. Apakah itu kepuasan yang mereka harapkan saat bisa saling mengahncurkan dan membunuh umat manusia.

Demikian disampaikan oleh Pemerhati Strategi dan Teknologi Pertahanan Dede Farhan Aulawi di Bandung, Rabu (26/8/2020).

Dede berpandangan bahwa merebaknya perlombaan senjata akhir-akhir ini, tidak lepas dari keputusan Presiden Donald Trump yang menarik AS dari dua perjanjian nuklir yakni kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) dan kesepakatan senjata nuklir jarak menengah dengan Rusia (INF) yang berakibat menimbulkan kekhawatiran global. Kekhawatiran tersebut terutama disuarakan oleh Uni Eropa. Sementara itu, Iran menilai dukungan Uni Eropa saja tidak cukup jika tanpa tindakan yang membantu Iran tetap berada dalam kesepakatan tersebut. Uni Eropa diminta untuk mengamankan perdagangan minyak dengan Iran dan tanpa melewati sistem keuangan AS. Uni Eropa pun menanggapinya dengan mengaktifkan undang-undang yang melarang perusahaan-perusahaan dan pengadilan Uni Eropa mematuhi sanksi AS terhadap Iran. “Meskipun, perusahaan-perusahaan tersebut akan menghadapi pilihan yang sulit karena AS mengancam menjatuhi hukuman bagi perusahaan yang melanggar sanksi terhadap Iran,” jelasnya.

Dede menambahkan bahwa masalah Uni Eropa selanjutnya adalah ancaman keamanan setelah AS keluar dari perjanjian INF. Kesepakatan INF selama ini menjadi salah satu pilar keamanan di wilayahnya. Kesepakatan INF bermula dari kekhawatiran misi nuklir Rusia S-20 yang mampu menargetkan negara-negara Barat. Setelah AS keluar dari INF, Presiden Rusia Vladimir Putin mengajukan resolusi untuk mendukung INF ke PBB namun ditolak dalam pemungutan suara. “Sementara, setelah mengumumkan keluar dari INF, Trump menyatakan siap membangun dan mengembangkan senjata nuklirnya. Runtuhnya kesepakatan INF itu pun dinilai Rusia akan membuat dunia masuk ke dalam perlombaan senjata dan konfrontasi langsung,” kata Dede.

Baca Juga :  Pernyataan Lengkap Gus Miftah Mundur dari Staf Khusus Presiden RI: Keputusan Ini Bukan Sebuah Akhir

Perlu diketahui bahwa hingga saat ini terdapat sembilan negara yang memiliki senjata nuklir dengan jumlah yang tercatat mencapai 14.500 unit. Merujuk data dari Asosiasi Kontrol Senjata dan Federasi Ilmuwan Amerika, Rusia memiliki senjata nuklir terbanyak yakni 6.800 senjata. Setelah itu rekor berikutnya dipagang AS dengan total 6.500 senjata nuklir. Negara lainnya yang memiliki senjata nuklir yakni Prancis dengan 300 senjata, Cina (270 senjata), Inggris (215 senjata), Pakistan (130-140 senjata), India (120-130 senjata), Israel (80 senjata), dan Korea Utara (10-20 senjata). Data jumlah angka untuk saat ini mungkin tidak akurat, karena seiring dengan perubahan waktu mungkin saja mereka terus memproduksi sehingga jumlahnya bertambah secara diam-diam. Kedua, data mengenai persenjataan dikatgorikan data rahasia sehingga sangat mungkin data yang dilaporkan banyak yang ditutupi. Di lain sisi, dua negara yang memiliki stok senjata nuklir terbesar yakni AS dan Rusia tidak lagi terikat dalam kesepakatan pengendalian senjata. Oleh karenanya bisa jadi jumlah senjata tersebut terus bertambah jika tak ada kesepakatan baru di tahun-tahun mendatang.

Jika merujuk pada perjanjian kesepakatan nuklir Iran (JCPOA), kata Dede, sebenarnya Iran setuju mengurangi persediaan uranium hingga 98 persen. Iran juga hanya diperbolehkan menambah Uranium 3,6 persen selama 15 tahun. Iran juga harus mengizinkan inspektur internasional masuk ke fasilitas nuklirnya. Sebagai gantinya, sanksi ekonomi terhadap Iran dicabut. Namun Donald Trump memiliki pandangan lain, dimana dimatanya kesepakatan JCPOA dinilai memiliki kecacatan karena tak membahas program rudal balistik Iran, kegiatan nuklir Iran setelah 2025, dan peran Iran dalam konflik Yaman dan Suriah.

