VISI.NEWS | BANDUNG – Pernyataan sikap dari Ketua Umum PBNU Gus Yahya soal izin tambang bagi ormas keagamaan mendapat pro kontra dari berbagai pihak. Pasalnya, izin tambang itu masih bergulir menjadi persoalan hangat, bahkan ditolak oleh sejumlah ormas agama lainnya.
Melalui kanal Youtube NU yang disiarkan secara langsung dalam acara Halaqoh Ulama Sikapi Fatwa MUI Terkait Ijtima Ulama Soal Salam Lintas Agama, Selasa (11/6/2024). Gus Yahya merasa butuh dan setuju untuk mengelola tambang, Ia juga merasa karena kondisi keuangan di PBNU sendiri makin melarat.
“Kenapa? karena kita butuh. Jelas kita butuh ini sudah melarat sejak lama, sampai imajinasi kaya aja gak punya. Masa imajinasi untuk mengembangkan sumber daya NU iuran warga,” ucapnya.
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Iman Zanatul Haeri ikut memberikan pandangan bahwa PBNU seharusnya tetap berada pada kepentingan masyarakat dan dapat selalu dinantikan perannya sebagai pelindung masyarakat.
“Organisasi masa seperti PBNU sangat dinantikan perannya dalam masalah-masalah lingkungan, agraria, juga termasuk konflik masyarakat dengan industri ekstraktif. Saya ingat betul bagaimana masyarakat yang dirugikan dalam beberapa kasus, merasa kuat dan menjalani perjuangan melindungi lingkungan serta hajat hidupnya, karena mendengar pernyataan resmi bahwa PBNU mengkririk pemerintah agar lebih mementingkan mereka, mengutuk, menghimbau dan lainnya,daripada hasrat merusak lingkungan yang berasal dari perusahaan pertambangan contohnya,” kata Iman melalui unggahan di akun X @zanatul_91, dilansir VISI.NEWS Kamis (20/6/2024).
Ia mengatakan bahwa momen ini adalah momen paling membahagiakan bagi mereka yang tertekan dan kalah, sebab pembelaan dari PBNU, setidaknya menjadi motivasi bagi para pelindung lingkungan, bahwa mereka berada di jalan yang benar secara religius.
Inilah yang membuat organisasi masa menjadi penguat bagi masyarakat sipil. Daya tawarnya selalu tinggi. Namun jika PBNU memiliki konsesi tambang secara langsung, otomatis keberpihakannya akan condong pada kepentingan koorporasi. Dititik ini, masyarakat kehilangan jaring sosial, yang selama ini menjadi tempat bersandar, baik sebagai kekuatan masyarakat sipil maupun secara individual bahwa mereka didukung oleh para kyai.
“Pada momen kritis semacam itulah peran PBNU sangat mahal dan berumur panjang. Penerimaan konsesi tambang sebenarnya adalah keuntungan tidak seberapa dan hanya akan dinikmati segelintir jika kita memperhatikan bagaimana forum G-20 di Bali Indonesia justru mengkampanyekan investasi hijau. Jika dihitung sengan segala kerugiannya, dibandingkan konsesi tambang, konsesi investasi hijau jauh lebih menjanjikan. Sederhananya kita dibayar untuk melindungi alam kita sendiri,” katanya.
Namun memang, Imbuh Iman, investasi hijau itu tidak akan terlihat wujud dan keuntuhannya dalam waktu dekat. Dia akan terlihat buahnya di masa depan. Itulah beratnya resiko PBNU menerima konsesi tambang. Kelihatannya untung, tapi dalam jangka panjang cukup merugikan.
“Konsesi tambang ini akan menjadi catatan bersejarah yang akan membuat para penulis sejarah juga kebingungan menuliskannya. Jika lima puluh tahun yang akan datang Indonesia menjadi lebih baik, salah satunya karena sukses menjaga lingkungan, maka kita mau tidak mau, suka tidak suka, memposisikan PBNU hari ini sebagai suatu masalah lingkungan di masa lalu karena memilih konsensi tambang daripada konsesi investasi hijau,” tuturnya.
“Jika sebaliknya, Indonesia tidak lebih baik, keberadaan konsesi tambang bagi PBNU tetap akan menjadi masalah karena memenuhi unsur bagian dari masalah,” sambungnya.
Mengapa pemerintah memberikan konsesi tambang pada organisasi masa? Diperlukan alasan-alasan politis untuk menjelaskannya. Dan ini bukan situasi yang menyenangkan bagi objek dalam teks sejarah.
“Inilah yang disebut future story, yaitu bagaimana proyeksi masa depan diperkirakan dengan cara membayangkan bagaimana sejarah diceritakan di masa depan,” tuturnya.
Lambang Nahdlatul Ulama yang diolok-olok
Iman juga menyayangkan adanya pihak yang memperolok Lambang Nahdlatul Ulama (NU) dengan membalikan nama menjadi ‘Ulama Nambang’ (UN) . Dan dikaitkan dengan kebijakan kepemimpinan PBNU saat ini.
“Lambang NU yang dicetuskan 1927 tidak ada hubungannya dengan sikap PBNU periode Gus Yahya 2024,” ucapnya.
Ia juga menyebutkan hal yang sama juga dengan lambang Muhammadiyah, MUI atau lambang Negara Indonesia.
“Tidak harus diolok-olok lambang organisasi, lembaga, negara hanya karena pimpinannya mengambil kebijakan yang tidak diterima masyarakat atau karena ekspresi kritis. Saya mengakui, konsesi tambang itu tidak sebanding jika sampai lambang NU jadi olok-olokan. Harusnya marwah NU dijaga,” pungkasnya.
Perubahan kebijakan ini mencerminkan kecemasan dan kekhawatiran warga masyarakat, terkait keterlibatan organisasi keagamaan dalam bisnis pertambangan.
Wallahu Alam…
@gvr