Sosiolog: Mudik, Budaya dengan Nilai Kekerabatan yang Kuat

Editor Sosiolog Universitas Udayana, Bali Wahyu Budi Nugroho./antara/ist.
Silahkan bagikan

VISI.NEWS – Sosiolog Universitas Udayana, Bali Wahyu Budi Nugroho mengatakan bahwa mudik merupakan kebiasaan yang telah membudaya di tengah masyarakat dengan nilai kekerabatan yang kuat.  

“Mudik ini awalnya adalah imbas konsep pembangunan di era Orde Baru yang berupaya membangun pusat-pusat pertumbuhan sehingga terjadi urbanisasi, masyarakat desa berbondong-bondong ke kota yang menjadi pusat pembangunan. Dari sinilah kebiasaan mudik muncul yang kemudian membudaya,” kata Sosiolog Wahyu Budi Nugroho di Denpasar, Sabtu (17/4/2021) seperti dilansir Antara yang menghubunginya.

Ia mengatakan mudik juga menjadi kesempatan bertemu dengan keluarga besar karena komunalisme masyarakat tanah air ini kuat, terutama hubungan kekerabatannya.  

Selain itu, kata dia mudik dapat dikatakan sebagai bentuk kegagalan orang Indonesia menjadi orang kota atau orang Indonesia yang tidak pernah betul-betul terurbanisasi sepenuhnya. Hal ini karena mereka masih menganggap ada tempat yang dianggap lebih adiluhung dan dianggap jadi tempat kembali (kampung halaman).

“Secara sosiologis pola pikir yang terubankan, yang mana kalau kita betul-betul sudah jadi masyarakat kota itu, tetap tinggal di kota dan tidak ada melakukan mudik,” katanya.  

Ia menjelaskan mudik juga berawal dari Orde Baru yang mengadopsi konsep ekonomi neoklasik, yang mana salah satu formulasi konsep ekonomi tersebut adalah menciptakan pusat-pusat pertumbuhan dengan harapan terjadinya trickle down effect (efek rambatan).
 
Sehingga urbanisasi dimulai dalam skala masif di Indonesia, yaitu perpindahan skala besar masyarakat desa untuk mencari pekerjaan ke kota dan ketika hari raya, mereka kembali ke desa atau disebut mudik.  

“Jadi mudik ini adalah tradisi, secara sosiologis ini kebiasaan yang cukup mengikat, tapi tidak juga terlalu memaksa. Jadi, ketika kita tidak melakukannya, mungkin akan muncul cibiran, tapi sebatas itu biasanya sanksi sosialnya. Ini karena, masyarakat kita mempunyai kultur simbolik yang sangat kuat,” ujarnya.  

Baca Juga :  Wali Kota Solo Kembalikan Uang Pungli kepada 145 Korban Oknum Linmas

Namun, ketika mudik tidak dilakukan di masa pandemi justru akan memiliki nilai positif karena mendukung kebijakan pemerintah dalam menekan penyebaran Covid-19.  

“Jadi, bisa dikatakan pula bahwa nilai dan norma sosial sebetulnya bersifat cair karena bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi konkret masyarakat,” katanya.  

Ia mengatakan bahwa setiap elemen masyarakat harus sadar kebijakan larangan mudik ini sebetulnya juga untuk kepentingan kita bersama.   Selain sebagai cara mencegah kluster baru, juga dibuat agar dalam pembelajaran di sekolah dan perkuliahan dapat dilakukan secara tatap muka.  

“Selama ini, sebagaimana kita tahu, banyak ditemui keluhan terkait sekolah atau kuliah daring. Kebijakan ini diharapkan dapat menurunkan angka kasus Covid-19 di tanah air secara signifikan, jika tidak harapan untuk kembali menggelar sekolah atau kuliah tatap muka di semester depan akan sulit direalisasikan,” katanya. @fen

Fendy Sy Citrawarga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Pasca Digeruduk Warga Ultra Jaya Direkomendasikan Dewan Agar Ditutup

Ming Apr 18 , 2021
Silahkan bagikanVISI.NEWS – Pasca diprotes dan digeruduk warga Kecamatan Panglengan DPRD Kabupaten Bandung meminta agar PT UltraJaya Bandung Selatan (UPBS) ditutup. Warga sebelumnya mendatangi DPRD karena ulah arogan pihak Ultra Jay dan PT Ultra Peternak Bandung Selatn . Kini putusan DPRD yang ditangani Komisi B diakui warga cukup puas. Dengan […]