“Oleh karena itu, AS mengusulkan adanya revisi baru untuk kesepakatan nuklir Iran. Tawaran revisi tersebut ditolak oleh Iran yang memilih untuk mempertahankan JCPOA,” ujarnya.

Baca Juga :  TPST3R GAUL Desa Neglasari Masuk Profil IBM se-Indonesia, Berhasil Dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat

Sanksi AS, katanya lebih lanjut, kemudian diberlakukan dengan menyasar sektor perdagangan metal berharga Iran, keuangan dan perbankan nasional, serta industri otomotif. Perusahaan yang memulai transaksi bisnis dengan Iran akan disanksi dan diminta mengakhiri kontrak selama periode 90 hari dan 180 hari. Sanksi tersebut diberlakukan meski laporan badan pengawas atom dari PBB yakni Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan Iran mematuhi kesepakatan nuklir 2015.

Sementara itu di sisi lain, katanya, Donald Trump telah mencatatkan sejarah baru dengan menemui pemimpin Korut, Kim Jong-un di Hotel Capella, Pulau Sentosa, Singapura pada 12 Juni 2018. Dalam pertemuan itu, Trump dan Kim menandatangani dokumen yang berisi pernyataan bersama kedua pemimpin negara. Ada empat hal yang terdapat dalam dokumen tersebut yakni pembangunan hubungan baru antara AS-Korut, kerja sama perdamaian di Semenanjung Korea, komitmen denuklirisasi Semenanjung Korea, dan penyelesaian tahanan perang dan repatriasi jenazah sisa perang Korea.

Dalam pelaksanaan kesepakatan tersebut, kata Dede, Donald Trump membatalkan sebagian besar latihan militer dengan Korsel. Korut juga mengirimkan jasad sisa era perang Korea ke AS. Akan tetapi, perlucutan senjata nuklir Korut tidak berjalan mulus. Korut menolak seruan AS untuk melakukan denuklirisasi secara sepihak. Pemerintah Pyongyang tidak mau melucuti senjata nuklir melalui tekanan dan menuntut pencabutan sanksi bagi Korut. Korut juga meminta kesepakatan denuklirisasi mencakup wilayah yang lebih luas. Akan tetapi, AS menolak mencabut sanksi bagi Korut sebelum ada kemajuan dalam denuklirisasi.

“Apalagi di pengujung 2018 Donald Trump kembali mengumumkan mundurnya AS dari kesepakatan senjata nuklir dengan Rusia (INF), dimana perjanjian tersebut sebelumnya ditandatangani pada 1987 oleh mantan presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev dan mantan presiden AS Ronald Reagan. Padahal isi dari kesepakatan tersebut pada dasarnya melarang kedua belah pihak memiliki dan memproduksi rudal nuklir dengan daya jangkau 500-5.500 kilometer,” paparnya.

Baca Juga :  4 Tim Lolos ke Grand Final IPL 2024, Berebut Gelar Juara Bulan Ini

Hal tersebut, kata Dede lebih lanjut, sudah dibuktikan dimana pada tahun 1991 telah memusnahkan 2.700 rudal balistik dan jelajah. Namun Donald Trump menuding Rusia melanggar kesepakatan INF tersebut. Moskow diyakini tengah mengembangkan senjata sistem peluncuran dari darat. Pengembangan senjata itu diprediksi bisa membuat Moskow mampu melancarkan serangan yang menjangkau Eropa dalam waktu singkat. Meskipun tudingan tersebut telah berkali-kali dibantah oleh Rusia. Keluarnya AS dari JCPOA dan INF justru meninggalkan dunia tanpa tatanan kesepakatan senjata nuklir.

“Nampaknya diplomasi pertahanan dunia mengalami kebuntuan, sehingga berakhir dengan perlombaan senjata yang bisa menggiring umat manusia pada kehancuran total. Oleh karenanya mungkin tidak heran jika saat ini terjadi perlombaan senjata, baik senjata nuklir, senjata kimia, maupun senjata biologi. Bahkan senjata digital yang bisa saling melumpuhkan data – data strategis serta merusak kendali algoritma sistem persenjataan modern,” pungkas Dede. @mpa

Baca Berita Menarik Lainnya :