Search
Close this search box.

Ketua GP Ansor Jabar : Muktamar NU Diharapkan Bahas Soal Kekerasan Seksual

Ketua PW GP Ansor Jabar, Ahmad Deni Haedar. /visi.news/eko aripyanto

Bagikan :

VISI.NEWS | BANDUNG – Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), direncakanakan akan menggelar Muktamar NU ke-34 tanggal 22-23 Desember 2021 mendatang di Bandar Lampung, dalam Muktamar NU tersebut, diharapkan isu kekerasan seksual yang terjadi di berbagai daerah termasuk Jawa Barat (Jabar) saat ini, menjadi salah satu pembahasan penting guna mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU-TPKS.

Demikian dikatakan Ketua Pengurus Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jabar, Ahmad Deni Haedar mengatakan, isu kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir di salah satu lembaga pendidikan agama di Kota Bandung, dinilai telah mencoreng nama baik pesantren pada khususnya, untuk itu, dalam Muktamar NU tersebut diharapkan bisa mendorong pemerintah segera mengesahkan RUU-TPKS menjadi UU-TPKS.

“Oknum guru agama di Kota Bandung yang telah menodai belasan santriwatinya itu dinilai sangat tidak berakhlak, terlebih publik mengetahui bahwa peristiwa pemerkosaan atau rudapaksa itu terjadi di lingkungan pesantren milik Herry Wirawan, pelaku jelas sudah mencemarkan nama baik pesantren,” katanya.

Rekomendasi dari Muktamar NU terkait menyikapi kasus kekerasan seksual sangat diperlukan guna perjuangan Fraksi PKB di DPR-RI sebagaj representasi politik kaum nahdliyin, untuk itu di harapkan para ulama, dan para pengurus nadhliyin diseluruh Indonesia mampu merumuskan secara komprehensif rumusan masalah kekerasan seksual dan alternatif solusinya.

“Kekerasan seksual ini banyak faktor pemicunya, baik dari unsur sosiologis, ekonomi, maupun budaya, sebagai warga nahdliyin, kami berharap adanya kajian khusus terkait penyebab dan alternatif solusi yang ditawarkan, sehingga dapat disuarakan oleh Fraksi-PKB di parlemen,” ujar Deni.

Kepada VISI.NEWS, Senin (20/12/21), menurut informasi yang didapat, salah satu penyebab gagalnya RUU-TPKS tersebut di paripurnakan DPR di tahun 2021, diduga akibat adanya perbedaan cara pandang perumusan definisi kekerasan seksual di antara fraksi-fraksi di DPR, perbedaan cara pandang ini cukup dalam karena dipengaruhi cara pandang keagamaan masing-masing fraksi.

Baca Juga :  Pemkab Bandung: Sarung Tenun Majalaya Harus Kembali Menjadi Pusat Industri Tekstil Nasional

“Jadi jika isu kekerasan seksual ini dapat dibahas khusus dalam Forum Muktamar NU maka salah satunya dapat dikaji dalam sudut pandang fikih, sosiologis, hingga unsur budaya masyarakat, sehingga terdapat rekomendasi guna bahan perjuangan Fraksi-PKB dipusat,” pungkasnya.@eko

Baca Berita Menarik Lainnya :