Oleh Aep S Abdullah
KRITIK itu ibarat cermin. Kadang bikin kita sadar kalau rambut belum disisir, atau malah bikin kesal karena ternyata wajah kita mirip dengan foto di KTP. Tapi apapun bentuknya, kritik tetaplah kritik—ia hadir untuk memberi sudut pandang lain, bukan untuk membuat orang yang dikritik naik darah. Sayangnya, di negeri ini, kritik sering kali lebih banyak dijawab dengan amarah daripada dengan argumen yang logis.
Ambil contoh kasus Tempo yang kritis malah dikirim kepala hewan, atau ribut-ribut soal nasab habib yang dijawab dengan marah dan bikin banyak orang gerah. Belum lagi kritik terhadap institusi seperti kepolisian atau TNI, yang bukannya ditanggapi dengan tenang, malah berujung pada reaksi keras yang bikin masalah makin panjang. Seolah-olah, kritik itu dianggap sebagai serangan pribadi, padahal bisa saja itu hanya bentuk kepedulian.
Masalahnya, makin tinggi jabatan seseorang, makin merasa mulia, makin sensitif juga kupingnya terhadap kritik. Padahal, kalau mau jujur, kritik itu justru bisa jadi vitamin untuk memperbaiki diri. Bayangkan kalau semua orang di sekitar penguasa hanya bisa mengangguk dan memuji. Lama-lama, mereka bukan pemimpin, tapi malah mirip bintang sinetron yang dikelilingi fans fanatik.
Reaksi berlebihan terhadap kritik justru membuat kredibilitas menurun. Semakin defensif seseorang terhadap kritik, semakin banyak orang yang curiga, “Jangan-jangan memang ada yang disembunyikan?” Ini hukum sosial yang sudah berlaku sejak zaman nenek moyang kita: kalau ada orang terlalu marah saat ditanya sesuatu, biasanya memang ada sesuatu yang nggak beres.
Sebaliknya, kalau kritik dijawab dengan tenang dan logis, orang justru akan lebih menghormati. Misalnya, ketika ada kritik soal penegakan hukum, alih-alih mengancam balik atau memblokir media, atau bahkan mengirim kepala babi, lebih baik dijelaskan dengan data dan fakta. Kalau memang ada kekurangan, akui saja. Masyarakat lebih suka pemimpin yang bisa menerima kesalahan daripada yang pura-pura sempurna tapi gampang baper.
Yang lebih lucu lagi, ada pejabat yang kalau dikritik, justru menyerang balik dengan kalimat sakti: “Kalau tidak suka, silakan pergi dari negara ini!” Eh, sabar, Pak. Yang kritik itu juga warga negara, lho. Pajaknya ikut membayar gaji pejabat. Masa kalau kasih masukan malah disuruh angkat kaki?
Yang lebih aneh lagi ada pejabat yang kompetensinya komunikasi, malah bisa menjawab sekenanya ketika diminta tanggapannya soal teror kepala babi terhadap media yang dikenal kritis, Tempo. Akhirnya jawabannya itu memicu kegaduhan baru.
Maka dari itu, di lingkaran kekuasaan harus ada sosok yang bisa menjadi jembatan komunikasi antara penguasa dan rakyat. Orang yang bisa meredam amarah, mengolah kritik, dan menjawabnya dengan cerdas. Sebab, kalau semua kritik ditanggapi dengan marah-marah, jangan heran kalau lama-lama orang jadi malas berbicara dan hilang rasa hormat. Lebih buruk lagi, munculnya desakan untuk mendown grade, karena dianggap tidak cakap.
Seorang pemimpin yang cerdas justru akan menganggap kritik sebagai masukan berharga. Kritik itu ibarat sinyal WiFi—kalau lemah, kita susah mendapatkan informasi yang jelas. Dan kalau setiap kali sinyal itu muncul langsung dimatikan, yang rugi siapa?
Jangan sampai kritik malah dianggap seperti musuh yang harus dimusnahkan. Seorang pemimpin sejati harus bisa membedakan mana kritik yang membangun dan mana yang sekadar nyinyiran. Yang membangun, dijawab dengan argumentasi. Yang nyinyir? Ah, biarkan saja, nanti juga capek sendiri.
Tapi ini juga jadi tantangan buat para pengkritik. Jangan cuma bisa asal njeplak tanpa data dan solusi. Kritik yang baik itu harus berbasis fakta, bukan sekadar perasaan. Jangan sampai kritik kita malah jadi bahan lelucon yang mudah dimentahkan.
Pada akhirnya, kritik itu seperti obat. Rasanya bisa pahit, tapi kalau dikonsumsi dengan benar, hasilnya bisa bikin sehat. Tapi kalau setiap kali minum obat langsung marah-marah dan menuduh apoteker punya niat jahat, ya kapan sembuhnya?
Jadi, daripada membuang energi untuk marah-marah, lebih baik mulai belajar mendengar dengan kepala dingin. Toh, semakin sering seseorang mendapat kritik, itu tandanya masih banyak orang yang peduli. Yang patut dikhawatirkan justru kalau semua orang diam, lalu tiba-tiba di ujung masa jabatan ada kejutan yang tak terduga.
Maka, sebelum situasi makin runyam, yuk kita biasakan membalas kritik dengan kepala dingin, hati yang lapang, dan argumen yang kuat. Jangan sampai kita lebih cepat naik pitam daripada naik jabatan.
Bagaimanapun, kritik yang dijawab dengan marah, hanya akan menunjukkan bahwa kritik itu benar. Jadi, daripada marah, mending jawab dengan elegan.
Karena pemimpin sejati bukan yang gampang tersinggung, seberat apapun kritikan yang disampaikan, ia bisa menjawab kritik dengan tenang dan senyuman.***