VISI.NEWS – Dalam pidato kenegeraan di depan MPR lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan Indonesia harus bisa melakukan lompatan ekonomi dalam krisis covid19. Apa yang disampaikannya itu mengacu pada banyaknya negara yang mengalami resesi akibat Covid19, disana ada peluang Indonesia untuk muncul sebagai kekuatan baru minimal di kawasan regional.
Hal ini bisa terjadi mengingat modal penting Indonesia lewat konsumsi
dalam negeri. Hal yang sama menyelamatkan Indonesia dari krisis 1998 dan
2008 dimana konsumsi dalam negeri dan UMKM membantu Indonesia dari
krisis berkepanjangan.
Dalam keterangannya Senin (17/8/2020), pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa salah satu sektor yang bisa membantu lompatan besar ekonomi adalah dari industri siber tanah air. Mengacu pada data riset
Google di tahun 2019, potensi ekonomi digital Indonesia diperkirakan
mencapai US$ 133 miliar atau lebih dari Rp 1832 triliun, sebuah angka
yang sangat besar.
“Prediksi Google ini keluar sebelum ada krisis covid19. Memang pastinya
ada banyak penyesuaian. Namun satu hal penting yang kita lihat, krisis
ini mendorong proses digitalisasi berjalan dengan sangat cepat dan
artinya konsumsi lewat layanan digital juga naik,” terang chairman
lembaga riset keamanan siber Indonesia CISSReC (Communication &
Information System Security Research Center) ini.
Ditambahkan Pratama, praktis ticketing online turun drastis, karena
menurunnya perjalanan antar pulau antar kota dan antar negara. Tapi
pemenuhan kebutuhan lewat online cenderung naik tajam. Misalnya
pemakaian aplikasi webinar dan rapat online, lalu sekolah dari rumah
yang menggunakan perangkat elektronik dan data. Bisa dilihat dari
laporan Telkom yang membukukan laba hampir Rp 12 triliun.
“Jadi apa yang disampaikan bapak Presiden untuk melakukan lompatan besar
ekonomi salah satunya lewat industri siber. Masalahnya adalah di sisi
kemandirian. Infrastruktur internet jangan mengekor ke asing, lalu
secara perlahan kita harus medorong platform digital lokal berkembang
dan dipakai masyarakat. GoJek sudah membuktikan bisa dan berhasil,”
tegasnya.
Pratama mengapresiasi keberhasilan pemerintah menarik pajak dari layanan
digital asing seperti Google, Netflix dan Spotify. Namun pekerjaan rumah
masih panjang, di era digital menarik pajak memang sulit namun ada yang
lebih penting dan masih belum diselesaikan di Indonesia, yaitu
pengelolaan data.
“Pertama, pengelolaan data ini menyangkut uang yang sangat besar. Bisa
kita lihat saat kementrian kita harus membeli data yang mahal dari para
pemilik platform, kebetulan sebagian besar dari luar negeri. Lalu lebih
penting menyangkut keamanan data yang berimbas pada keamanan pertahanan nasional kita,” jelas Pratama.
Ditambahkan olehnya, pengelolaan data ini dimensinya bisnis dan
pertahanan. Data ini bisnis paling menggiurkan saat ini, karena itu
terjadi ketegangan global akibat keberhasilan Huawei menjadi yang
terdepan dalam bisnis infrastruktur 5G. AS dan sekutunya tidak ingin
lalu lintas data melewati infrastruktur Huawei, dianggap selain
merugikan mereka dari sisi keamanan.
“Artinya industri keamanan siber juga menjadi hal yang patut didorong
pemerintah. Kita melihat bagaimana sepanjang kuartal pertama 2020
serangan siber ke tanah air begitu besar. Industri keamanan siber ini
mencakup semua mulai dari infrastruktur, SDM sampai pada teknologinya,”
jelasnya.
Ditegaskan Pratama, dengan memenuhi kebutuhan siber di dalam negeri,
Indonesia bisa melakukan lompatan ekonomi cukup besar. Namun syaratnya
jelas pemenuhan kebutuhan infrastruktur siber harus dipenuhi, penguatan
SDM dan riset teknologi juga harus diprioritaskan. Pada akhirnya
pemenuhan itu disuplai oleh ekosistem siber dalam negeri. Tak kalah
penting, dengan kemandirian akan membuat kedaulatan siber negara kita
semakin kuat.@mpa